N : 18. Lama Hilang, Datang Berkenang

121 29 2
                                    

"Apa kabar, Mas?"

Sebuah pertanyaan kecil keluar dari bibir pria empat puluh tahunan jika dikisar langsung. Tak mengindahkan pandangannya dari keramaian di sudut gedung bercat hijau nan asri.

Tiada balasan yang didengar. Hanya riuh angin di tengah suasana keduanya yang masih sama-sama tak berkutik. Memang sebuah ketidaksengajaan, tetapi rasa tak sengaja itu seperti sebuah skenario yang sudah tersusun rapi. Tanpa celah suatu apa pun.

"Saya dengar, anak Mas yang dulu Mas perjuangkan sudah diadopsi oleh orang lain. Kenapa dulu enggak terima tawaran saya saja supaya anak itu masih ada sama Mas? Bukannya dulu Mas kekeh mempertahankan dia? Apa sekarang Mas sudah lelah mengasuh anak berpenyakitan seperti dia?"

Hari sudah memanas, ditambah lontaran kalimat cukup pedas membuat pria yang lebih tua beberapa tahun tersebut emosi. Namun, hanya tertahan di hati. Ia malah menyunggingkan senyum semringah guna membalas pria lebih muda di sebelahnya.

"Saya senang bertemu dengan anda lagi, Angkara Linggaswara. Sosok ambisius yang pernah saya kenal di hidup saya. Satu yang harus anda ingat, sekalipun anak-anak asuh saya diadopsi oleh orang. Itu sudah rezeki dan kehendak dari Tuhan. Lebih baik perbaiki saja perusahaan anda yang sudah hampir gulung tikar itu, ketimbang anda menyinyir tak jelas seperti manusia haus gosip."

"Dengan senang hati Tuan Muzakki. Saya juga senang bertemu dengan Mas. Saya juga tidak akan bermain buruk lagi seperti dulu. Apa yang saya inginkan tidak pernah gagal terpenuhi, dan saya rasa sebentar lagi yang tertunda akan segera terwujudkan."

Pria bernama Linggaswara itu tersenyum tipis sebelum bangkit dari tempatnya duduk. Mengubah arah dan menatap lekat ke arah Muzakki saksama. Wibawa pria itu masih sama dengan beberapa tahun awal kedatangannya. Masih sama kukuh dan kokoh ketika dia datang, menodongnya dengan permintaan yang bisa dibilang gila oleh banyak orang. Masih sama tenangnya seperti sepuluh tahun yang lalu tanpa berkurang sedikit pun. Mungkin hanya kerut di wajahnya yang sedikit timbul akibat bertambahnya usia. Namun, bagi Lingga sosok itu tak dapat diremehkan begitu saja.

"Terima kasih sambutan luar biasanya. Saya senang ternyata anak saya hebat menyusun rencana untuk memasukkan saya ke sini, dan bertemu dengan anda lagi. Termasuk dengan anak kecil yang sedari dulu menjadi benteng anda. Narrayan Tirta Kaldera, 'kan? Saya tertarik sekali dengan nama itu. Dan, Nuansa telah banyak bercerita tentangnya. Termasuk gagal ginjalnya yang membuatnya sekarat."

"Abah!"

Panggilan dari seseorang membuat pria hampir setengah abad itu menoleh. Menemukan pemuda berbaju cokelat khas setelan sekolah berjalan ke arahnya. Di tangan pemuda itu ada cangkir putih dengan asap yang masih mengepul.

"Abah ngapain di sini sendiri? Aku udah keliling panti enggak tahunya di sini. Abah ada masalah?"

Dibalasnya dengan gelengan kecil dan senyuman tipis. Tangan yang tadi menggantung di udara kini menerima uluran kecil, sama-sama berdiri menatap hamparan hijau yang luas.

"Enggak ada. Abah enggak ada masalah apa-apa. Cuma habis bersih-bersih kantor. Kotor banget, jarang kepakai. Kamu sendiri tumben ke sini? Udah pamit Mas Fai belum?"

"Udah. Mas Fai lagi nemenin seniornya di rumah sakit. Katanya ada operasi, makanya pulang telat. Terus aku ke panti aja deh. Kangen juga," jawab Tirta tanpa mengalihkan pandangannya dari area sawah yang ada di bawah sana.

Kedua lelaki berbeda usia itu tengah berada di lantai dua gedung panti Al-Khoiriyah. Ruangan luas di belakangnya sudah tertutup rapat. Letaknya juga di ujung lantai teratas sehingga sunyi menemani keduanya. Kendati kegiatan sore seperti ini hanya istirahat bagi anak-anak panti yang bersekolah di jenjang menengah pertama dan atas. Sebab mereka pulang selepas Asar dan untuk anak-anak, tengah belajar bersama dengan kakak-kakak yang tak memiliki kegiatan sama sekali.

N [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang