"Aku ini berandalan, Bu. Wajah memang pandai menipu."
[][][]
Seperti yang terjadi selama beberapa waktu ke belakang, aku kembali lagi ke atap. Memperhatikan gadis yang setiap hari melakukan ibadah saat jam istirahat. Ya, kecuali kalau dia pingsan seperti kemarin.
Hanya saja, kali ini pikiranku kembali bertanya-tanya. Ketika dia memberiku identitas sebagai Safir, orang-orang malah memanggilnya dengan nama Juli. Aku tidak sedang membicarakan dua orang yang berbeda, kan?
Perhatianku meningkat akibat inside hari lalu. Dia tampak tak berdaya, tapi sekarang malah kembali ke rutinitasnya. Apa dia tidak berniat untuk beristirahat sebentar saja?
Hari pertama setelah itu, keadaan masih terpantau aman. Namun, lusanya, Safir kembali terkapar. Tentu saja aku lagi-lagi berlari. Hanya saja, di UKS sudah ada Bu Dilis. Jadi, tidak perlu mampir ke ruang guru untuk memanggilnya.
"Juliana kenapa lagi?" tanyanya.
"Pingsan, Bu."
"Iya, saya tau. Penyebabnya itu, loh," ucapnya sambil memutar mata.
Mungkin Bu Dilis menganggapku mengesalkan, tapi sejujurnya memang aku tak tahu. Bahkan dia belum menghubungi nomor yang dimintanya waktu itu.
"Ini masih pucat aja, dia enggak makan?" tanyanya lagi padaku.
"Saya kurang tau, Bu," jawabku sambil terkekeh canggung.
"Kamu ini jangan-jangan enggak kenal sama dia, ya?" Ibu ini baru sadar, ternyata. "Terus, kenapa bisa bawa dia ke sini tiap pingsan?"
Aku kembali gelagapan. Sangat tidak mungkin jika menceritakan rutinitas berjagaku, kan? Pasti akan dianggap sebagai kegiatan penguntit dan diperintahkan untuk berhenti.
"Nama kamu siapa, sih?" tanya Bu Dilis.
"Eh, jangan dikasih tau ke dia, Bu. Bilang aja, yang bawa orang asing. Ya, Bu?" Aku mengatupkan kedua telapak tangan ke depan wajah, "Saya mohon."
"Mau jadi pangeran di cerita-cerita ya, kamu?" Bu Dilis tersenyum mengejekku.
"Ah, enggak, Bu. Tapi, emang saya sama dia itu, enggak kenal. Jadi, ya gitu, Bu."
"Aneh," Bu Dilis menyipitkan mata. "Enggak kenal, tapi mau aja nolongin."
"Biar dapet pahala, Bu," aku kembali terkekeh. Ah, andaikan wali kelasku seramah ini.
"Padahal, Juliana ini terkenal, loh. Masa kamu enggak kenal? Dia udah jadi anak teladan sejak kelas satu, dan sekarang jadi anggota OSIS yang bikin orang takut."
"Gimana maksudnya, Bu?" Aku mengerutkan dahi.
"Iya, soalnya dia galak. Anak cowok juga takut sama dia," lanjutnya.
Jadi, aku sedang berurusan dengan aparat sekolah?
"Udah, ah. Ibu barusan minta temen sekelasnya datang, kamu tungguin sebentar, bisa? Ibu harus ke ruang guru, mau input nilai penjaskes."
Aku mengangguk, "Bisa, Bu."
"Ibu namain kamu pangeran aja, ya. Dah!" ucapnya sebelum menghilang dari balik pintu.
Pangeran apanya? Aku ini berandalan, Bu. Wajah memang pandai menipu. Menyadari sepinya kondisi ruangan, aku menghela napas. Orang-orang memang suka salah paham.
Kakiku beringsut mendekati kasur UKS. Menatap wajah tenang gadis itu yang terpejam dari atas. Dibalik tangis tengah malamnya, ternyata dia sangat keren, huh?
Tak lama, tubuhku terhentak kaget karena pintu UKS terbuka dengan tergesa.
