"Minggir! Dia pingsan, cepet!"
[][][]
Jadi, namanya adalah Safir. Meski sudah memiliki nomorku, sampai sekarang dia masih belum menghubungi. Baru lewat dua hari, sih. Namun, tetap saja rasanya janggal.
Akhirnya, aku memilih untuk kembali naik ke atap dan memperhatikan gadis itu setiap hari. Hal ini kulakukan agar tidak uring-uringan karena menunggu sebuah pesan. Keputusan yang bagus, bukan?
Untung saja malam itu aku tidak kelepasan bertanya tentang hilangnya dia dari mushola. Buktinya, sejak hari pertama pekan ini, dia sudah hadir kembali. Kalau dia tahu aku mencarinya, mungkin Safir akan menjauh atau bahkan menghilang.
Apalagi soal anak yang bersamanya. Galak sekali. Hey, aku tidak akan macam-macam pada kakakmu. Protektif sekali, huh?
Ya, mungkin aku juga akan begitu jika memiliki saudari. Eh, tunggu! Gadis di mushola itu, tumbang?
Kulihat tubuhnya jatuh ke lantai dengan kaku setelah mengembalikan mukena ke dalam lemari. Dengan cepat, kuinjak puntung rokok kedua yang masih tersisa setengah. Lalu berlari turun ke bawah.
Aku harus tiba di gedung yang lain secepat mungkin.
"Devan, lo mau ke mana?" tanya Daniel yang tak sengaja berpapasan. "Ati-ati nabrak, Van!" lanjutnya ketika aku tak menggubris.
Anak itu masih saja mencoba mendekat, ya? Padahal, aku akan tetap berlari. Meskipun akan menabrak sesuatu, kaki ini harus cepat sampai ke gadis itu.
Dengan napas tersengal-sengal, aku melangkah masuk. Menemukan dia yang masih terbaring miring tak sadarkan diri. Namun, kerudungnya masih menutupi separuh tubuh.
Aku mendekatkan telunjuk ke depan hidungnya. Mencoba merasakan tiupan udara dari paru-parunya. Syukurlah, masih ada meskipun sangat lemah.
Isi kepalaku memerintahkan untuk cepat membawanya ke ke UKS, tapi apakah boleh? Tiba-tiba, jantungku berdetak lebih cepat. Meskipun suhu ruangan terasa dingin, peluhku mulai keluar dan hampir menetes. Bagaimana ini?
Ah, ini darurat!
Tangan kananku menelusup ke bawah lehernya, sedangkan tangan kiriku mencoba menekuk lututnya. Meski saat berdiri dia lebih pendek dariku, tetap saja sulit untuk membuatnya menjadi lebih kecil. Untung saja bobot tubuhnya bisa dengan mudah kuatasi.
Dengan satu gerakan, aku menarik kedua lengan dan berdiri. Membuat tubuh lemasnya menempel kepadaku. Semoga saja dia tidak keberatan dengan situasi ini. Karena sekolah tidak mungkin menyediakan kasur Rumah Sakit, kan?
Bel masuk berbunyi, tapi aku tidak peduli. Yang terpenting adalah membawa Safir pergi dari sini. Tenang saja, hanya ke UKS.
Para penghuni sekolah menatap nyalang seiring langkah kakiku yang tergesa. Pasti mereka yang mengenalku akan curiga jika gadis ini merupakan korban penindasan. Lalu, sisanya akan melamun kebingungan.
Aku mendorong pintu UKS menggunakan punggung. Berjalan mundur agar Safir tidak merasakan tekanan. Mataku menangkap seorang siswi yang duduk di atas kasur sambil berbicara santai dengan temannya.
"Minggir! Dia pingsan," ucapku sambil menggerakkan kepala. "Cepet!"
Setelah keduanya sadar akan keadaan, aku segera meletakkan Safir ke atas kasur. Meluruskan kembali lututnya dan merapikan kerudung yang sempat sedikit teracak. Wajahnya tetap datar. Sepertinya dia tidak terganggu selama di perjalanan.
Ketika menoleh, siswi yang berdiri di sampingku tinggal satu.
"Dia ke ruang guru, cari Bu Dilis."
Bu Dilis? Alisku terpaut ke tengah dahi.
"Bu Dilis, petugas UKS," lanjutnya.
Satu menit kemudian, seseorang dengan pakaian dinas datang bersama satu siswi yang tadi.
"Siapa yang pingsan?" tanyanya ketika menatapku.
Aku bergumam, "Safir, Bu."
"Kelas?"
"Uh, dua belas?"
Bu Dilis melangkah mendekati kasur UKS dan menyingkap kain kerudung yang menutupi dahi Safir.
"Juliana?" Dengan cepat Bu Dilis memeriksa suhu tubuh dan juga keadaan tubuh Safir. "Dia kurang darah?"
Aku berubah gelagapan ketika beliau menoleh dan bertanya. Mana aku tahu? Informasi tentangnya yang kutahu hanyalah nama, kondisi Ibu, dan sosok adiknya. Ditambah kebiasaannya saat jam istirahat, sih.
"Kamu bukan teman sekelasnya, ya?" tembak Bu Dilis tepat sasaran. "Ya, sudah. Sana pergi. Makasih, ya."
Ketika petugas UKS mengusir, aku terpaksa melangkah ke luar. Bukan untuk pergi, hanya berpindah ke luar dan menahan pintunya agar tidak tertutup. Setidaknya, orang yang menggendong harus mengetahui keadaan si gadis itu, kan?
"Juliana, kamu pucat sekali. Denyutnya juga lemah." Ucapan Bu Dilis pada dirinya sendiri bisa terdengar sayup-sayup. "Saya kasih tau kelas kamu, ya."
Tidak ada suara lagi selama beberapa menit selanjutnya. Namun, tiba-tiba, tiga siswi dan seorang siswa berjalan tergesa ke arah pintu. Terlalu buru-buru hingga tak sadar jika sudah mendorongku.
"Kenapa bisa, Bu?" tanya murid laki-laki.
"Kayaknya Juliana kurang darah dan kecapekan. Apa kegiatan OSIS sedang padat?" Dahiku mengernyit.
Pantas saja dia menegurku ketika sedang merokok. Itu termasuk ke dalam tugasnya! Menertibkan siswa pelanggar aturan.
"Enggak, sih, Bu. Tapi kalau enggak salah, Ibunya Juli lagi dirawat di RS. Mungkin Juli capek karena itu?" tanya salah satu murid yang perempuan.
Aku mengerti.
"Bisa jadi dia kurang makan juga, sih, Bu. Belakangan ini Juli enggak mau diajak ke kantin," sahut siswi lainnya.
Sepertinya mereka berempat adalah teman sekelas Safir. Namun, mengapa semua memanggilnya Juli? Jangan-jangan, Juli dan Safir merupakan dua sosok yang berbeda?
Kenapa gadis ini cepat sekali memenuhi isi kepala?
"Ya, sudah. Jagain, ya. Ibu ke kantor lagi," ucap Bu Dilis lagi.
Sepertinya itu kata-kata perpisahan, sehingga aku cepat-cepat menyingkir. Akan sangat aneh jika masih terlihat di sini ketika sudah diusir, kan? Kakiku bergegas melangkah menuju kelas.
Memilih untuk mengikuti pelajaran dengan pikiran yang masih bingung dengan nama asli seseorang.
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable Sapphire
Chick-Lit(Ineffable : sesuatu yang sulit digambarkan/undescribe-able.) [] Devan Mahardika, siswa SMA berwajah tampan yang seringkali dianggap sebagai pembuat onar. Tiada yang menarik baginya selain balap liar, rokok jenis terbaru, dan suasana tenang. Dirinya...