N : 5. Mas Fai

173 40 7
                                    

Barangkali ada yang ingin bersuara ketika malam telah tiba. Saat itu gelap pun mendera tanpa cahaya. Berteriak akankah ada sinar yang dapat membantunya untuk tetap membuka mata. Nyatanya tak semua orang bisa mendapatkan kenikmatan Tuhan satu itu.

Tepat azan Magrib berkumandang, Tirta sampai di pelataran rumahnya. Bersama Nusa tentunya.

"Mampir dulu, Nus," pinta Tirta. Mengungat suara azan masih menggema, turut membuatnya teringat kata-kata ambu yang dulu sering didengarnya.

"Ndak ilok, Ta, kalau ke luar magrib-magrib. Denger azan, mending langsung ambil wudu terus salat," ucap sang ibu asuh tatkala mendapati Tirta yang tengah berjalan pelan menuju warung di depan panti.

Tatapannya terkunci penuh pada Nusa yang masih duduk di atas motor, kini.

"Enggak deh. Keburu malam ntar. Lain kali aja," tolak Nusa lembut. "Salam buat Mas Fai. Bilang maaf, adiknya tak gondol bentar tadi."

Tawa kecil mengudara dari bibir Tirta. Mengantar kepergian temannya untuk berpulang.

"Ati-ati, Nus."

Setelah dirasa punggung sang teman sudah hilang dari pandangan, kaki jenjang Tirta ia bawa menuju rumah. Melihat mobil Fairuz sudah terparkir di garasi, binar di kedua mata Tirta kembali berapi. Melupakan lelah yang sedari tadi membelenggu dalam diri.

Mengambil langkah cepat untuk memasuki rumah, serta bertemu tatap langsung dengan sang kakak yang ia rindukan.

***

Suasana malam memang banyak disukai orang. Ketenangan dan kedamaiannya. Pun tempat untuk melepas penat sesudah beradu penuh dengan dunia di sepanjang pagi sampai sore hari.

"Mas Fai," panggil Tirta.

Mendapati sang kakak tengah duduk di sofa ruang keluarga. Menatap layar monitor yang ada di pangkuan, serta suara televisi yang dibiarkannya untuk mengusir sepi.

"Udah mandi?" tanya Fairuz.

Beberapa menit lalu, adiknya pulang bersama temannya. Pikir Fairuz, Nusa akan singgah sejenak barangkali menumpang untuk melakukan salat Magrib, ternyata salah. Pemuda seusia adiknya itu tetap melanjutkan perjalanan pulangnya tanpa singgah terlebih dahulu.

Anggukan kecil Tirta berikan. Melihat kakaknya kini sudah menutup laptopnya lalu meletakkannya di atas meja.

"Udah kelar, Mas? Kenapa enggak dilanjut dulu kalau masih ada kerjaan," ucap Tirta lebih dulu.

"Udah kok. Cuma bosan-bosan aja. Enggak ada yang penting kok. Tumbenan tadi Nusa ngajak kamu dolan dulu. Enggak aneh-aneh, 'kan?"

Tangan Tirta berhenti mengganti channel televisi yang ada di depannya. Lantas tertawa kecil ketika mendapati pertanyaan lucu dari bibir sang kakak.

"Mboten to, Mas. Masa iya Nusa ngajak aneh-aneh. Ditraktir soto tadi. Enggak tahu juga tiba-tiba diajak pulang bareng," jawab Tirta tak berbohong.

"Alhamdulillah deh. Masih banyak orang yang peduli sama kamu. Itu artinya dia sayang sama kamu, Ta."

"Iyalah, Tirta. Beda kalau Mas Fai. Udah mau tiga puluh tapi belum ketemu sama calon. Jadi enggak ada yang sayang, nggeh apa, Mas?"

Yang Tirta tangkap adalah dengkusan sebal kakaknya. Memang tak sepenuhnya bohong. Namun, bisakah anak enam belas tahun itu berbicara lebih lembut dengan bahasa yang tak menohok kalbu?

N [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang