Pulang sekolah, setelah selesai menunaikan salat ashar, Hanum duduk pada bangku di tepi lapangan. Ia asyik menyaksikan para siswa yang tengah mengikuti kegiatan ekstrakulikuler. Di sana, ada ekskul paskibra, volly dan juga basket. Sayup-sayup juga terdengar tabuhan alat musik dari ekskul marching band yang sedang latihan di lokasi yang berbeda.
Jam di pergelangan tangan Hanum sudah menunjukkan pukul empat lebih empat puluh menit. Bukan tanpa alasan, Hanum belum kunjung pulang karena menunggu Faisal yang tengah belajar tambahan. Olimpiade Fisika yang akan diikuti Faisal diadakan kurang lebih dua bulan lagi. Maka dari itu, sahabatnya kini mulai mengikuti pelajaran tambahan setelah sepulang sekolah.
Hanum berdecak, ia bosan. Dirinya sudah duduk di sana selama satu jam lebih. Meskipun bisa menonton mereka yang tengah ekskul, tapi tidak ada seorang pun yang dapat diajaknya bicara. Dalam keadaan seperti ini, waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya.
Hanum melihat jam tangannya lagi, baru bertambah tiga menit setelah terakhir kali ia melihatnya. Faisal bilang, ia baru selesai belajar pukul lima sore. Sekitar tujuh belas menit lagi dari sekarang. Masih cukup lama.
Sebenarnya, Faisal sudah mewanti-wanti padanya sejak sebelum berangkat sekolah. Ia boleh pulang duluan tanpa harus menunggu Faisal, jika memang ingin. Tapi, bukan Hanum namanya jika ia terpisah dengan Faisal. Ia lebih memilih untuk menunggu Faisal, dan pulang bersamanya. Hanum tak mau naik ojek online, ia pun terlalu takut untuk naik angkot.
Alhasil di sinilah ia sekarang. Teronggok begitu saja di tepi lapangan, hampir berjamur karena menunggu sahabatnya yang belum kunjung selesai belajar. Hanum melihat jamnya—lagi, masih kurang lima belas menit.
Ia kembali mengalihkan pandangan ke depan, permainan volly berlangsung seru. Salah satu tim berhasil mencetak tujuh poin. Hanum menyaksikannya tanpa minat.
Tanpa disadari, seseorang berjalan menghampirinya dari arah samping. Kemudian mendudukkan diri di samping Hanum.
"Tumbenan lo belum pulang," celetuknya.
Hanum menoleh, melihat Satria dengan penampilan yang acak-acakan. Seragamnya tidak dimasukkan, bagian bawahnya tampak kusut. Terlihat tetes-tetes air yang mulai mengering dari wajah dan ujung rambutnya. Sepertinya lelaki tersebut baru saja membasuh wajahnya.
"Lagi nunggu Faisal."
"Ngapain itu anak satu?"
"Belajar tambahan, buat olimpiade Fisika," Hanum menjelaskan. Satria membulatkan mulutnya. "Kamu sendiri, kenapa belum pulang?" tanya Hanum.
"Lihat yang ekskul volly. Lagi seru," jawabnya.
"Tumbenan," balas Hanum.
Satria terkekeh. "Lo kok mau-maunya sih nungguin si Bujang Lapuk?"
"Kalau nggak nunggu dia, terus aku pulang sama siapa?"
"Kan, bisa naik angkot."
Hanum menggeleng. "Nggak berani."
"Jadi, lo nggak pernah naik angkot sama sekali?"
"Pernah. Tapi jarang banget. Kalau naik, paling juga sama bunda."
"Lo kemana-mana selalu sama Faisal, berarti?"
"Iya."
Satria mengangguk-angguk. "Lo kenal Faisal sejak kapan?"
Mata Hanum menerawang. "Sejak kita masih sama-sama kecil. Karena dari dulu emang tetanggaan, jadi deket sampe sekarang."
"Sedeket itu ... lo ada perasaan nggak sama Faisal?" Satria menyelidik, netranya menilik milik Hanum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanum
Teen FictionHanum tak pernah pacaran, teman laki-lakinya pun hanya Faisal. Entah karena ia terlalu cuek, atau memang tak menarik di mata laki-laki. Tapi, Hanum memang tak pernah benar-benar jatuh cinta. Pada siapa pun. Bahkan ketika Faisal menyatakan perasaann...