"Semua perempuan itu sama saja, benar-benar menyebalkan."
[][][]
"Devan Mahardika, keluar dari kelas saya!" seru wali kelas mengembalikan kesadaranku ke dalam ruangan. Memperjelas ekspresi wajah teman-teman yang sedang memberi pandangan penghakiman. Karena, lagi-lagi, beliau menyebut nama lengkapku dengan intonasi marah.
"Maaf, Bu," ujarku seraya menunduk.
"Saya maafkan, tapi kamu tetap keluar." Tangan kanannya yang memegang spidol papan tulis mengarah ke pintu sedang tangan kirinya bertolak pinggang. "Alasan kamu terlambat, tidak masuk akal. Percuma saja punya otak pintar, kalau tidak digunakan."
Bu Yaya tidak percaya. Padahal, perutku memang terasa sangat mulas saat di rumah tadi. Akibatnya, waktu pagi hari yang berharga menjadi terbuang sia-sia.
"Baik, Bu," ucapku seraya menundukkan kepala, lalu berbalik dan melangkah keluar. Setelah pintu kelas kembali tertutup, wali kelasku terdiam sebentar sebelum melanjutkan penjelasannya.
Pasti beliau butuh waktu untuk mengatur napas dan debaran jantungnya. Maklum, tahun ini usianya sudah memasuki pertengahan kepala lima. Tentu saja rasa kesal dan emosi negatif yang meluap-luap tidak baik bagi kesehatannya. Hampir setiap bertemu denganku, sang wali kelas pasti merasa kesal. Entah apa penyebabnya, aku pun tak tahu.
Memang, sih, aku melanggar aturan beberapa kali. Namun, tindakan-tindakan itu tidak merugikan orang lain. Seperti merokok, datang terlambat, atau tidak mengerjakan tugas. Dampak buruk dari itu semua, hanya akan berimbas padaku. Lalu, kenapa beliau harus marah?
Terkadang, aku kasihan pada Bu Yaya. Di usianya kini, beliau malah sering naik pitam. Meski rasanya kesal ketika dimarahi, aku juga tidak tega jika melihatnya kehabisan energi hanya karena keterlambatanku. Namun, sungguh, aku tidak berniat membuatnya kesal. Hanya saja, hal-hal itu seolah sudah melekat padaku.
Kakiku berjalan santai di sepanjang koridor. Menikmati langkah menuju ke area belakang sekolah. Tujuan utamaku adalah kantin, tapi jika ada guru di sana maka lokasi pembakaran sampah adalah tujuan cadangannya. Tidak masalah, asalkan aku bisa menghabiskan waktu sendirian tanpa gangguan.
"Van!" seru Randi, murid dari kelas sebelah. Dia tampak sedikit berlari. Mungkin saja ingin ke kamar mandi. "Duluan!" ujarnya sambil melambaikan tangan. Sosoknya pun berlalu dari hadapanku.
Randi adalah salah satu anggota dari kelompok siswa terkenal. Mereka biasa kumpul-kumpul bergerombol sambil membicarakan para anak perempuan. Sambil memegang rokok di tangan, orang-orang itu membanggakan para mantan atau pun deretan gebetan. Sangat tidak penting dan mengganggu masyarakat.
Ya, meski aku juga termasuk perokok.
Kelompok berandalan itu menamakan diri mereka dengan julukan "Riders". Terdengar norak karena mereka hanya menggunakan sepeda motornya untuk berkeliling kota. Sedangkan aku, sudah berkali-kali memenangkan balap jalanan. Sehingga ketua Riders, Daniel, menawarkanku kesempatan untuk bergabung.
"Ayo, lah. Lo bisa jadi jalan biar kita punya koneksi sama sekolah lain, Van," bujuknya ketika aku memberikan jawaban.
"Enggak, Niel. Gue enggak terlalu suka gabung sama kelompok," ucapku final.
Daniel langsung menarik diri dari hadapanku. Namun, bukan berarti mereka melepaskanku begitu saja. Setelah hari itu, para Riders selalu memperhatikan gerak-gerikku. Mungkin orang-orang itu masih mengharapkanku masuk ke dalam kelompok. Tentu saja itu tidak akan terjadi, sayang sekali.
Langkahku terhenti ketika dua guru laki-laki terlihat duduk di kantin. Masing-masing dari mereka sudah menghabiskan setengah isi gelas di depannya. Dengan cepat aku memutar tubuh untuk pergi ke tujuan selanjutnya, tempat pembakaran sampah di bagian belakang sekolah.
Sebenarnya, perjalanan menuju ke sana cukup riskan. Karena harus melewati ruang OSIS yang berada tak jauh dari sana. Seperti biasa, markas pengurus organisasi tidak akan diletakkan di hadapan banyak orang. Mungkin saja mereka ingin membicarakan rahasia besar tentang keadaan kota. Entahlah.
SMA tempatku bersekolah ini memiliki dua gedung yang dipisahkan oleh lapangan olahraga dan kantin. Gedung A yang berada di depan, diperuntukkan khusus para guru, laboratorium, kelas para senior, dan juga ruangan bagi benda-benda penting. Sedangkan gedung B, tempat yang sangat tepat pagi para remaja baru dewasa dan segala kekacauannya. Kelas satu dan dua memang sering membuat keributan. Oleh karena itu, kami digabungkan bersama ruangan yang tidak terlalu penting beserta gudang.
Setelah menemukan lokasi yang biasa, aku merogoh rokok mild dari saku dan menyalakannya. Di hari yang masih tergolong pagi, lebih baik mengisi paru-paru dengan kandungan bahan yang ringan. Namun, baru beberapa kali mengembuskan asap, sebuah suara menginterupsi ketenangan di sekitarku.
Sepasang langkah kaki dan suara plastik yang beradu dengan lantai keramik. Tak lama, muncul seseorang dari koridor. Gadis dengan kerudung yang panjang menjuntai sampai hampir menyentuh ikat pinggang. Ia menyeret tempat sampah besar dengan tangan kiri sebelum tiba di depan kotak pembakaran dan menuangkan seluruh isinya.
Jujur saja, aku baru pertama kali lihat seseorang berpakaian seperti itu. Apa dia tidak merasa panas? Memang, sih, sekarang masih pagi. Namun, pembelajaran akan selesai ketika sore menjelang.
Mataku memperhatikannya lekat sampai tidak sadar jika dia telah menatapku balik.
"Eh? Pagi-pagi udah ngerokok?" tanyanya dengan alis terangkat. "Kalau ketemu lagi dalam keadaan yang sama, gue laporin ke BK. Oke?"
Gadis itu mengangkat dagunya sekilas lalu berbalik pergi. Dia menghilang bersama tempat sampah yang dibawa sebelumnya, tanpa menunggu responku. Ya, meskipun aku pasti tidak akan mengatakan apa-apa juga. Memangnya, siapa dia yang tiba-tiba ingin melaporkan orang tak dikenal? Sangat tidak ada kerjaan.
Semua perempuan sama saja. Ketika ada banyak hal yang harus dikerjakan, mereka akan mengeluh lelah dan meminta bantuan. Namun, ketika tidak ada masalah sama sekali, mereka akan mencampuri urusan orang lain. Benar-benar menyebalkan.
Pendapatku tidak hanya berdasarkan asumsi remaja. Semua ini kudapatkan dari pengalaman hidup sejak duduk di kelas lima sekolah dasar. Lebih tepatnya, ketika orang yang melahirkanku memilih untuk pergi dari rumah. Meninggalkan anak semata wayang yang masih bingung dengan cara berjalannya kehidupan.
![](https://img.wattpad.com/cover/271935316-288-k616516.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable Sapphire
Chick-Lit(Ineffable : sesuatu yang sulit digambarkan/undescribe-able.) [] Devan Mahardika, siswa SMA berwajah tampan yang seringkali dianggap sebagai pembuat onar. Tiada yang menarik baginya selain balap liar, rokok jenis terbaru, dan suasana tenang. Dirinya...