5 : Hilang Dari Pandangan

13 1 0
                                    

"Jangan pake senjata, dong! Laki, bukan?"

[][][]

Entah apa yang menggerakkan kakiku sampai bisa tiba di atap lagi. Sudah beberapa hari, aku menghabiskan waktu di atas sini. Menghabiskan beberapa batang rokok sambil menikmati semilir angin. Ditambah dengan memperhatikan seseorang yang hadir ke mushola setiap hari juga, sih.

Gadis itu seolah tak bosan untuk terus datang ke tempat itu sendirian. Apa dia tidak punya kesibukan lain? Atau jangan-jangan, dia tidak punya teman? Ternyata, banyak juga kemungkinan yang bisa menjadi alasan. Namun, wajahnya tidak nampak kesepian.

Hari-hari berlalu dan aku pun menikmati pemandangan di hadapanku. Lalu, suatu hari, gadis itu berhenti datang ke mushola. Meskipun menunggu sampai waktu istirahat habis, batang hidungnya tidak juga tampak. Aneh.

Apa dia sekarang memiliki tempat untuk menghabiskan waktunya? Atau, sudah banyak teman yang meminta perhatiannya? Lalu, kenapa aku merasa kebingungan? Sepertinya ada yang salah dengan isi kepalaku. Apa ini masih termasuk efek samping dari bertemu Andar si orang aneh?

Berbicara tentang Andar, anak itu tidak lagi datang ke tempat balapan. Menghilang tanpa kabar seperti penjelajah yang hanya mampir sebentar. Anehnya, dia langsung datang dan menantang aku yang notabenenya memiliki peringkat teratas. Seolah sudah merencanakan untuk mengacaukan pikiranku dengan kata-katanya.

Karena akhir pekan ini akan diadakan balapan seperti biasa, mungkin aku akan coba mencarinya. Agenda kegiatan malam itu akan mendahulukan para pendatang baru yang ingin membuktikan diri. Lalu, diakhiri dengan satu orang yang akan melakukan balap denganku. Sehingga akan ada banyak waktu untuk menelusuri sekeliling dan mencari si orang aneh.

Namun, nihil. Sampai namaku dipanggil, Andar tidak menampakkan diri. Mau tak mau, aku pun bergerak untuk menghampiri arena balap.

"Siapa, nih?" tanyaku pada Bima, yang mengatur jadwal pada malam ini.

"Pendatang baru, Bos! Keren enggak, tuh?" jawabnya sambil terkekeh.

Kuikuti arah telunjuknya yang berakhir pada laki-laki tinggi dengan jaket denim. Alisnya tebal dan menukik sempurna seperti tokoh jahat di film-film. Dagunya terangkat meski tak perlu seperti itu untuk menatapku.

"Hei, jagoan?" sapaku dengan intonasi yang dimainkan. "Siap ambil alih juara, nih?"

Alih-alih menjawab, orang itu menjilat bibirnya dan memiringkan kepala. Tiba-tiba tersenyum miring dan terkekeh. Dia memandangku dari atas sampai bawah.

"Enggak perlu ulur waktu, Devan," ucapnya sebelum mengambil helm yang menutupi sampai dagu dan memakainya. "Ayo, cepet!"

Tolong ingatkan aku agar tidak memberinya pelajaran. Karena, dia masih anak baru. Tidak mungkin aku langsung menghajarnya begitu saja.

Aku berdecak, "Dasar kawula muda."

Motor yang dinaikinya tampak mahal. Apa itu karena dia sering memberi perawatan? Atau jangan-jangan, karena jarang digunakan? Ah, bisa saja dia anak konglomerat yang punya kendaraan lusinan.

Bima memberi aba-aba pada gadis berpakaian minim agar bersiap. Setelah bendera diturunkan, kami langsung melaju menerobos jalanan. Meskipun tidak ada orang, tetap terasa ramai karena mesin motor terdengar cukup kencang.

Ditambah dengan tamparan angin yang siap membuat mata kelilipan. Kalau tidak pakai helm, mungkin pipiku sudah seperti dipukuli orang. Ya, bisa dibayangkan.

