Angin berembus menyibakkan rambut seorang remaja yang tengah menatap lurus kesibukan lalu lintas dari atas rooftop sekolahnya.
Tidak terlalu tinggi, namun bangunan tingkat enam itu cukup membantunya mengerti cara kerja dunia secara sederhana. Menikmati sapuan angin yang menenangkan, ditemani sahutan sirine ambulan juga klakson mobil yang terus menerus di tekan dengan tidak sabaran.
" Na!"
Remaja yang di panggilpun tidak bergeming dari kegiatannya itu, seolah-olah tidak ada satu orangpun yang berada disana kecuali dirinya. Atau malah mengganggap keramaian dibawahnya lebih menarik?
" Gue tadi gak bermaksud mukul Jisung, gue cuma mau dia tau aja kalo kita masih peduli sama dia. Gue ga peduli sama kata kata Ayah yang bilang jisung penyebab,"
" Jen, Udah, cukup. Tinggalin gue sendiri." Sela Jaemin dengan tenang walaupun Ia tidak bisa mengelak kalo sekarang perasaannya campur aduk.
" Na lo ga-"
" Gue tau lo enggak tuli, dan masih ngerti bahasa manusia." Potongnya dengan nada yang lebih ketus dari sebelumnya.
" Tap-"
" Gue bukan anak kecil lagi Jen, gue emang penyakitan! tapi gue enggak selemah itu sampe harus lo kawal kemanapaun. Gue ini adek lo, dan lo bukan bodyguard gue, jadi tolong ngerti." Nafasnya mulai tersedat seiring emosinya yang kian meningkat dengan detak jantung melebihi ritmenya.
Jaemin sangat membenci keadaannya yang seperti ini, dimana Ia merasa sebagai manusia yang paling lemah yang tidak bebas melakukan apapun. Ia paham seharusnya Ia lebih tahu diri dan lebih pandai menahan emosi.
Dadanya mulai sesak, sebisa mungkin Ia tahan untuk bersikap biasa saja. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengan menggigit bibir bagian bawahnya. Berharap jika hal tersebut akan menyamarkan ringisan tertahan dari bibir tipisnya itu.
Lemah memang. Ia akui, bahkan baru beberapa saat saja tubuhnya terasa sangat lemas, udara seakan akan menjauh dari jangkauannya. Jaemin sekarang mulai merasa kualahan dengan rasa sakitnya itu, hingga mata hazelnya bertubrukan dengan mata obsidian Jeno yang mencegahnya untuk berjalan lebih dekat.
Jeno tidak buta, jika kembarannya sedang menahan rasa sesak atau apalah itu. terlihat jelas dengan Jaemin yang agak membungkukkan sedikit badannya sembari menggigit bibir pucatnya.
Bingung, satu kata yang bisa mendeskripsikan perasaan Jeno kali ini. Hingga terdengar pintu yang dibuka kasar mengalihkan perhatian Jeno, melihat Haechan yang berdiri tepat di pintu memunculkan secercah harapan untuknya.
"LO NGAPAIN SI ANJING! KEMBARAN LO SEKARAT BANGSAT!" Teriak Haechan dengan muka memerah, masih dengan nafas yang memburu mendekati Jaemin yang suah bersimpuh di lantai berdebu.
"Jae, jangan tutup mata lo! Tahan sebentar, atur nafasnya yang bener. Cepetan naik kita pergi" Tubuhnya bergerak cepat melonggarkan dasi, dan juga melepas ikat pinggang jaemin yang ditepisnya.
"C-chan, jan dilepas" Jaemin memegangi ikat pinggangnya, menahan agar benda tersebut masih terlilit rapi ditubuhnya.
" Celana gue longgar"
"Bacot, anjir!"
— — —
Setelah mendapat informasi keberadaan Jisung, Chenle langsung melesat menuju UKS. Tanpa memperdulikan sumpah serapah yang terlontar dari mulut kotor anak-anak yang Ia tabrak karena kini otaknya dipenuhi oleh satu nama yaitu JISUNG
KAMU SEDANG MEMBACA
All About Me || REVISI
Ficção AdolescenteJika kematian adalah hal yang paling di harapkan,lalu untuk apa kehidupan di ciptakan? 📌#1 in frinship🥇