"Lo siapa?" tanya seseorang dengan suara laki-laki. Pasti dia siswa yang sama dengan yang waktu itu. "Boleh mundur dikit, enggak?"
"Ah, gue cuma disuruh tungguin sebentar. Bu Dilis yang minta tolong," ucapnya sambil melangkah mundur menjauhi kasur.
Awalnya aku ingin pergi atau menunggu di luar sambil mencuri dengar. Namun, dia yang datang hanya sendiri ini laki-laki. Sepertinya, niat untuk pergi itu akan kutunda.
"Lo yang bawa Juli ke sini?" tanyanya dingin.
Bibirku hanya mengeluarkan gumaman pelan yang tidak jelas.
"Lo Devan, kan? Anggota Riders?" lanjutnya.
Hey, aku sudah menolak ajakan Daniel.
"Iya, Devan. Tapi bukan anggota Riders. Gue enggak gabung," ucapku sambil menggeleng.
"Satu sekolah taunya lo anggota Riders, gimana?"
Ya, aku tidak bisa mengatur isi pikiran orang lain. Memangnya Superman? Bahkan tokoh komik seperti dia pun sepertinya tak mampu melakukan itu.
"Cuma pernah direkrut, tapi gue tolak."
Laki-laki itu membentuk huruf 'O' dengan mulutnya. Untung saja, tak lama setelahnya dia anak perempuan datang. Lalu aku pun menghilang diam-diam.
[][][]
Kali ini aku akan melakukan hal yang lebih efisien. Menunggu di pintu mushola. Meskipun tidak boleh menyalakan rokok, aku bisa mengawasinya dari dekat.
Sehingga, jika dia kembali pingsan, aku bisa langsung datang. Karena sebenarnya aku sudah ada di sana, kan? Lebih irit waktu dan hemat tenaga. Devan memang pintar.
Namun, entah mengapa, rasanya agak tidak nyaman. Seolah takut jika ketahuan mengikuti, tapi tetap tidak mau pergi. Sehingga, ketika dia tiba dan hendak berjalan masuk ke mushola, aku bersembunyi di balik salah satu pilar yang agak jauh dari pintu.
Lebih menyebalkan lagi ketika debaran jantungku terasa lebih cepat.
"Aish!" seruku tanpa sadar.
Untung saja Safir atau Juli itu sudah melangkah masuk. Sehingga suara sumbangku tidak sampai ke telinganya. Lalu aku pun mencari tempat untuk duduk dan menunggu.
Ternyata, tempat ibadah ini cukup indah. Sederhana, tapi tidak terlalu apa adanya. Ketika dilihat, aura yang terasa adalah sejuk. Apa ini karena orang-orang yang datang adalah para pencari pahala? Sedangkan aku hanya remaja titisan neraka? Pikiranku terkekeh miris di dalam sana.
Karena sibuk dengan opini sendiri, aku tidak sadar jika gadis itu sudah selesai. Dia mengembalikan mukena ke dalam lemari dan sebentar lagi akan berjalan ke sini. Apakah aku harus kembali bersembunyi?
Belum sempat menemukan jawaban, Safir atau Juli itu sudah berdiri di hadapanku. Matanya membulat sempurna, seolah melihat hantu.
"Loh?" ucapnya pelan. "Lo yang di minimarket?"
Aku pun ikut berdiri, merapikan pakaian, dan melangkah lebih dekat. Kalau sudah tanggung begini, sekalian saja lah.
"Hari ini lo enggak pingsan lagi? Bagus, deh."
Gadis di depanku mematung. Sedikit mendongak sambil mengerjapkan matanya kebingungan.
[][][]
KAMU SEDANG MEMBACA
Ineffable Sapphire
أدب نسائي(Ineffable : sesuatu yang sulit digambarkan/undescribe-able.) [] Devan Mahardika, siswa SMA berwajah tampan yang seringkali dianggap sebagai pembuat onar. Tiada yang menarik baginya selain balap liar, rokok jenis terbaru, dan suasana tenang. Dirinya...