Tersisa tiga persimpangan sebelum garis akhir, tapi kami berdua melaju bersisian. Namun, tentu saja aku yang sampai duluan. Devan si juara bertahan. Tentu saja ada alasannya, kan?

"Woah! Devan gila!" seru Bima yang langsung menghampiriku. Disusul dengan tepuk tangan para hadirin yang juga menyaksikan.

Setelah melepas helm, lagi-lagi aku malah mencari si orang aneh. Mengabaikan teriakan yang menyerukan namaku. Masih saja mereka berisik. Padahal, setiap ujung malam akhir pekan, pasti aku yang selalu menang.

Tiba-tiba, lawan balapku bergegas menghampiri. Sorot matanya terbakar emosi. Dia ingin memberiku selamat atau kah merasa tidak puas?

Dengan satu gerakan, tangan kanannya mengayunkan helm ke arahku. Meski awalnya tak tampak, untung saja aku cepat mengangkat siku kiri. Sehingga, helm itu menghantam lenganku.

"Woi!" seruku pada penjahat film itu. Dia masih menyeimbangkan tubuhnya dan menarik diri agar bisa melepaskan serangan lagi.

Sorakan orang-orang semakin terdengar kencang. Namun, kebanyakan dari mereka terlihat sudah menjauh. Baguslah, aku tidak perlu khawatir akan keselamatan penonton.

Orang itu kembali bersiap untuk menghantamku lagi. Namun, aku berniat untuk mengulur waktu agar bisa menyiapkan tenaga.

"Jangan pake senjata, dong! Laki, bukan?" seruku lantang.

Dengan tatapan yang masih terkunci padaku, dia melempar helmnya sembarang. Menghampiriku dengan tergesa sambil mengepalkan tangan kanannya. Tentu saja gerakannya sangat terbaca. Aku siap-siap untuk menghindar dengan menundukkan tubuh ke bawah.

Serangannya meleset. Langsung saja kuarahkan tinju kanan ke atas, mengenai rahang bawah orang itu. Membuatnya terhuyung ke belakang karena hantaman yang cukup kencang.

"Ga jelas banget, Lo!" seruku.

Hampir saja aku melayangkan tendangan, tapi Bima datang dan menahan.

"Udah, Van. Tenang dulu," ucapnya sambil mengangkat telapak tangannya. "Tahan emosi Lo."

Hey, dia yang menyerang lebih dulu!

Di sisi sebelah sana, kulihat anak-anak lain sedang menahan si penjahat film. Sungguh, apa dia gila? Tiba-tiba menyerang orang yang tidak berbuat kesalahan. Kurasa, dia susah kehilangan akal sehat.

"Maju, Lo, Devan!" sahut si penjahat film lagi. Apa, sih, maunya? Merasa bisa menang karena sedikit lebih tinggi dariku, ya? Tinggi badan itu tidak menggambarkan kekuatan, tahu!

"Lagi teler ya, Lo? Main serang tanpa aba-aba. Enggak jelas!" sahutku balik.

Bima mengisyaratkan agar aku menyingkir dari arena. Jika bukan karena berada di kegiatan terlarang, mungkin aku akan maju dan memberinya pelajaran. Biarkan saja baku hantam kami jadi tontonan. Paling juga, nanti aku yang menang.

"Gue duluan, Bim," ucapku sebelum kembali ke motor dan melenggang pergi.

Tanpa sengaja, lagi-lagi aku berakhir minimarket. Jadi khawatir, apa penjaga kasirnya hafal dengan wajahku? Mungkin dia bosan melihatku mampir ke sini setiap hari. Atau jangan-jangan, dia malah menunggu?

Seperti aku yang menunggu seseorang untuk datang ke mushola.

Tunggu sebentar. Ini, kan, tempat aku melihatnya menangis. Apa dia ada di sini juga? Itu tidak mungkin, kan?

Aku tertawa hambar karena isi kepalaku sendiri. Lalu, tawa itu berhenti karena sosok yang sedang kupikirkan benar-benar hadir di hadapan. Ah, lagi-lagi dia menangis.

[][][]

Ineffable SapphireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang