Pagi telah tiba. Sinar mentari kembali menyinari setelah malam gulita tanpa penerang. Hujan pun sudah reda sejak sebelum azan Subuh berkumandang. Riuh pasang kaki kembali terdengar di telinga, bersama bising kendaraan yang mulai memenuhi jalan raya.
Mata Tirta menyipit saat berusaha untuk membuka. Kembali ia pejamkan lagi beberapa saat hingga kemudian benar-benar terbuka. Ia menoleh ke arah samping. Menemukan sosok kakaknya masih tertidur di sebelahnya dengan posisi duduk.
Tak tega untuk membangunkan, akhirnya Tirta hanya terdiam sembari menatap langit-langit putih kamar rawatnya. Ia merasa tak berdaya hanya bisa menyusahkan banyak orang. Dulu saat baru lahir saja, ia menyusahkan sang ibu hingga membuatnya terpisah jauh dengan sosok itu. Sangat jauh, sampai ia tiada bisa menggapai tangannya. Bertatap muka saja tak bisa, apalagi memeluknya dengan waktu lama.
Tak lama kemudian, air matanya kembali menetes. Tak sadar ia pun menggerakkan tangannya untuk mengusap sudut matanya yang telah merembes ke mana-mana. Akibat pergerakannya, sang kakak pun terbangun dari tidurnya. Hati Tirta kembali diliputi rasa bersalah.
"Maaf," ucap Tirta lirih.
"Udah pagi, ya?" tanya Fairuz disertai gelengan kecil. Pria itu mengucek matanya dan mendaratkan punggung tangannya di kening sang adik. Bergantian dengan keningnya sendiri. Memastikan bahwa adiknya itu tidak lagi demam seperti tadi malam.
Tak lama, karena Tirta segera menepisnya cepat. "Aku baik," ucap Tirta singkat.
"Jangan dijadiin beban. Semua udah ada jawabannya. Enggak perlu lagi dicari tahu. Allah kasih waktu terbaik, 'kan? Walaupun dengan cara yang enggak bisa kita duga," tutur Fairuz.
Pria dua puluh delapan tahun itu tahu bahwa sang adik benar-benar berada di titik paling rendah. Siapapun akan merasakan sakit teramat dalam saat ia berharap tinggi, tetapi yang didapatinya hanya luka di hati. Fairuz tahu, doa sang adik setiap hari adalah bertemu dengan keluarganya. Fairuz juga tahu, kalau setiap hari yang Tirta jalani hanya sebatas peranan profesional semata. Tidak ada seorang anak yang tidak merindukan keluarganya. Meski di sisi lain, banyak orang berusaha menghibur dan memberi apa yang tak pernah didapatkannya.
Tidak ada suara baik Fairuz maupun Tirta. Sampai kemudian si tertua kembali mengusak rambut yang lebih muda.
"Mukanya kusut amat kayak jemuran. Mau main ke luar? Mumpung masih pagi," ajak Fairuz. Berharap sang adik mau menerima ajakannya dan melupakan sejenak beban yang ada di pundaknya.
"Emang boleh?"
Sungguh, itu adalah kata yang Fairuz tunggu sedari kemarin. Saat binar-binar yang meredup kembali merekahkan sinarnya. Walaupun sangat perlahan. Cukup puas bagi Fairuz saat mendengar bahwa adiknya bertanya demikian. Itu artinya, anak itu sudah mulai jinak.
"Boleh. Kenapa enggak," jawab Fairuz yakin. Ia bangkit menuju almari kecil sebatas perutnya, membuka almari tersebut dan menarik tas yang sudah ia bawa dari rumah. Mengeluarkan jaket untuk Tirta. "Jaketan dulu, bentar!" perintahnya.
Dengan telaten Fairuz menurunkan cairan infus sang adik, sebelum menghentikan laju cairan tersebut. Lantas membantu sang adik untuk memakai jaketnya. Dirasa cukup, Fairuz kembali meletakkan cairan infus pada tiang yang sebelumnya.
"Dilepas, Mas," ucap Tirta menunjuk pada bagian hidungnya.
"Coba lepas. Tunggu lima menit kamu kuat enggak. Kalau enggak, Mas cari tabung yang kecil di ruangan Mas."
"Masa enggak? Mas lupa aku sekuat Ultraman?"
Tawa kecil Fairuz mengudara. Ia kira tadi, Tirta akan menolak ajakannya dan menghabiskan waktunya untuk berdiam diri menghindar dari semua orang yang mendekatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
N [Open PO]
Teen Fiction⛔⛔⛔ Peringatan keras bagi para pembaca, mohon diperhatikan dengan sepenuh hati, jiwa, dan pikiran. Bila ditemukan unsur kekerasan ataupun kata-kata kasar, dimohon untuk tidak ditiru! Harap pandai-pandai mengambil nikmat dari bacaan. Oke, readers? [...