Hari bertambah siang, pengunjung di pekan raya masih banyak yang berlalu lalang. Riuh pejalan kaki yang melewati koridor menggema.
"Nus, lihat Ansa tak?"
Suara Tirta mengalihkan pandangan Nusa dari buku biru yang berada di depannya. Mengernyitkan satu dahinya bermaksud menanyakan ulang pertanyaan.
"Ansa ke mana?" ulang Tirta.
"Tadi ke kantor sekretariat, mau ambil dokumen katanya. Tapi, itu sebelum acara inti. Sekarang enggak tahu. Lagian ada apa sih cari dia," jawab Nusa.
"Dia ketuaku kalau enggak inget."
"Tahu, lah. Dia juga ketuaku lek we pengen eruh," sahut Nusa cepat.
Keduanya tengah berada di ruang OSIS. Nusa yang sedari tadi berada di ruang itu sendiri, memilih mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Sementara Tirta, pemuda itu tengah mencari Ansa yang sedari tadi ia butuhkan. Malah tak dapat ditemukan. Ketika tak dicari saja, Ansa selalu berada di sekitarnya.
Belum sempat akan beranjak dari tempat, pintu ruang OSIS dibuka secara paksa.
"Di luar pada sibuk, lo berdua malah enak-enakan di sini. Jam selesai masih selepas Asar. Balik ke tugas masing-masing!"
Suara berat Ansa membuat keduanya menelan ludah bersamaan. Nusa segera bangkit dari tempat dan berlalu tanpa ingin memberikan balasan pada si empu. Tersisa Tirta yang masih berdiri menatap lekat ke arah Ansa.
"Kuping lo enggak berfungsi?"
Sedetik kemudian, Tirta mengerjapkan mata. Pemuda datar di depannya itu memang punya wibawa di balik sikap ketusnya. Percayalah sebuah ketidakdustaan ini.
"Berfungsi kok. Malahan aku dari tadi muter-muter nyariin kamu mau tanya rekapan hari ini. Enggak ketemu dari tadi, eh, alhamdulilah ketemu di sini." Tirta melangkah, mendekati Ansa yang sedari membuka pintu hanya berdiri di ambang saja. "Mana rekapannya?"
"Di kantor sekretariatan. Map merah," jawab Ansa. Segera menuju tas hitam yang berada di pojok ruang OSIS. Mengambil sebuah memori card yang entah berisi apa, lalu mengantonginya. "Jangan diberantakin semua," lanjutnya lantas melenggang pergi. Meninggalkan Tirta seorang diri bersama angin yang berembus tenang.
"Sama-sama."
***
Azan Asar selesai berkumandang. Tepat setelah pengumuman perwakilan kelas dengan penampilan budaya terbaiknya. Pun semua pengunjung yang membubarkan diri masing-masing setelah berseru memberi kesan pada acara yang berlangsung sehari penuh.
Aula berukuran besar sudah hampir bersih dari manusia. Hanya segelintir panitia yang masih membereskan sisa-sisa perangkat dan atribut selama acara berlangsung. Di ujung panggung, terdapat satu kursi yang masih diduduki oleh pria paruh baya. Mengenakan kacamata tengah menatap ke arah ponselnya lekat. Mulutnya bergumam sangat lirih, tanpa orang bisa mendengarnya.
Tatapan Tirta tertuju penuh pada pria itu. Sembari membawa box berisi beberapa pernak-pernik dekorasi yang digunakan selama acara tadi, ia beranikan diri untuk melangkah mendekat.
"Om," panggil Tirta.
Pria paruh baya itu menoleh. Menurunkan kacamatanya dan tersenyum tipis.
"Tirta, ya?" tanyanya.
"Iya. Masih ingat ternyata. Om kelihatan akrab banget sama Ansa, sama Abah juga. Udah saling kenal?"
KAMU SEDANG MEMBACA
N [Open PO]
Teen Fiction⛔⛔⛔ Peringatan keras bagi para pembaca, mohon diperhatikan dengan sepenuh hati, jiwa, dan pikiran. Bila ditemukan unsur kekerasan ataupun kata-kata kasar, dimohon untuk tidak ditiru! Harap pandai-pandai mengambil nikmat dari bacaan. Oke, readers? [...