N : 7. Gravitasi Kericuhan

153 31 8
                                    

Mentari kembali menyusuri bumi dengan sinarnya. Naik dari ufuk timur tanpa lupa hangatnya mendepak seisi bumantara. Embun mulai berjatuhan dari dedaunan, suasana kian dibuat damai oleh hal demikian.

Seorang pemuda masih bergelut dengan selimut tebalnya di atas kasur. Melewatkan momen terbitnya matahari yang menggugah hati. Bahkan anak itu tak terusik sedikit pun saat celah-celah sinar sang surya berhasil menyusup ke dalam bilik pribadi empu tersebut.

Pria lainnya tengah menggedor keras sekat warna cokelat. Berusaha memadamkan emosi yang meluap kendati hari masih pagi.

"DEK! TANGI!" Teriakan tersebut menggema di seluruh penjuru ruangan. Namun, sosok di dalamnya tak sama sekali berinisiatif untuk memberikannya ruang masuk. Bahkan anak itu juga menyembunyikan kunci cadangan yang menjadi akses satu-satunya menembus sekat pembatas tersebut.

Bukannya terusik, pemuda kecil itu mengeratkan selimut hingga membungkus seluruh tubuh. Mengingat waktu tidurnya yang relatif kurang, akibat tugas matematika dadakan. Selepas Subuh berkumandang dan waktunya melakukan kewajiban sebagai muslim, maka lebih baik ia memilih rutinitas wajibnya ketimbang menuruti kantuk yang mendera.

"Enggak bangun-bangun ini anak. Mas Fai tinggal deh. Ada jam kerja numpuk loh. Siapa suruh begadang, jadi gini, kan?"

Agaknya hati itu melunak. Dengan berat akhirnya pemuda yang tadinya bergulung selimut, menyibak dengan cepat. Mencari sandal rumahnya dan berjalan menuju pintu dengan gontai.

Ditemukannya wajah pria dua puluh delapan tahun, penyandang status kakaknya tengah memasang muka masam sembari berkacak pinggang. Persis seperti Nusa sewaktu ngambek tidak ditemani ke kantin.

"Udah sampai mana mimpinya, Pangeran Air?"

Suara sang kakak menyapu gendang telinga Tirta. Sontak pemuda itu langsung menggeleng ribut. Memasang muka imut seperti pagi-pagi sebelumnya. Lalu mengulurkan tangan kepada kakaknya hendak menciumnya.

"Ngapunten, Ndoro," ucap Tirta polos.

"Udah jam enam kurang lima belas menit juga. Niat sekolah apa enggak?" Fairuz berkacak pinggang di depan pintu tanpa memberi kesempatan sang adik untuk meraih tangannya.

Dengan cepat, Tirta mengangguk mantap. "Iyalah. Mau ngapelin Ansa. Harus semangat."

"Kalau gitu sekarang waktunya apa, hm?"

"Mandi—"

"Mas Fai tungguin di meja makan. Dua puluh menit enggak turun, Mas tinggal," putus Fairuz cepat. Buru-buru menyelesaikan titik masalah yang nantinya tak akan selesai jika tak cepat dilerai.

"Mas Fai ndak asik."

Suara Tirta terbawa angin. Sebab sosok kakaknya sudah lebih dulu pergi dari depan kamarnya. Meninggalkan dirinya seorang diri.

Embusan napas panjang mengawali langkah malas Tirta menuju kamar mandi. Menyiapkan setelan seragam batik biru bermotif kotak-kotak, lantas membawanya menuju kamar mandi. Tak lupa ia tarik handuk yang ditanggalkan dengan hanger di gagang almari.

Mulut Tirta masih komat-kamit menyerapahi sang kakak yang membangunkannya secepat itu. Padahal dirinya sudah memintanya untuk membangunkan tepat di pukul enam. Justru kurang lima belas menit, ia terpaksa bangkit.

Ingin menangis, tetapi malu dengan cicak di dinding yang tengah menyuarakan melodi keras.

"TIRTA KALAU BENERAN LAMA, MAS FAI TINGGAL."

Tuh, kan, ngeselin.

***

Kringgg!

N [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang