6 : Ingat Satu Arah

13 2 2
                                    

"Gue cuma mau tanya. Nama lo siapa?"

[][][]

Jadi, gadis yang kucari sejak di sekolah tadi malah muncul di sini? Algoritma kehidupan macam apa ini? Apa benar, semua hanya kebetulan?

Dia menatap kosong ke depan, seolah sedang menerawang sesuatu. Sehingga, meski tanpa komando, kakiku melangkah ke situ. Menghampirinya yang masih tersedu-sedu.

"Lo kenapa?" tanyaku tiba-tiba.

Namun, dia hanya diam. Tidak menjawab maupun menoleh. Rasanya, aku ingin menghilang saja. Syukurlah niat itu tidak jadi terlaksana, karena gadis itu mulai menengok perlahan-lahan.

"Apa?" tanyanya balik sambil mengerjap.

Aku bergumam, "Lo, enggak kenapa-kenapa?"

Suatu kebodohan baru saja kulakukan. Pertanyaan konyol macam apa itu? Pasti dia akan kebingungan dan memilih untuk mengabaikan.

"Oh, saya? Ah, enggak kenapa-kenapa. Cuma agak sedih," jawabnya sebelum terkekeh kecil. Sepertinya dia mencoba untuk mengeluarkan tawa palsu.

"Tunggu sebentar."

Entah mendapat intuisi dari mana, yang jelas kini kakiku melangkah cepat ke dalam minimarket. Menelusuri rak khusus minuman dingin dan mulai memilih. Orang yang habis bersedih, butuh sesuatu yang bisa mengembalikan kondisi hati. Jadi, aku mengambil sebotol minuman cokelat dan sekaleng soda berperisa stroberi.

Setelah selesai membayar, langkahku bergegas untuk kembali ke tempat tadi. Betapa leganya ketika melihat dia masih ada di sana. Tanpa sadar aku tersenyum.

"Nih," ucapku sambil menyodorkan botol minuman cokelat. "Biar mood Lo balik lagi."

"Eh?" Alisnya terangkat penuh curiga.

"Tenang. Enggak gue kasih obat, kok." Aku meletakkannya di atas meja dan memilih untuk duduk di kursi satunya.

Entah apa yang akan dipikirkan olehnya, tapi aku ingin duduk dan bertanya lebih lanjut.

"Makasih," ucapnya pelan setelah beberapa saat terdiam. Mungkin masih ragu akan ucapan soal minuman itu. Lalu, suara tutup botol yang dibuka pun terdengar.

"Santai aja. Sekalian gue juga mau cari angin," ucapku cepat.

Lagi-lagi kata-kata yang keluar dari mulutku terdengar aneh. Kalau mau cari angin, orang normal pasti akan memilih berkendara. Bukan malah duduk dan memberikan sebotol minuman pada orang asing.

"Boleh minta nomornya? Saya sekarang enggak ada uang sisa, tapi nanti minuman ini saya bayar. Enggak apa-apa?" tanyanya sambil menjelaskan.

"Ini enggak perlu diganti, sih," sergahku cepat. Tunggu dulu, tadi dia meminta nomorku? "Eh, tapi, ya enggak apa-apa juga misal mau diganti. Mana hapenya?"

Hampir saja aku melakukan hal bodoh lainnya.

"Ini." Dia memberiku ponselnya untuk sekadar memasukkan nomor, lalu benda pipih itu kembali ke pemiliknya.

"Lo kelas berapa?" mataku melirik nya yang masih memeriksa ponselnya. "Kelas satu, ya?"

"Kelas tiga SMA, sih. Kalo Masnya?" tanyanya sambil menaikkan alis.

Jadi, dia tidak mengingatku? Pantas saja sejak tadi hanya diam. Gadis ini menganggap aku sebagai orang asing. Padahal kan, aku sudah memperhatikannya beberapa hari ini. Ya, meskipun dari kejauhan.

"Sama. Gue juga kelas tiga." Tidak mungkin kan, aku mengaku sebagai adik kelasnya jika dia sudah memanggil dengan embel-embel 'Mas'. Jangan sampai dia merasa malu karena hal kecil tidak penting seperti itu.

Dia menganggukkan kepala, "Oh."

"Enggak perlu formal manggilnya. Kan, kita seumur," saranku dengan sedikit kebohongan.

Dia kembali mengangguk, "Oke."

"Lo enggak pulang? Ini udah hampir tengah malem." Pandanganku mengedar ke sekeliling. Memeriksa sekitar dan menemukan jalan yang sudah mulai sepi.

Lagi-lagi dia menempatkan dirinya dalam posisi bahaya, bukan?

"Lagi ada urusan di Rumah Sakit, sih. Mampir ke sini sebentar aja, niatnya," jawabnya.

Tunggu, di sekitar sini ada Rumah Sakit?

"Siapa yang sakit?"

Gadis itu menunduk, "Ibu gue."

Seingatku, dia menangis di tempat yang sama juga waktu itu. Sedangkan hari ini, sudah sekitar satu pekan berlalu sejak itu. Apakah Ibunya menderita sakit yang serius? Aku harap, tidak.

"Ibu Lo, diopname?"

Dia menoleh secepat kilat, "Kok, tau?"

Iya juga. Kenapa mulutku mudah sekali bertanya. Sungguh merepotkan.

"Kan, udah jam segini. Enggak mungkin dokter biasanya masih ada. Menurut gue, sih," jawabku sambil membenarkan rambut yang mulai turun ke dahi. Sengaja menunduk agar dia tidak perlu melihat rasa gugupku.

"Oh, iya juga. Bener."

Aku menghela napas dalam hati. Entah mengapa, tapi rasanya lega jika dia tidak curiga. Padahal, curiga akan apa itu pun aku tak tahu.

Tiba-tiba, seorang anak lelaki menghampiri kami. Wajahnya tampak lesu dengan mata yang sayu. Lengan kanannya mengelap peluh dari dahi dan bersiap untuk mengatakan sesuatu.

"Kak, ayo balik. Hampir tengah malem," ucapnya cepat.

Mataku membulat. Anak itu tampak memiliki tinggi hampir sama denganku, tapi dia memanggil gadis itu 'Kak'? Dengan antusias aku menoleh dan menunggu reaksi orang di sampingku.

Alih-alih menjawab, dia menghela napas. Namun, dengan satu gerakan, kepalanya langsung mendongak untuk menghadapi si penanya.

"Kamu bawa uang, enggak?" tanya dengan mata yang membulat. Kuakui, dua manik itu sudah cukup besar, tapi kini tampak lebih terbuka lagi.

Anak itu merogoh kedua saku dari jaketnya dan menggeleng. Lalu sang Kakak pun bergumam. Dia menoleh padaku.

"Nanti gue hubungi, ya."

Gadis itu beranjak berdiri. Tanganku langsung bergerak dengan refleks untuk menahannya, tapi sebuah tangkisan datang menghalau. Si adik menggerakkan punggung tangannya untuk menghentikanku.

"Jangan asal pegang, ya, Bang." Suaranya tegas, berbeda dengan tadi saat sedang bertanya pada kakaknya.

"Eh, sorry. Enggak maksud. Gue cuma mau tanya. Nama lo siapa?" Sangat sia-sia jika dia mendapatkan nomorku, tapi aku tidak mengetahui namanya.

Gadis itu terkejut dengan suara adiknya dan menoleh.

"Gue Safir."

Tanpa sadar aku membulatkan bibir dan mengangguk seperti orang menyebalkan. Mengundang tatapan sinis dari anak laki-laki yang menjadi orang ketiga di antara kami. Wah, bahkan namanya terdengar menarik.

[][][]

Ineffable SapphireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang