12 : Pencari Masalah

8 1 0
                                    

a.n, Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komentarnya ya. Terima kasih 🌻

[]

"Lo lebam. Jangan-jangan, kemarin ikut tawuran?"

[][][]

Hari-hari hukuman sudah dimulai. Sehingga, rutinitas naik ke atap tidak bisa kulakukan. Karena untuk sementara, aku banyak menghabiskan waktu bersama anggota Riders. Terpaksa mendekatkan diri, hanya demi menebus kesalahan tempo hari.

Namun, setiap detiknya terasa sangat lama. Entah karena aku yang tidak cocok bersama mereka ataupun keinginan untuk kembali memperhatikan mushola yang besar. Mungkin juga keduanya.

"Nih, Van. Bagian lo," Daniel menyerahkan sikat kamar mandi beserta cairan pembersihnya. "Gue tunggu di luar bareng anak-anak, ya!" Sang ketua kelompok pun berlalu.

Ada empat bilik toilet di kamar mandi. Ketika Daniel membersihkan dua bilik dan juga lantai, artinya aku hanya perlu menyelesaikan dua bilik sisanya ditambah cermin di wastafel. Tidak terlalu lelah karena memang kaki sudah sepakat membagi tugas.

Sedangkan satu orang lagi, akan mengepel koridor daerah kamar mandi. Dari bagian toilet khusus guru, sampai ke depan pintu toilet perempuan. Kami tidak ditugaskan untuk membersihkan kamar mandi perempuan. Agar tidak terjadi hal-hal yang kemungkinan mengganggu para kaum hawa.

Aku meletakkan kembali alat kebersihan ke tempatnya, lalu menyusul ke luar. Mereka tampak berdiri membentuk lingkaran, seolah sedang membicarakan sesuatu yang penting. Namun, sekolah sudah mulai sepi. Sehingga, samar-samar telingaku dapat mendengarnya.

"Di mana?"

"Gudang olahraga aja, jauh juga dari ruang guru."

"Boleh, boleh."

"Gantian?"

"Bebas. Pokoknya, Daniel duluan. Abis itu, ya, terserah."

Mereka membicarakan apa, sih? Mengapa firasatku mengatakan jika mereka sedang merencanakan sesuatu yang buruk? Kakiku memperlambat langkahnya.

"Kalo si Devan?"

"Ya, gatau. Dia enggak kenal kayaknya, makanya waktu itu nanya. Inget, enggak?"

Entah siapa yang berbicara dan siapa yang menanggapi, aku tidak hafal suaranya.

"Itu anaknya dateng, woi!"

Aku langsung mengangkat alis berpura-pura bertanya, "Ada apaan?"

"Enggak. Lo dah beres? Balik, yuk!" ajak Randi sambil memiringkan kepalanya.

Dahiku mengernyit. Sangat terlihat jika mereka menyembunyikan sesuatu.

[][][]

Kuputuskan untuk berhenti ikut kumpul-kumpul bersama Riders sejenak. Pertemanan itu tidak harus bergerombol selamanya, kan? Lagipula, aku belum memutuskan untuk benar-benar berteman dengan mereka atau tidak.

Jika naik ke atap, aku akan bisa menatap ke mushola dan memperhatikan seseorang. Namun, tidak bisa menyapa ataupun mengajak bicara. Sehingga, kakiku malah melangkah ke tempat gadis itu beribadah. Menunggunya hingga selesai, seperti waktu itu.

"Eh, lo lagi?" sapanya ketika melihatku.

Aku bangkit berdiri, menghampirinya. "Iya, nih. Enggak apa-apa, kan?"

Bukannya menjawab, dia malah mengangkat bahu acuh tak acuh. "Terserah. Ada apa?"

"Enggak ada apa-apa, sih. Mau ngobrol?"

Dia menatapku lekat sebelum menjawab, "Ngobrolin apa?" Ya, lebih tepatnya, bertanya kembali.

Sepertinya kami akan terus saling bertanya sampai waktu masuk kelas tiba. Safir tiba-tiba berlalu dari hadapanku dan melangkah ke rak sepatu. Dia mengambil salah satu pasang dan membawanya sampai ke kursi di dekat sana.

"Lo kenal Riders?"

Safir bergumam, "Kenapa nanya itu?"

Aku berdeham, "Ya, mau tanya aja. Pasti tau, kan?"

"Geng berandal itu? Mereka kenapa lagi?"

"Menurut gue, lo mending jauh-jauh dari mereka. Khususnya deket-deket ini," ucapku sambil memperhatikannya yang sedang serius memakai sepatu.

Gadis itu mengernyit, "Kenapa?"

"Gue, gue ada firasat buruk tentang mereka."

Safir tidak menjawab. Dia justru menoleh dan mengamati wajahku lamat-lamat. Matanya menyipit setelah selesai menemukan sesuatu.

"Kenapa ngeliatin kayak gitu?"

"Lo lebam. Jangan-jangan, kemarin ikut tawuran?" tanyanya tepat sasaran.

"Apa?"

"Anak Riders baru tawuran kemarin-kemarin. Lo bilang gitu, pasti karena tau sesuatu. Ya, kan?" tebakannya lagi-lagi benar. Apa dia peramal?

"Hey, kenapa ambil kesimpulannya kayak gitu?" Aku sengaja menjauhkan wajah. "Bisa aja gue jatuh di parkiran, kan?"

Safir menaikkan sebelah alis dan terdiam sejenak. "Lo anggota Riders?"

Kepalaku menggeleng cepat.

"Beneran?"

Lalu, sekarang kepalaku mengangguk terburu-buru.

"Oke. Gue simpan jawaban lo, Devan."

Gadis itu tiba-tiba berdiri, merapikan pakaian, dan pergi menghilang. Cepat sekali jalannya, pandanganku sampai tidak sempat menangkapnya. Juga, apa tadi menyebut namaku?

Jadi, selama ini, dia tahu namaku? Tanpa sadar, ujung bibirku tertarik ke atas. Ternyata, dikenali itu, rasanya semenyenangkan ini.

[][][]

Sore ini adalah kesempatan untuk mengerjakan hukuman yang terakhir sebelum akhir pekan tiba. Namun, anehnya, aku tidak menangkap satu pun kehadiran dari anggota Riders. Tidak mungkin, kan, mereka meninggalkan tanggung jawab?

Kakiku menyusuri lorong yang menuju ke kelas dua belas. Karena Daniel adalah murid senior, mungkin lebih baik jika aku mencarinya terlebih dahulu. Lagipula, dia adalah sang ketua. Pasti dia tahu tentang keberadaan anak-anak buahnya.

Ternyata, nihil. Kelas Daniel sudah kosong. Bahkan beberapa senior yang masih ada di koridor, memandangku tidak enak. Seolah kenal, ya?

Dahiku mengernyit, mencoba memikirkan kemungkinan tempat yang akan mereka kunjungi. Warung Tegal langganan? Sepertinya, kalau jam segini pasti sudah tutup.

Tunggu!

Kakiku melangkah cepat menuju ke gedung belakang. Menyusuri jalan menuju gudang penyimpanan alat-alat olahraga yang kuncinya belakangan ini dipercayakan kepada kami. Firasat buruk yang waktu itu, kini muncul kembali.

Tolong, jangan sampai hal buruk terjadi sebelum aku datang!

Setibanya, tanganku secara refleks membuka kenop pintu dengan kasar. Menimbulkan suara bantingan akibat daun pintu yang menghantam dinding. Namun, di hadapanku hanya ada benda-benda yang habis dipakai hari ini.

Aku berdecak kesal.

Hampir saja kakiku beranjak keluar ruangan, ketika suara terisak terdengar samar. Diiringi dengan desisan yang seolah memberi perintah agar orang itu terdiam. Apa itu mereka?

Tubuhku langsung berbalik kembali dan bergegas menuju ke pojokan. Memang area itu sering menjadi titik buta karena terhalang oleh tumpukan matras di tengah ruangan. Lalu, di sanalah Randi berada.

"Randi, ngapain?" tanyaku hati-hati.

"Oh, elo? Tenang aja woi, cuma Devan!" serunya entah pada siapa.

"Anak-anak, di sini juga?" alisku mulai terpaut. Sepertinya, mereka sedang melakukan sesuatu.

"Sini, sini, Van. Tapi, diem diem, ya!"

Langkahku terasa kaku ketika mencoba mendekati anak itu. Lalu, di pojok ruangan itu, aku menyaksikan kejamnya sang ketua berandalan. Daniel sedang menuangkan air dari dalam botol ke atas kepala siswi yang terikat dan terpejam ketakutan.

"Safir?"

[][][]

Ineffable SapphireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang