Part 2

216 9 0
                                    

Satria sungguh tidak menyangka kalau dirinya akan dipertemukan dengan gadis layaknya patung yang merupakan sahabat dari sepupunya sendiri. Sejak di perjalanan tadi, yang mendominasi percakapan hanyalah Satria. Sedangkan Hanum hanya menjawab sekadarnya, itu pun antara iya dan tidak.

Sekarang, saat mereka berada di Gramedia pun Satria hanya duduk bengong. Menunggu Hanum yang berkeliling sambil memborong novel keluaran terbaru yang tengah ia incar. Jenuh karena terlalu lama menunggu dan hanya bermain ponsel, Satria akhirnya menghampiri Hanum yang berada diantara rak buku.

Gadis mungil itu sedang membaca blurb dari sebuah novel yang ia pegang. Di tangan lainnya, dua buah novel telah menunggu untuk ia bawa pulang. Satria berjalan pelan menghampiri Hanum dari belakang.

"Cari novel apa, sih?" tanyanya penasaran.

"Eh?" Hanum menoleh, sedikit kaget akan kedatangan Satria yang tiba-tiba. "Ah, ini, nyari novel fantasy sama teen fiction," jawabnya kaku.

"Suka banget baca buku?"

Tanpa sadar, Hanum mengangguk dengan semangat. Jika sudah ditanya soal buku, Hanum memang selalu bersukacita.

"Banget. Dari kecil aku udah keranjingan baca, soalnya suka disuguhin majalah Bobo sama bunda."

Ini adalah kalimat terpanjang yang Hanum ucapkan pada Satria setelah hampir satu jam mereka bersama. Satria mengulum senyum, ternyata Hanum gadis yang menyenangkan, pikirnya. Hanya saja, mungkin ia perlu waktu untuk bisa akrab dengan sahabat dari sepupunya itu. Atau mungkin tidak, sebelumnya ia hanya berniat mengantar Hanum atas permintaan Faisal, selebihnya tak ada keinginan untuk berteman lebih dekat.

"Beda banget sama gue. Waktu kecil makanan gue malah mainan semua. Nggak ada sedikit pun minat buat baca buku."

Hanum mengangguk-angguk. "Tiap orang punya seleranya masing-masing, kok," timpalnya.

"Lo masih lama milih bukunya?"

"Ah, udah kok. Aku udah ambil tiga, tinggal bayar. Kamu lagi buru-buru, ya? Kalau gitu nggak apa-apa, kamu pulang duluan aja. Biar nanti aku pulang sendiri." Lagi-lagi, kebiasaan Hanum muncul. Ia seringkali merasa cemas, khawatir dan tidak enak pada orang lain.

"Eh, nggak kok. Gue nggak buru-buru. Lagian, nggak mungkin gue ninggalin lo sendirian disini. Lo masih jadi tanggung jawab gue sekarang, kalau gue lepas tanggung jawab yang ada nanti malah dibantai sama si Faisal. Gue cuma nanya doang tadi, soalnya gue udah laper nih, hehe."

Satria mengelus perutnya sambil cengengesan ke arah Hanum.

"Oh, gitu ya." Hanum meringis. Sepertinya ia terlalu lama memilih buku hingga Satria kelaparan.

"Makan dulu, yuk. Habis makan baru nanti kita lanjutin," ajak Satria.

Hanum melihat sekilas jam di pergelangan tangannya, pukul setengah satu. Ia belum makan siang, juga belum melaksanakan salat. Akhirnya Hanum mengangguk, menyetujui ajakan Satria.

"Yuk."

Keduanya menuju kasir terlebih dahulu, untuk membayar buku-buku yang Hanum beli. Kemudian mencari tempat makan dan melaksanakan salat di mushala terdekat.

***

Faisal duduk dengan gelisah pada kursi di teras depan rumahnya. Ia baru saja pulang pukul dua belas siang tadi. Mamanya benar-benar menghabiskan waktunya untuk berkeliling di mall. Tak jauh berbeda, Syifa juga mengajaknya untuk bermain di timezone selama hampir satu jam lebih.

Sejak tadi ia menunggu kepulangan Hanum dan Satria. Jujur saja, meski Satria sepupunya, Faisal benar-benar tak rela jika Hanum jalan dengan laki-laki lain. Mengetahui fakta bahwa Faisal menyukai Hanum, menjadikan ia sedikit protektif dengan hal apa pun yang bersangkutan dengan sahabatnya itu.

Seperti yang dikatakan banyak orang, tak ada persahabatan yang betul-betul murni antara laki-laki dan perempuan. Itu adalah fakta. Contohnya saja Faisal dan Hanum. Diantara keduanya, Faisal yang jatuh cinta.

Faisal jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Faisal pun pernah menyatakan perasaannya pada Hanum dan meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya. Sebutlah ia bertepuk sebelah tangan. Sebab Hanum menolak mentah-mentah pernyataan cintanya.

Alasannya? Pacaran haram dalam Islam. Ingin sekali saat itu Faisal mendengus. Jika pacaran haram, lalu hubungan persahabatan mereka selama ini apa? Bukankah itu juga 'haram'? Bukankah itu juga mendekati zina?

Alasan Hanum lainnya adalah karena ia tak mau merusak persahabatan mereka yang sudah terjalin lama, bahkan sejak mereka masih kecil. Terkadang, urusan hati lah yang justru merusak sebuah persahabatan. Dan Hanum tak mau hal itu terjadi antara dirinya dan juga Faisal.

Untuk yang satu itu, Faisal bisa mengerti. Hanum tak ingin jika suatu saat mereka putus, hubungan mereka tak lagi membaik seperti semula. Justru kebanyakan dari mereka yang sebelumnya bersahabat kemudian berpacaran malah menjadi dua orang asing yang seolah tak saling kenal ketika mereka putus. Akan tetapi, hanya satu alasan akurat yang harus Faisal terima lapang dada saat Hanum menolaknya, yaitu fakta bahwa Hanum memang tidak mencintai Faisal lebih dari seorang sahabat.

Tapi setidaknya ia dan juga Hanum masih bersahabat dengan baik hingga saat ini. Menepis realitas bahwa sebelumnya Faisal pernah menembak Hanum.

"Si Kutu Kupret bawa Hanum kemana aja, sih?! Lama banget, jam segini belum balik-balik. Jadi nyesel kan gue nitipin Hanum sama dia. Mana Hanum ngakuin kalau dia ganteng, lagi!" rutuk Faisal.

Pasalnya, ketika mendapat pesan singkat dari Hanum kalau Satria lebih tampan darinya, seketika itu juga Faisal merasa kesal. Hanum tidak boleh terpincut oleh Satria, apalagi sampai jatuh cinta padanya. Kenapa? Sebab Faisal tak ingin Hanum jadi milik Satria. Sebut saja ia egois, tapi memang begitu kenyataannya.

Deru motor memecahkan lamunan Faisal. Ia beranjak dari kursi dan segera menuju pagar rumahnya. Dilihatnya Satria yang baru saja menghentikan motornya di depan rumah Hanum. Tanpa pikir panjang, Faisal langsung menghampiri keduanya.

"Hanum!" serunya sambil setengah berlari.

Setelah turun dari boncengan, gadis tersebut menoleh dan tersenyum. "Hai," sahutnya.

"Kamu nggak apa-apa, kan? Baik-baik aja, kan? Tadi abis kemana aja?" Faisal mencecari Hanum dengan beberapa pertanyaan sambil memastikan bahwa tak ada lecet sedikit pun di tubuh gadis itu.

"Aku baik-baik aja, kok. Kamu kelihatannya khawatir banget."

Pertanyaan dari Hanum mewakili keheranan yang juga dirasakan oleh Satria. Laki-laki itu bahkan mengernyit saat melihat Faisal menghampiri dan bertanya pada Hanum dengan heboh.

"Iya, kok lo khawatir banget, sih? Kayak gue abis nyulik Hanum aja," timpal Satria.

Faisal tidak menghiraukan pertanyaan yang diajukan Satria, membuat sepupunya mendengus kesal.

"Iya, aku khawatir kalau kamu diapa-apain sama dia."

Satria lantas menepuk bokong Faisal. "Sembarangan lo kalau ngomong!" omelnya.

"Emang suka ngapa-ngapain kan lo," balas Faisal.

"Udah, udah. Satria nggak ngapa-ngapain aku, kok. Kamu nggak usah khawatir," lerai Hanum.

"Yaudah, kamu masuk rumah, gih. Istirahat. Tante Haifa pasti khawatir."

Hanum mengangguk. "Aku duluan ya, Faisal. Satria, makasih banyak ya buat semuanya."

"Sama-sama, buat lo apa yang nggak, sih." Satria tersenyum.

Hanum balas tersenyum, kemudian masuk dan meninggalkan dua laki-laki tersebut di balik pagar rumahnya.

"Sat, lo hutang penjelasan sama gue."

***

Cianjur, 30 Mei 2019
Salam, snrni

HanumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang