Perjalanan dari rumah ke MA Al-Khoiriyah hanya berkisar kurang lebih dua puluh lima menit. Tirta menatap sang kakak yang tengah memutar kemudinya ke area parkir.
"Mas Fai beneran ini?" tanya Tirta serius.
"Iyalah. Dua rius malah. Kamu sih kemarin pake kabur, coba enggak ada ulangan. Mas langsung kurung full libur," jawab Fairuz ketus.
Pria dua puluh delapan tahun tersebut membenarkan kemeja, sebelum keluar lebih dulu dari mobilnya. Masih sedikit kesal dengan sang adik yang berlagak lupa, padahal sengaja agar tak jadi kontrol perihal kesehatannya.
Air muka Tirta mendadak muram. Merasa bersalah sebab dirinya terlanjur berbuat yang tidak-tidak kemarin sore. Melupakan jadwal rutin untuk bertemu dokter secara sengaja.
Helaan napas Tirta menguar, masih menatap sang kakak yang berjalan memasuki kawasan ruang guru. Dari kejauhan jika dilihat saksama, punggung itu terlihat begitu tegar nan kekar. Padahal Tirta tahu, seorang Fairuz Astera itu benar-benar rapuh secara batiniahnya.
Selagi Fairuz masih pergi menemui wali kelasnya untuk meminta izin, Tirta sempatkan diri untuk menuju kelas. Singgah sejenak sembari menata hatinya untuk bertemu dokter nanti.
Kaki jenjang Tirta dibawa menuju ruang kelas yang terletak tak jauh dari area parkir. Kelasnya yang terletak di lantai dasar, membuat Tirta tak harus susah payah menguras tenaga untuk menaiki tangga. Pun jarak dua ruang dari tempat Fairuz bertemu gurunya.
"Pagi, Ansa," sapa Tirta riang saat mendapati sosok pemuda yang tengah duduk di kursi panjang depan kelasnya.
Sosok tersebut tak menjawab, hanya fokus pada ponsel yang digenggamnya. Namun, bukan Tirta yang akan mengalah cepat. Maka segenap jiwa, Tirta turut mengambil posisi duduk merapat. Ikut melirik ke arah pemuda tersebut yang tengah fokus pada permainan online rupanya.
Memang di madrasahnya diperbolehkan untuk membawa telepon genggam guna membantu siswa berkomunikasi ataupun menambah wawasan baru tatkala tugas sekolah tak mumpuni dikerjakannya sendiri.
"Kamu gamer? Wah, sama kayak Nusa berarti. Tapi, Nusa mainnya cacing-cacing itu loh. Yang lagi viral banget. Kamu main itu juga?"
Pertanyaan Tirta seolah terbalas oleh angin yang berembus. Suara nyaringnya seakan lenyap bersama dengan arus yang tenang.
Tak jua menyerah, Tirta pun semakin bersemangat. Ia menepuk pundak temannya cukup kuat hingga empunya terlonjak.
"Apa-apaan sih? Ganggu aja. Pergi sana!"
Bukannya mengalah, Tirta justru semakin gencar menggoda.
"Masih pagi, Ansa. Enggak baik marah-marah. Nanti jadi temennya setan, enggak masuk surga loh," jawab Tirta asal.
"Bodo amat."
Belum sempat membalas, decakan kasar diikuti beberapa umpatan lolos dari bibir pemuda yang ada di samping Tirta. Muka berang pun turut hadir menyergap di hadapannya. Namun, Tirta seolah tak takut malah membalas dengan senyuman yang mengembang.
"Lo emang enggak guna, ya? Ngapain sih lo di sini? Udah bosen, ya, temen lo satu itu?"
"Emang enggak boleh kalau nyari temen baru? Menjalin tali silaturahmi itu indah loh. Kamu enggak pernah dengerin pas pelajaran agama, ya?"
Netra Tirta menangkap raut memerah padam dari temannya. Pun juga terdengar suara game over ponsel di sebelahnya. Beberapa detik kemudian tubuhnya tersentak saat lengannya ditarik paksa berdiri tanpa aba-aba.
"Sakit, Sa!" Tirta mencoba melepaskan cekalan pemuda itu yang kini sudah menatapnya tajam.
Sesekali ringisan lolos dari bibir saat tangannya diremas kencang oleh sosok di depannya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
N [Open PO]
Teen Fiction⛔⛔⛔ Peringatan keras bagi para pembaca, mohon diperhatikan dengan sepenuh hati, jiwa, dan pikiran. Bila ditemukan unsur kekerasan ataupun kata-kata kasar, dimohon untuk tidak ditiru! Harap pandai-pandai mengambil nikmat dari bacaan. Oke, readers? [...