"Aku mendengar jika Jisoo-ssi sudah sadar pagi tadi."
Ucapan Rose saat itu begitu tiba-tiba dan bahkan tak terduga. Makan malam yang diadakan untuk semakin mendekatkan kedua keluarga agaknya menjadi berbeda. Orang tuanya yang tak tahu apapun sudah pasti kini menampakkan reaksi bingung akan ucapan Rose.
"Kau bicara apa tadi, sayang?"
Pertanyaan lembut Ibunya sama sekali tak dijawab oleh Rose. Dimana pandangannya kini beralih pada Seokjin yang duduk tepat berhadapan dengannya. Namun, pria itu seolah tak terganggu dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Ia seolah tak peduli dengan sekitarnya dan hanya fokus dengan makanannya. Tapi, Rose tahu sekali jika Seokjin mendengarnya, namun berusaha untuk bersikap tak peduli.
"Ada apa, Rose? Kau mengucapkan ucapan yang aneh tadi. Dan, siapa Jisoo itu?"
Lagi, Rose tak menjawab Ibunya. Masih fokus menatap pada Seokjin.
Astaga, kenapa pria itu semakin terlihat menyedihkan di matanya? Ia ingin menangis rasanya melihat perubahan pada Seokjin. Pria itu bahkan terlihat lebih buruk daripada enam tahun yang lalu ketika ia mengetahui jika Jisoo pergi darinya.
"Oppa--"
"Maaf. Tapi, apa aku boleh pergi ke kamar kecil sebentar?"
Seokjin beranjak begitu saja--setelah ia mendapatkan izin. Membuat Rose yang baru saja akan memulai berbicara padanya harus menghentikan ucapannya sendiri.
Tapi, Rose benar-benar sudah lelah dengan semua ini. Ia tak bisa terus-menerus melihat Seokjin dengan keadaannya yang menyedihkan seperti ini. Rose sangat tahu, beribu kata maaf yang akan selalu ia lakukan selama hidupnya pada Seokjin mungkin tak akan bisa menghapus kesalahannya.
Rose begitu cepat untuk menghentikan Seokjin, namun pria itu dengan cepat pula menepis Rose yang berusaha untuk menghentikannya.
"Oppa, kumohon. Mau sampai kapan kau akan seperti ini? Ada Jisoo-ssi--"
"Rose, kumohon. Hentikan ini semua."
"Tapi--"
Seokjin tak ingin lagi mendengar semuanya, kembali melanjutkan langkahnya.
Tentu, mana bisa ia berbohong tentang perasannya pada Jisoo? Wanita itu segalanya baginya, dan mendengar apa yang Rose ucapkan saat itu tentu menjadi beban pikiran baginya. Seokjin rasanya begitu bahagia, karena mendengar jika Jisoo baik-baik saja. Bahkan ia ingin sekali berlari saat itu juga ketika mendengar Jisoo telah sadar, melihat dengan kedua matanya sendiri keadaan wanita itu.
Namun, ia menahan semuanya. Ada sebuah janji yang ia buat sendiri. Pada Taehyung, dan pada dirinya sendiri. Jisoo harus bahagia, itulah keinginannya.
Mungkin, ini pula yang dirasakan Jisoo enam tahun yang lalu. Ketika ia harus dipaksa untuk berpisah dengannya dan tak bisa untuk bertemu dengannya karena janjinya pada sang Ibu. Itu semua Jisoo lakukan demi kebahagiaannya. Dan kali ini, biarkan Seokjin melakukan hal itu pula.
Walaupun ini semua benar-benar sangat menyesakkan dan juga menyakitkan, tapi untuk kebahagiaan Jisoo, Seokjin bahkan bisa melakukan apapun. Memakai topeng seolah ia baik-baik saja untuk melihat senyuman Jisoo kembali.
.
.
Seokjin akan menikah. Dan itu adalah hari ini. Pemikiran itu tak pernah lepas dari Jisoo. Ia bahkan tak bisa tidur dengan nyeyak semalam karena semua pikiran itu.
Kenapa pria itu pergi dan meninggalkannya? Bahkan menikah dengan Rose begitu saja? Apa Seokjin sama sekali tak memikirkan bagaimana perasaannya? Tak ada satupun dari mereka menjelaskan mengapa Seokjin harus melakukan semua itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
the truth untold ❌ jinsoo
Fanfiction[18+] ✔ Jika saja aku lebih berani saat itu, mungkin kau tak akan pergi dan membuatku begitu menyesal saat ini. ----- ©iamdhilaaa, 2019