Part 5

228 7 0
                                    

Senin yang panas. Bertambah panas ketika murid-murid saling berdesakan di kantin untuk membeli seporsi makan siang. Hanum meringis melihat penampakan tersebut, merasa beruntung karena setiap hari ia selalu membawa bekal dan tidak perlu susah payah berdesakan seperti murid lainnya.

Rencananya Hanum hanya akan membeli beberapa buah gorengan untuk teman makan nasi goreng spesial buatan Haifa, bundanya. Setelah berhasil membebaskan diri dari kerumunan masa di kantin, Hanum melenggang keluar sembari menenteng sekantung gorengan di tangan kiri, dan tangan kanan yang juga menenteng tas kanvas berisi bekal serta infused water. Gadis itu berjalan menyusuri koridor, melewati jajaran kelas lain untuk menuju kelas Faisal.

"Faisal ada?" tanya Hanum pada beberapa anak laki-laki yang sedang nongkrong di depan kelas 12 IPA 2.

"Eh, ada Neng Hanum. Faisalnya lagi nggak ada, dipanggil sama Bu Dede ke kantor," jawab salah seorang diantara mereka.

Saking seringnya Hanum ke sana untuk mengunjungi Faisal, mereka jadi mengenal sosok Hanum.

"Oh, gitu ya. Yaudah, makasih."

"Sama-sama Neng Hanum. Nggak mau nongkrong di sini bareng kita aja?" tanya yang lainnya.

Hanum menggeleng, tersenyum tipis. Ia berbalik dan meninggalkan kelas tersebut, memutuskan untuk makan sendirian saja di Lab. Komputer. Seperti biasa, suasana di sana sepi. Namun, ada satu yang tak biasa tertangkap oleh mata Hanum.  Sesosok laki-laki yang tengah duduk membelakanginya pada pembatas.

Siapa? Pikir Hanum. Bukankah Faisal sedang dipanggil Bu Dede ke kantor, tidak mungkin teman-temannya berbohong. Atau orang lain? Seingatnya, selain ia dan juga Faisal, tak pernah ada orang lain yang mengunjungi tempat ini selain pada saat jam pelajaran.

Hanum yang semula berdiri diam, melangkah mendekat ke ujung, ke tempat dimana pemuda itu duduk.

"Ekhem." Hanum berdeham, sedikit kaku. Agak takut juga menghadapi orang asing di tempat sepi.

Orang itu berbalik. "Eh? Hanum? Akhirnya lo datang juga. Gue tungguin di sini dari tadi, kirain lo nggak sekolah."

Ternyata Satria. Hanum menghela napas lega, setidaknya bukan orang asing yang ia temui.

"Kok kamu bisa ada di sini? Tahu dari mana kalau aku suka ke sini?"

"Lah, tempo hari kan elo yang ngajak, terus ngasih tahu kalau suka nongkrong di sini tiap jam istirahat sama Faisal. Masa udah lupa aja, sih."

"Oh, iya. Lupa, hehe ...."

Satria terkekeh, kemudian mengajak Hanum untuk duduk di sampingnya.

"Faisal mana?"

"Lagi di kantor, dipanggil sama Bu Dede."

"Hooo ... Eh, lo suka bawa bekel?" tanyanya lagi ketika melihat tas kanvas yang dibawa Hanum.

"Iya. Bunda yang nyuruh, katanya biar hemat terus uangnya bisa ditabung. Bawa bekel sendiri juga lebih higienis." Hanum mengeluarkan bekal dan juga minumannya. "Eh, kamu udah makan? Kalau belum kita makan berdua aja."

"Wah ... Kebetulan nih belum makan, tadi nggak ke kantin soalnya, langsung ke sini. Eh, tapi beneran nih, gue boleh ikut makan?"

"Boleh lah. Aku bawa banyak kok bekelnya. Sengaja, soalnya emang suka makan berdua sama Faisal."

Satria manggut-manggut. Mereka berdua makan dalam diam. Tak ada yang berbicara hingga gorengan dan nasi goreng buatan Haifa habis. Selagi makan, sesekali Satria menatap Hanum dengan lekat. Sementara yang ditatap terus menunduk, fokus pada makanannya. Tak mau menatap retina Satria yang dirasa tajam.

Satria senang ia bisa berteman dengan Hanum. Gadis itu baik, lembut, juga polos. Hanum menunduk saat Satria lagi-lagi menatapnya dengan begitu intens. Pemuda itu terlalu tampan, tak ayal jika Hanum salah tingkah jika ditatap terlalu lama olehnya.

"Makasih, ya, buat bekelnya. Maaf nih jadi ngerepotin," ungkap Satria sembari membantu Hanum membereskan wadah bekalnya.

"Sama-sama, nggak ngerepotin kok. Kalau kamu berkenan buat datang lagi ke sini, aku bakal bawa bekel lebih buat dimakan bertiga sama Faisal."

Hanum tak sadar, ia sudah lebih terbuka dengan keberadaan Satria. Membiarkan pemuda itu masuk ke dalam ruang lingkup hidupnya. Tak seperti temannya yang lain, keberadaan Satria tidak membuat Hanum merasa kikuk. Satria easy going, meski memang masih canggung, tapi Hanum sudah dapat bercerita dan berbicara banyak dengan seseorang selain Faisal.

"Udah mau bel masuk. Turun yuk, kita barengan aja jalannya."

Hanum setuju. Mereka berjalan berdampingan, Hanum sedikit menjaga jarak. Sepanjang jalan, tak henti Satria terus bercerita. Hingga akhirnya mereka berpisah dan memasuki kawasan masing-masing.

Di lain sisi, di bawah tangga menuju Lab. Komputer, Faisal duduk sambil menggenggam biskuit rasa green tea kesukaan Hanum. Ia terlambat datang ke lab karena dipanggil Bu Dede terlebih dahulu. Baru bisa datang ketika waktu istirahat tinggal sepuluh menit. Di sisa waktu tersebut, ia melihat Hanum tengah berjalan dengan Satria meninggalkan lab.

Sedikit kaget, namun Faisal sudah memprediksi sebelumnya. Kedekatan Hanum dan Satria pasti akan berlanjut. Faisal hanya dapat berdoa, jangan sampai Hanum salah meletakkan harapannya. Ia tak mau sahabatnya terluka.

Bel tanda masuk berbunyi nyaring, menyadarkan Faisal dari lamunannya. Ia beranjak pergi dari sana, memutuskan untuk menemui Hanum nanti, sepulang sekolah.

***

Koridor, lapangan, parkiran, dan gerbang sekolah dipenuhi oleh murid yang berjejalan saling mendahului untuk dapat pulang terlebih dahulu. Sementara Faisal, ia terjaga di depan kelas Hanum, menunggu sahabatnya yang masih membereskan peralatan belajar. Sesekali pemuda itu tersenyum dan membalas sapaan yang ditujukan untuknya.

"Faisal, ayo."

Suara lembut itu menginterupsi Faisal yang sebelumnya tengah menatap ke arah lapangan.

"Yuk."

Keduanya berjalan berdampingan. Sudah menjadi hal biasa bagi Hanum dan Faisal seperti ini. Karena setiap harinya mereka berdua selalu berangkat dan pulang sekolah bersama. Faisal selalu membawa motor, dan Hanum diboncengnya.

"Tadi ke kelas aku nggak?" tanya Faisal ketika mereka telah tiba di parkiran.

"Iya. Kata temen kamu katanya kamu lagi dipanggil Bu Dede ke kantor."

"Heem. Terus, tadi ke Lab. Komputer nggak?"

Meski sudah tahu jawabannya, Faisal tetap ingin bertanya.

"Iya, dong."

"Makan sendirian?"

"Nggak. Sama Satria. Pas aku ke sana, tiba-tiba aja dia udah ada di sana. Yaudah, aku makan sama dia. Abisnya, nunggu kamu dari kantor tahunya nggak dateng-dateng."

Faisal mengangguk atas jawaban yang diberikan Hanum. Ia segera menaiki motornya setelah memberikan helm bogo bergambar Baymax pada Hanum. Motor matic tersebut kemudian melaju dengan kecepatan sedang, meninggalkan SMA Teratai.

"Aku tadi juga nawarin Satria buat makan bareng sama kita, kalau dia mau. Jadi nanti aku bawa bekel dari rumah lebih banyak buat kita bertiga."

Suara Hanum sedikit terbawa angin, namun Faisal masih dapat mendengarnya. Hatinya sedikit tercubit, mengetahui bahwa sahabatnya mengajak orang ketiga diantara mereka berdua. Faisal tak rela, bahkan meskipun Satria sepupunya.

"Pastiin dulu dia mau apa nggak. Jangan sampai nanti kamu kecewa karena udah bawa bekel, tahunya dia nggak ada."

Faisal membalas dengan suara pelan. Yang kemudian dijawab Hanum dengan,

"Hah? Apa? Nggak kedengeran," sambil sedikit berteriak, untuk mengalahkan suara kendaraan yang saling bersahutan.

***

Cianjur, 7 Juli 2019
Salam, snrni

HanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang