Gengsss, aku tahu diriku jarang update dan bahkan bisa sebulan sekali atau dua kali. Aku beneran minta maaf utk itu. Tapi, tolong, jikalau mau minta update, bisa dengan bahasa yg sopan, ya? Duniaku gak cuman di wattpad aja, tpi di real-life juga ada. Lucu aja gitu author skrang pada disalahartikan jdi "babu" sama pembaca. Menyuruh ini-itu dengan tidak tahu dirinya dan memaksakan kehendak mereka sendiri.
Jangan karna orangnya diam, kalian bisa ngelunjak. Daripada minta ini-itu, lebih baik menghargai apa yang sudah dikerjakan dan disajikan dengan semaksimal mungkin oleh seorang author.
Stay safe, guys. Karena sakit itu gak enak. Apalagi sakit hati 🤗🤗
.
.
.
.
.Pagi itu, Jisoo terbangun lebih dulu. Masih menyesuaikan kedua matanya pada silau matahari yang masuk melalui celah tirai jendela. Hingga pandangannya mulai mendongak, dan senyumnya terbentuk begitu saja ketika pandangannya menatap pada wajah tertidur seseorang yang tengah memeluknya saat ini pula. Wajah tampan yang tak akan pernah bosan untuk Jisoo lihat ketika ia terbangun di pagi hari.
Satu tangannya mulai terangkat perlahan, menyentuhkan ujung jemari telunjuknya pada pipi Seokjin. Tetap berhati-hati agar tak terlalu membangunkannya. Tentu saja, Jisoo merasa semua ini bukanlah mimpi karena merasakan sendiri kehadiran pria itu ketika menyentuhnya.
Jisoo sedikit terkejut--menjauhkan pula jemarinya--ketika ia bisa merasakan satu tangan Seokjin yang memeluknya semakin menariknya mendekat. Dan Jisoo memilih untuk menyamankan dirinya, kali ini tak terkejut ketika Seokjin sudah membuka kedua matanya perlahan.
"Selamat pagi, Oppa..."
Seokjin hanya membalasnya dengan senyuman, mengecup kening Jisoo pula dengan singkat sebelum kembali menutup kedua matanya. Meyakinkan pada dirinya sendiri jika sosok itu bukanlah mimpi, atau kejadian yang tengah ia alami saat ini bukan lagi sebuah khayalannya. Melainkan semua ini nyata dan bukan lagi bunga tidurnya.
"Oppa, ini sudah pagi. Ayo bangun."
Oh, tentu saja. Ini semua bukan mimpi, mendengar suara kesal Jisoo seperti tadi sudah bisa meyakinkan Seokjin kembali.
"Oppa..."
"Sebentar lagi. Bukankah sudah kubilang aku belum menuntaskan rinduku padamu?"
Jisoo tak lagi menjawabnya, membiarkan keduanya dalam keheningan saat itu dengan saling memeluk di atas tempat tidur. Lagipula, tidak ada hal yang harus dibuat terburu bagi mereka saat ini, pikir Jisoo. Jadi untuk meluangkan waktu dengan saling memeluk untuk melepas rindu setelah berpisah beberepa hari yang lalu bukanlah ide yang buruk.
"Jisoo..."
"Hmm?"
"Apa yang akan terjadi padamu jika pernikahan itu benar-benar terjadi dan kau terlambat untuk datang?"
Jisoo belum menjawab untuk beberapa waktu saat itu, sebelum akhirnya kini mendongak untuk menatap kembali pada Seokjin yang juga ikut menatap padanya saat ini.
"Kenapa harus ditanyakan lagi? Tentu saja aku akan merasa sedih karena pria yang sangat aku cintai, dimana aku bahkan bisa melakukan apapun agar aku bisa bahagia bersama dengannya, justru berakhir dengan wanita di lain dan hidup bahagia. Aku bahkan berpikir, apa aku akan bisa mencintai pria lain nantinya sebesar perasaan ini pada Oppa? Aku sendiri pun tak tahu, apa bisa jika aku menerima pria lain di kehidupanku nanti?"
Seokjin terhenyak oleh semua perkataan itu. Tentu saja, jikalau posisinya dibalik pun, Seokjin pun akan mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakan Jisoo. Ia terlalu mencintai wanita itu, hingga berpikir apa bisa ia memiliki perasaan sebesar ini nantinya pada wanita lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
the truth untold ❌ jinsoo
Fanfiction[18+] ✔ Jika saja aku lebih berani saat itu, mungkin kau tak akan pergi dan membuatku begitu menyesal saat ini. ----- ©iamdhilaaa, 2019