11 : Sebuah Insiden

8 1 0
                                    

a.n, Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentarnya ya. Terima kasih 🌻

[]

"Mungkin aku memang ditakdirkan untuk menjadi pemberontak, kan?"

[][][]

Malam itu, langit dan bumi yang kupijak penuh dengan peluh perkelahian. Meski begitu, tidak ada yang mendapat luka terbuka. Untung saja kedua belah pihak sepakat untuk tidak memakai senjata tajam dalam bentuk apapun.

Namun, hal yang luput dari perhitungan pun muncul. Satpam sekolah yang memang hampir setiap hari menginap, memergoki kami. Tak lupa, ia juga mengambil video singkat yang menampilkan wajah para anggota Riders ditambah aku.

Lalu, kami berdua belas pun dipanggil oleh Guru Konseling.

"Buat apa kalian sekolah, hah! Ujung-ujungnya berantem lagi, tawuran lagi! Memangnya enggak malu sama orang tua di rumah?" tanya Pak Sudiro dengan suara tinggi.

Ya, sejujurnya aku sudah tidak punya orang tua yang harus dijaga perasannya. Jadi, buat apa? Mungkin aku memang ditakdirkan untuk menjadi pemberontak, kan?

"Boleh cari mati, tapi jangan di sekolah ini! Mau jadi pembunuh, hah? Masih SMA udah jadi preman, huh!" Pak Sudiro mengurut pangkal hidungnya.

Guru Konseling itu akhirnya duduk dan menarik napas panjang. Meskipun tegas dan terkadang terlampau keras, Pak Sudiro adalah sosok yang keren. Beliau tidak segan menghukum murid yang dikenal dengan reputasi "orang kaya" dan menegakkan peraturan.

Sebenarnya, Guru Konseling di sekolah kami ada dua. Bu Andini yang lembut dan keibuan, bertugas untuk menangani masalah pada murid bermasalah yang bisa diselesaikan secara baik-baik.  Sedangkan Pak Sudiro, ditempatkan untuk menghadapi siswa seperti kami.

Meskipun aku tidak bergabung dengan Riders, orang-orang pasti akan mengira demikian. Pertama, aku sering terlihat sendirian. Lalu, jika sedang tidak sendiri, pasti anggota Riders lah yang mengajak berbicara. Sehingga, tampak jelas kalau aku adalah salah satu dari mereka.

Kita tidak bisa mengatur opini dan keyakinan orang lain. Mau bagaimana lagi? Toh, meski tidak bersama mereka, aku akan tetap melanggar aturan.

Hanya anak-anak OSIS dan para pengikutnya yang akan taat pada peraturan dan perintah. Atau mungkin, para calon pejabat juga. Sedangkan aku, bukan keduanya.

Namun, pikiranku tiba-tiba teringat akan Safir. Dia juga anggota OSIS, kan? Artinya, gadis itu memilih untuk menjadi salah satu budak petinggi sekolah. Sayang sekali. Apa aku harus menyelamatkannya?

"Heh, Devan! Kenapa matanya gitu?" tegur Pak Sudiro yang masih ada di hadapanku.

Saking asyiknya bicara dengan diri sendiri, tanpa sadar aku memutar mata. Menertawakan isi pikiran yang sangat kacau dengan halusinasi.

"Enggak, Pak. Tadi saya kelilipan," elakku.

"Enggak ada angin, kok, kelilipan," Pak Sudiro lanjut berdecak sambil geleng-geleng kepala.

Tidak mungkin, kan, aku mengaku kalau habis memikirkan skenario penyelamatan. Imajinasi tinggi macam apa, itu? Sepertinya kepintaran otakku setiap hari semakin menurun.

[][][]

Akibat insiden kemarin, aku dan Riders diberi hukuman yang setimpal. Membersihkan kamar mandi laki-laki dan merapikan fasilitas olahraga sepulang sekolah selama dua pekan. Ya, tidak terlalu buruk.

Oh, sebenarnya ditambah dengan dipanggilnya orang tua. Namun, dalam kasusku, itu bukanlah masalah besar. Karena biasanya, Ayah hanya akan meminta maaf lalu melepaskan anaknya begitu saja.

Memang seharusnya mau apa lagi, kan?

"Kita gilir jadwal aja, lah. Biar enggak capek tiap hari!" usul Dimas.

"Ya, gimana? Pak Sudiro nyuruh kita bikin absen ke dia tiap hari!" sahut yang lainnya.

Aku hanya tahu nama Daniel, Randi, dan Dimas. Sedangkan sisanya, belum pernah mengajakku berbicara. Paling jauh, mereka menyapa ketika sedang berpapasan. Lalu, setelahnya, pergi menghilang.

"Gampang, sih. Datang aja semua, entar yang kerja baru dijadwal," usul Randi sebelum menyeruput es teh di gelasnya.

Kini kami sedang makan bersama di Warung Tegal markas mereka. Entah mengapa aku pun ikut dan bergabung. Mungkin sebagai rasa persatuan dalam hukuman yang sama.

"Iya, tuh. Gue setuju sama Randi," sahut Daniel dari ujung meja.

Setelah selesai membahas perihal hukuman, mereka mulai berceloteh tentang hal lain.

"Eh, kok, gue makin kesel sama Kanjeng Ratu, deh."

"Ya, emang lu mau apa? Terima aja nasib, semua udah ada musuhnya."

"Terlalu ikut campur gitu, loh. Liat aja, entar pasti bakal ada lagi masalah."

Meski aku tidak mengenal mereka, tapi wajah mereka mudah dihafalkan. Termasuk suara-suara mereka yang kini mengisi rongga telingaku.

"Siapa, sih, namanya? Juliana?"

Mendengar itu, sontak mataku terbuka lebar. Bisa saja mereka membicarakan orang lain, sih, tapi....

"Iya, Safir Juliana."

"Ngomongin siapa, sih?" tanyaku dengan alis terangkat sebelah. Mencoba membaur tanpa terlihat ikut campur.

"Itu, anak OSIS yang pake jilbab panjang. Sering banget cari gara-gara sama Riders," jawab Randi. Hanya dia yang bersedia menjawab. Mungkin, yang lain sudah terlanjur malas mengajakku bicara?

"Oh," mulutku membulat, sedangkan isi kepalaku memutar otak. "Cari gara-gara gimana?"

"Biasalah, tipikal anak OSIS. Kayak lo enggak tau aja," sahut Dimas menimpali. "Kayak tiba-tiba lapor kalo kita lagi rokok bareng, pura-pura jadi pahlawan kalo kita lagi mainan sama orang, atau sok ceramah."

Anggota Riders lainnya mengangguk setuju. Mereka yang berandalan ini, menyimpan kesal pada satu gadis yang sama? Ternyata, Safir sudah bertindak sejauh itu? Selain keren, dia juga sangat berani, ya?

Tiba-tiba aku gelisah. Kalau Safir tidak menyukai Riders, apa yang akan dia lakukan ketika tahu aku baru saja bertarung bersama mereka? Apakah dia akan ikut mencatatku ke dalam daftar anak nakal?

Ah, tenang saja. Toh, aku hanya bergabung sekali setelah menolak ajakan mereka berkali-kali. Tidak ada masalah yang serius karena hal itu, kan?

Namun, pemikiranku salah besar. Apa yang akan Riders lakukan selanjutnya, membuat semua menjadi kacau. Atau bisa dibilang, membuat duniaku hancur.

[][][]

Ineffable SapphireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang