N : 6. Penghangat saat Hujan Lebat

154 36 6
                                    

"Shaadaqallahul'azhim."

Senyum merekah di bibir Fairuz. Menarik cepat tubuh sang adik ke dalam dekapannya.

Kurang lebih empat puluh menit berlalu, lantunan ayat suci yang Tirta lafalkan tak henti-hentinya membuat hati Fairuz bergetar. Merasa senang bisa mengenal lebih dalam sosok Tirta dan menjadi sebagian hidupnya.

"Mas bangga sama kamu, Dek," ucap Fairuz. Lantas ia lepas pelukannya, menemukan senyuman cerah di wajah adiknya.

"Tirta bersyukur bisa ketemu sama Mas Fai," jawab Tirta tak ingin kalah. "Aku pamit ke kamar dulu, Mas," lanjutnya.

"Ada tugas?"

Belum sempat Tirta bangkit, pertanyaan dari kakaknya menyusup di telinga. Anak itu kembali duduk bersila sembari tangannya memegang Al-Quran yang ia gunakan sebelumnya.

"Enggak. Kenapa?" tanyanya balik.

Tak ada balasan yang Tirta dengar selain gelengan kecil. Lalu kebangkitan Fairuz dari tempatnya duduk.

"Macak dulu sana. Mau Mas ajak kencan."

Bibir Tirta berkedut ingin tertawa, tetapi tertahan sebab sosok yang akan ia tertawai sudah melenggang pergi lebih dulu. Maka dirinya pun harus bangkit dari sana. Membawa langkah kakinya menuju kamar.

Paham jika sang kakak butuh gandengan agar tak terlihat seperti lelaki yang tak laku di pasaran. Padahal jika dilihat-lihat Fairuz cukup dikatakan sebagai pria idaman. Dokter muda nan tampan sesiapa yang tak ingin bersanding? Pasti semua akan berangan tinggi untuk memiliki. Kendati sampai hampir di angka tiga puluh, kakaknya belum sama sekali menemukan tambah hati. Entah mengapa.

***

Apa yang diucapkan oleh Fairuz beberapa saat lalu tidak dusta. Benar saja, kendaraan roda empat yang Tirta tumpangi bersama kakaknya tersebut berbelok ke arah sebuah rumah makan. 'Ayam Bakar Wong Solo'. Banner besar terpampang di pinggir Jalan Pahlawan Kusuma Bangsa, Pare.

Kernyitan halus tercetak di dahi Tirta. Setelah Fairuz memarkirkan mobilnya, ia tahan sebelum turun.

"Ngapain, Mas?" tanya Tirta polos.

"Nyari pacar. Udahlah, yuk!"

Dengkusan terbuai dari bibir Tirta. Remaja enam belas tahun tersebut terpaksa turun dengan lesu. Cuaca malam ini memang cukup dingin. Tak elak jika rasa malas memang menjadi alasan mengapa sempat terjadi penolakan beberapa waktu saat lalu.

"Mas Fai beneran mau cari pacar? Godain mbak-mbak di kasir gitu?"

Hampir saja Fairuz memiting kepala sang adik jika tak ingat harga dirinya pun dipertaruhkan. Beberapa pasang mata tertuju padanya akibat ucapan Tirta yang cukup kencang, hingga timbul rasa malu antara keduanya.

"Berisiknya mulai. Ketularan Nusa deh," cibir Fairuz. Lantas meminta maaf pada beberapa pengunjung akibat gurauan yang dilontar oleh sang adik melalui kode gerakan.

"Ya, maaf. Habisnya jarang-jarang Mas Fai ajak aku keluar malam-malam. Malah yang ada diomelin," jawab Tirta sekenanya. Lantas duduk di tempat yang tersedia. Menarik buku menu yang ada di atas meja.

"Sesekali, Ta. Enggak apa-apa kok. Makanya tadi Mas Fai suruh pakai jaket biar enggak masuk angin. Kamu mau apa?"

"Ikut Mas Fai aja." Tirta menyerahkan buku menu kepada kakaknya yang duduk di seberang. Menyisir sekitar dengan kedua netranya. Cukup banyak pengunjung yang tengah makan di sini.

N [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang