20. HaluMeisya yang malang

10 4 0
                                    

Tangan putih yang terlihat pucat itu mulai bergerak perlahan. Kelopak mata dengan bulu mata yang panjang lurus bergerak naik-turun pelan.

Meisya mencoba membuka penglihatannya meskipun buram yang ia dapat sekarang.

"Bu-bunda.." erangnya sambil memegang kepalanya yang terasa seperti dipukul keras.

Bunda Elisa dan Ayah Mahendra langsung mendekatinya dengan tersenyum penuh haru melihat putri mereka yang perlahan sadar dari masa kritisnya itu, "Iya, sayang, sebentar ayah panggilkan dokter."

Meisya mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dan tidak menemukan orang yang tengah ia cari dan ia harapkan agar ada di sisinya saat membuka mata.

"H-halu di mana Bun? aku belum naik." Ucap Meisya lemah.

Membuat gurat senyum di bibir Elisa menghilang dan air mata yang menetes kembali membuat wajah wanita paruh baya itu semakin pucat dengan mata yang sudah merah dan bengkak.

"M-mei belum naik, Halu udah jalanin motornya te-terus motor itu..." Meisya tidak melanjutkan perkataanya karena tiba-tiba saja saat Meisya akan menggerakkan kakinya, tidak bisa dan terasa sangat berat.

Mahendra datang Bersama dokter dan suster yang langsung memeriksa keadaan Meisya.

Elisa yang melihat putrinya berusaha menggerakkan kakinya itu langsung menangis deras dalam dekapan Mahendra. Sungguh, Elisa tidak tega melihat kondisi putrinya itu.

"Kaki aku, kenapa Bun, Yah?" Meisya menatap kedua orang tua nya bingung.

"Kaki aku, kenapa?!"

"KAKI AKU GA BISA DIGERAKKIN DOK! KAKI AKU KENAPA??!" teriak Meisya kehilangan kendari dirinya.

"Yang sabar ya cantik, ini cuma cedera sementara, asal rutin periksa dan terapi, kaki kamu pasti bisa sembuh Kembali." ucap suster mencoba menghibur Meisya.

Namun, Meisya tidak kunjung reda dan malah mejambak rambutnya membuat dokter langsung menyuntikkan kembali cairan kepada lengan Meisya. Kali ini Meisya tidak pingsan seperti saat dokter menyuktikan cairan itu untuk pertama kali.

"Sodari Meisya, harap ikhlas menjalani kehidupan. Kamu, masih tergolong orang yang beruntung karena kakinya lumpuh tidak patah dan harus diamputasi seperti orang lain. Insha Allah jika Allah mengijinkan, kakimu akan kembali normal asal kamu ikhlas dan mau berjuang. Saya tahu kamu kuat." Dokter mengusap lengan Meisya.

Sesaat kepergian dokter itu pergi. Elisa dan Mahendra mendekati Meisya. Mei langsung memeluk kedua orang tuanya dan menangis, tidak sehisteris sebelumnya.

"Kamu kuat sayang." Mahendra mengecup puncak kepala Meisya.

"Kami selalu ada buat kamu kesangan Bunda sama Ayah." Tambah Elisa mengusap kepala Mei dengan sayang.

"H-halu ga tau Bun?" dengan lemah Meisya kembali mendongak bertanya.

Namun, Bunda dan Ayah Meisya hanya diam, membuat Meisya menyimpulkan bahwa Halu tidak mengetahui keadaan Meisya.

"Mei makan dulu ya? Abis itu minum obat biat cepet pulang." Bunda Elisa menyuapi Meisya makanan sehat.

"Aku mau nyender Bun,"

Mahendra langsung memasang beberapa bantal agar punggung Meisya tidak sakit dan duduk dengan nyaman.

"Ponsel aku di mana Bun?" Tanya Meisya setelah Mahendra mengatur bantal dengan nyaman.

"Bunda tadi charger soalnya baterainya abis." Kata Elisa berbohong, sebenarnya Elisa mematikan ponsel Mei dan pura pura menchargernya setelah Halu berpamitan pergi karena tahu pasti setelah keluarganya yang akan ditanyakan adalah Halu, kekasihnya.

HaluMeisyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang