Setelah bel jam terakhir berbunyi nyaring, hampir seluruh siswanya beranjak meninggalkan kelas. Menyisakan segelintir orang yang malas untuk pulang.
Sore ini, Tirta memilih mengerjakan piket sebelum pulang. Sembari menunggu kakaknya menjemput.
"Ditunggoki gak?"
Atensi Tirta tertuju penuh pada Nusa yang sudah menenteng tas sembari memegang penghapus papan tulis.
"Emang mau?" tanya Tirta balik.
Belum sempat menjawab, tatapan Nusa tertuju pada Ansa. Mendapati lelaki itu tengah berjalan santai menuju bangku untuk mengambil tas yang tertinggal usai salat Asar. Sontak ide cemerlang datang.
Kaki jenjang Nusa dibawa menuju pojok kelas dengan cepat. Menggapai sapu yang tersedia di almari besar.
Satu putaran menyapu selesai di barisan paling kanan, sebelum bertemu tatapan dengan Ansa yang akan keluar ruangan.
"Nyapo?" tanya Nusa yang dibalas tatapan aneh oleh Ansa. Seolah tak mengerti apa yang dikatakan olehnya. "Jo ndek tengah dalan, iso ra?"
Seperkian detik, Ansa masih berusaha mencerna setiap kalimat yang keluar dari bibir temannya. Ah, bukan. Makhluk di depannya itu tidak pantas untuk dikatakan sebagai teman.
"Minggir!" seru Ansa lantas berlalu, sempat menubruk bahu Nusa tanpa iba.
"Cah edan."
Mendengar umpatan dari Nusa, membuat Tirta terpingkal-pingkal. Tubuhnya ia dudukkan di salah satu kursi dan memegang perutnya yang tak bisa berhenti tertawa.
"Wong asing mok jak omong. Ra ngerti opo-opo," ujar Tirta seraya meredam tawanya sendiri.
"Sengaja. Pengin ndelok muka sangarnya kalau lagi linglung." Pada akhirnya tawa yang sempat Nusa tahan pecah bersama tawa milik Tirta.
Tiada orang tahu, bahwa menggoda seorang Nuansa semenyenangkan itu untuk keduanya.
"Dijemput tak?" tanya Nusa usai mengembalikan sapu pada tempatnya.
Beberapa menit berlalu, tak sadar jika keduanya telah menyelesaikan kegiatan menyapunya. Meski tak sepenuhnya dikerjakan. Tak apa, menyisakan untuk siswa lain yang juga mendapat giliran piket esok hari.
"Hu'um. Cuma agak sorean paling. Mas Fai belum kasih kabar. Biasanya kalau udah di depan pasti kasih kabar," jawab Tirta seraya mengecek ponselnya yang masih kosong tanpa notifikasi dari siapapun.
"Tak terne ta?" tawar Nusa.
"Ngerepotin. Enggak deh. Nunggu Mas Fai aja. Kalau enggak nanti mampir ke panti aja. Sebelahan kok," tolak Tirta lembut.
Mengingat jikalau jarak rumah Nusa dan Tirta cukup jauh. Walaupun sejalan. Namun, Tirta tak enak hati jika seringkali merepotkan temannya itu.
"Gak opo. Sekalian main. Tak traktir soto. Oke?" Nusa menutup pintu kelas dan menguncinya. "Tidak menerima penolakan. Mantap."
Helaan napas mengudara dari bibir Tirta. Jikalau temannya memaksa, tiada mungkin ia beri penolakan lagi. Maka dari itu akhirnya ia menerima dengan lapang hati. Meski ia sedikit senang bisa memiliki waktu bersama Nusa selain di sekolah.
Keduanya berjalan menuju parkiran tanpa ada suara yang beradu. Hanya riuh angin yang mengantar mereka sampai di parkiran belakang sekolah. Terlihat dari jumlahnya, tersisa sedikit yang bertahan.
Sepanjang perjalanan, Tirta hanya menikmati di boncengan motor yang dikendarai oleh Nusa. Suasana sore seperti ini tak selalu ia temukan dengan damainya. Agaknya jikalau boleh melunjak, sepertinya Tirta boleh meminta kawannya itu untuk selalu mengantarkannya pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
N [Open PO]
Teen Fiction⛔⛔⛔ Peringatan keras bagi para pembaca, mohon diperhatikan dengan sepenuh hati, jiwa, dan pikiran. Bila ditemukan unsur kekerasan ataupun kata-kata kasar, dimohon untuk tidak ditiru! Harap pandai-pandai mengambil nikmat dari bacaan. Oke, readers? [...