N : 8. Kulkas Berjalan

130 34 2
                                    

Ketika orang berbuat tanpa berpikir apa konsekuensi yang didapat, saat itu pertanggungjawaban diminta secara paksa.

Seperti sekarang. Keributan yang beberapa waktu lalu tercipta akibat dari Tirta dan Nusa, terus saja mengganggu Ansa hingga timbul perselisihan kecil. Membuat ketiga pemuda hampir sama tingginya itu terpaksa keluar dari kelas. Menjalani hukuman dari guru mata pelajaran Fiqih yang terkenal lemah lembut.

Tak dapat dipungkiri, rasa kesal semakin mencuat di hati Ansa. Terbukti dari jalannya yang tetap berpendirian bahwa ia tidak salah, tetapi tak sama sekali diindahkan oleh wanita berusia sekitar tiga puluh limaan itu. Tetap saja sang guru melanjutkan menulis pokok materi di papan tulis tanpa menghiraukan sanggahannya.

"Bu, mereka yang ngajak ribut kok saya ikut dihukum, sih," tutur Ansa tak terima.

Padahal dua temannya yang tak lain Nusa dan Tirta sudah menuju toilet putra guna menjalani hukuman.

"Kamu juga tadi buat kericuhan to, Le. Enggak ada tapi-tapian. Bersihin kamar mandi apa ngerangkum materi bab 1-5 sekarang?"

Bukan pilihan bagus untuk seorang Ansa yang tak suka berkutat dengan materi-materi hukum Islam. Terlalu rumit di kepalanya. Maka dengan langkah gontai, Ansa pun menyusul duo musuh bebuyutannya.

"Semangat!"

Sempat terdengar teriakan Bu Ani yang tengah menulis di papan. Namun, Ansa hiraukan sebab dirinya sudah terlanjur kesal bukan main.

Bisik-bisik beberapa guru yang tak sengaja berpapasan di koridor membuat langkah Ansa sedikit terusik. Tak hanya guru, pun juga para siswa yang berjalan tanpa ragu bak seorang ratu.

"Si Kulkas lagek sak ulan, tapi wes dadi tawanane Bu Ani. Gak kapok opo pie sih? Seminggu wingi kae bukane bar resik-resik aula? Saiki dibaleni maneh?"

"Emang dasare wong kota. Metu kene yo kesasar adoh."

"Nusa karo Tirta wani-wani njarak arek koyo kui?"

Memang tak dapat Ansa mengerti. Namun, semua ocehan yang menurutnya tak berbobot itu ia anggap angin. Masuk telinga kanan lalu keluar telinga kiri.

Simpelnya, toh mereka memang suka berbicara tanpa melihat kondisi yang sebenarnya bukan?

Padahal jika boleh, Tirta dan Nusa yang seharusnya merasakan itu semua. Bermula juga dari dua orang aneh tersebut yang terus saja mengganggu ketenangan Nuansa.

***

"Ngepel seng bener opo, Sa!"

Tepat sepuluh menit yang lalu, Ansa sampai di kamar mandi putra yang letaknya cukup jauh dari kelas. Helaan napas panjang kembali terurai dari bibirnya. Menatap Nusa sekilas tanpa mengikuti apa yang tadi dikatakan oleh pemuda tersebut.

Sedang Tirta, anak itu duduk di kursi yang tersedia di ujung pintu kamar mandi. Tersedia satu-satunya dan dirinya yang mendapat kesempatan untuk duduk sejenak. Mengepel satu kamar mandi putra cukup menguras tenaga. Kendati tak sempat mengisi perut pada saat istirahat pertama berlangsung.

"ANSA!"

Teriakan Nusa menggema. Menggelegar di indera pendengar mereka. Tak tanggung-tanggung, Tirta hampir saja terjatuh dari posisinya yang bersandar di kursi.

"Kenapa sih teriak-teriak?" tanya Tirta. Ia bangkit dan mendekat ke arah dua temannya. Di tangan mereka masing-masing terdapat alat untuk mengepel lantai.

N [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang