Part 13

16 2 0
                                    

Setelah menunaikan salat maghrib dan membaca al-qur'an, Hanum meraih ponselnya yang tengah di-charge. Baterainya sudah terisi 80%, gadis itu memilih untuk mencabutnya. Sejak bersama  Satria tadi, datanya terus menyala dan Hanum tak sempat mematikannya.

Gadis itu terhenyak mendapati spam pesan dan missed call dari Faisal. Rupanya pemuda itu lebih duluan sampai ke rumah dibandingkan dengannya. Segera saja Hanum membalas pesan-pesan tersebut. Setelah beberapa menit, Hanum tak kunjung mendapat balasan. Padahal pesannya terkirim dan ceklis dua.

Daripada menunggu tidak pasti seperti ini, Hanum memilih untuk menemui Faisal secara langsung. Masih dengan mukena yang dipakainya, gadis itu berjalan menuju balkon. Dilihatnya lampu di kamar Faisal menyala, pemuda itu pasti ada di dalam.

Hanum melemparkan sebuah kerikil ke sana dan memanggil nama Faisal cukup nyaring.

"Faisal. Keluar sini!" serunya.

"Faisal. Buka pintunya!'"

"Faisal. Cepetan!"

Masih tak ada jawaban. Sementara sang empu kamar rupanya tengah menekuri komik Doraemon sembari berbaring di tempat tidur. Ia berdecak ketika mendengar panggilan Hanum.

Sebenarnya, Faisal masih merasa kesal pada gadis itu. Oleh sebabnya ia tidak membalas pesan Hanum. Tapi rupanya sahabat perempuannya tidak menyerah begitu saja. Kini justru melempari balkon kamarnya dengan batu kerikil.

Faisal tak peduli. Untuk kali ini saja, ia akan membiarkan Hanum. Dirinya masih tak suka ketika mengetahui Hanum diantarkan oleh Satria. Terlebih lagi melihat perlakuan Satria yang menurutnya berlebihan, dan lagi Hanum tampak  baik-baik saja menerima perlakuan tersebut.

"Faisal, kalau nggak keluar aku bakalan nyebrang nih ke sana," ancam Hanum.

Faisal menulikan telinganya. Ia berbaring ke arah kanan dan mulai membaca komiknya lagi.

"Beneran. Aku bakal nyebrang pake papan kayu."

Pemuda itu masih bergeming. Sampai ia mendengar bunyi yang cukup keras menimpa pagar pembatas balkon kamarnya. Ia segera bangkit sembari menggerutu.

"Ish! Ngancem mulu bisanya."

Dengan wajah kesal, Faisal menghampiri Hanum. Dan benar saja, gadis itu sudah memasang papan antara pagar balkon. Ia juga sudah berancang-ancang dengan menaiki sebuah kursi. Terlebih lagi, Hanum keluar masih menggunakan mukena putihnya. Jika orang lain lihat, mungkin gadis itu sudah disangka hantu jadi-jadian.

"Astagfirullah, Hanum." Faisal mengusap wajahnya. Tercengang dengan kelakuan sahabatnya yang ajaib.

"Kamu ngapain pake naik-naik segala? Turun!" titahnya.

Hanum cengengesan. Ia lantas turun dengan perlahan dan duduk di kursi, menghadap pada Faisal.

"Abisnya, kamu dipanggil-pangil nggak ngejawab, sih. Di-wa juga nggak dibales. Yaudah aku nyebrang aja."

"Kan bisa lewat bawah, kali. Nggak perlu naik-naik gini, bahaya. Mana masih pake mukena."

"Males kalau lewat bawah. Harus ketuk-ketuk dulu, kalau lewat sini kan enak."

Faisal mengembuskan napas. Kemudian ikut duduk di sana. Mau bagaimanapun juga, ia memang ingin bertemu dengan gadis itu.

"Kamu lagi ngapain, sih, Sal? Kok dipanggilin nggak ngejawab terus," tanya Hanum. Gadis itu menatap Faisal, menuntut jawaban.

"Lagi baca komik."

"Anteng banget, ya, sampe wa nggak dibales. Dipanggilin juga nggak jawab."

Pemuda itu melirik gadis di seberangnya, yang rupanya tengah menatapnya lekat. Sialnya, Hanum terlihat lebih menawan dengan mukena putih yang dipakainya.

Adem.

Faisal berdeham. Ia kembali mengalihkan pandangannya dari gadis itu. "Iya. Anteng pake banget. Kayak kamu, di-wa dari sore nggak dibales. Tahunya belum pulang," balasnya ketus.

Kedua mata Hanum membulat, namun tidak kentara. Apa Faisal marah padanya? Tidak biasanya pemuda itu bersikap seperti ini. Apalagi nada bicaranya yang sedikit sewot.

"Kamu ... marah?" Hanum bertanya pelan dan hati-hati.

"Nggak," elak Faisal.

Gue cuma kesel. Gue juga cemburu.

"Aku kesel aja, pas tahu kamu belum nyampe rumah padahal udah aku suruh pulang duluan. Takut kamu kenapa-napa di jalan. Entah dibawa ojol lah, dibawa kabur tukang angkot lah, atau nyasar. Tahu nggak sih yang namanya orang khawatir?"

Faisal berkata dengan nada menggebu-gebu, meluapkan kekesalannya pada Hanum.

Hanum tercengang. Baru sekarang sahabatnya bersikap seperti itu. Apa Faisal sekhawatir itu padanya? Diam-diam Hanum mengulum senyum. Sedikit lancang memang, ia malah senang di saat sahabatnya khawatir tentang dirinya. Tapi, siapa juga yang tidak senang diperhatikan seperti ini?

"Maaf, ya, Sal. Aku nggak expect kalau kamu bakalan khawatir banget kayak sekarang."

Mau bagaimanapun juga, Faisal tak bisa berlama-lama marah pada sahabatnya. Ia pun mengangguk dan mengulas senyum tipis.

"Terus, tadi kamu pulang naik apa? Ke mana aja sampe pulangnya sore?" Faisal pura-pura tak tahu.

"Aku pulang sama Satria, naik angkot. Tapi mampir dulu ke pasar."

Kening Faisal berkerut. "Pasar? Ngapain kamu ke sana sama Satria?"

"Beli kaset film. Katanya, minggu ini Satria bakal ngajak kita nonton bareng. Tadi dia beli film horror deh kayaknya. Nggak sabar pengen nonton." Hanum menjelaskan dengan antusias.

Sementara Faisal, raut wajahnya kini sudah berubah lagi. Jujur saja, pemuda itu tak suka ketika Hanum menyebut-nyebut nama Satria di hadapannya. Like ... di sini adanya gue, bukan dia, Hanum.

"Sal, kok kamu diem aja, sih? Dengerin aku cerita nggak?" Hanum protes kala melihat Faisal menatap kosong ke arahnya.

"Eh? Iya, dengerin kok." Faisal menatap lekat gadis yang sangat disukainya. Rasanya, ia tak rela ketika perhatian Hanum terbagi antara dirinya dan Satria. Ia juga tak rela ketika gadis itu menghabiskan waktunya dengan Satria, bukan dengannya.

Ia menyesal, kenapa dulu membiarkan Hanum diantarkan oleh Satria. Jika akhirnya akan seperti ini, maka Faisal-lah yang akan menjemputnya kala itu. Ia takkan pernah mempertemukan mereka berdua.

Biarlah Faisal dicap egois. Nyatanya memang begitu, ia tak mau Hanum dekat-dekat dengan sepupunya sendiri. Ia tak mau sosoknya sebagai laki-laki paling dekat dengan Hanum—selain ayah dan kakaknya tergantikan oleh orang lain. Tapi, di sisi yang berbeda, ia juga senang Hanum dapat beradaptasi dengan orang lain selain dirinya.

Faisal mendesah. Pikirannya jadi rumit. Tentu ia takkan sekonyong-konyong menjauhkan Hanum dari Satria. Ia bisa melihat, gadis itu berbinar senang setiap bersama Satria.

Mungkin, Faisal memang harus berusaha lebih keras. Lebih dari sebelumnya.

***

HanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang