(23)

665 88 14
                                    

Saat turun dari motor Sean, Sky langsung bergegas masuk ke dalam rumah. Mencari sosok Arsen yang katanya tidak mau ke rumah sakit dan berdiam di kamar saja. Kekhawatirannya melanda sedari tadi dan semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Sementara Sean, dia langsung kembali ke kamarnya sambil bernapas lega. Ada senyum tipis di bibirnya yang dia persembahkan pada kamarnya itu dan  perasaan bahagia yang entah datangnya dari mana.

Di sana, Sky mendorong pintu kamar Arsen begitu saja dan membuat yang berada di dalam sana sedikit terkejut. "Pa, Papa sakit? Kenapa enggak ke rumah sakit? Papa sakit apa?" panik Sky dan mengatur napasnya yang sempat tak beraturan.

"Ya ampun, Sky! Bikin kaget aja!" Itu suara Atika yang sedang mengelus dada karena kaget.

"Yang bilang papa sakit siapa? Kamu ini ada-ada saja," sahut Arsen juga.

Sky bengong sesaat dengan kenyataan yang ada. "Eh? Maksudnya apa?" tanya Sky tidak paham dengan situasinya.

Arsen mendekat ke arah Sky dan menyentuh bahunya. "Papa enggak apa-apa! Kamu pulang gara-gara dengar papa sakit? Siapa yang bilang begitu?" selidik Arsen dengan sedikit menahan tawa melihat Sky yang khawatir pada sesuatu yang tidak ada.

"Papa beneran enggak apa-apa? Tapi, Sean bilang Papa sakit dan minta aku pulang!" jawab Sky masih bingung.

"Iya, Papa baik-baik aja, Sky! Emangnya Izani enggak bilang sama kamu, papa kirim pesan sama Izani buat jagain kamu satu minggu ke depan kalau kamu belum mau pulang. Satu minggu libur sekolah kayaknya enggak apa-apa," cengir Arsen dan menggeleng merasa lucu dengan kebohongan yang Sean buat pada Sky.

Di belakang sana Atika juga tertawa kecil melihat Sky masih kebingungan. "Masak masih enggak paham, sih? Sean yang mau kamu pulang! Dia khawatirin kamu dari kemaren-kemaren," terang Atika dengan tawa yang mulai mereda.

Sky mulai paham dengan situasinya, tanpa diminta pun bibirnya melengkung dengan kenyataan yang ada. Tanpa permisi, Sky meninggalkan kamar orang tuanya itu. Masuk tanpa permisi dan sekarang dia juga pergi tanpa permisi. Senyum hangat kedua orang tuanya menjadi pengantar akan perginya Sky dari sana. Mereka berdua merasa sangat senang dengan anak-anaknya yang mulai akur.

Sky bergegas menuju kamar Sean dan masuk juga tanpa permisi, Sky mengerutkan alisnya ketika dia sudah memastikan Sean ada di sana untuk dia marahi. Sean yang menjadi sorotan akan hadirnya Sky dengan kerut samar di wajahnya membuat Sean yakin Sky sakit hati dengan kebohongan yang dia ciptakan hanya sekedar untuk mengajak Sky pulang ke rumah mereka.

"Lo boongin gue? Maksudnya apa? Papa baik-baik aja tuh, lo mau bikin gue jantungan?" teriak Sky. Kini dia yang ingin mempermainkan Sean dan pura-pura tidak tahu dengan alasan Sean membohonginya.

"Sorry, gue enggak tau lagi caranya ngajak lo pulang ke rumah. Makanya gue bohongin lo, kalau lo tadi nurut gue juga enggak bakal bohong!" jawab Sean sedikit ada rasa bersalah dengan Sky yang memarahinya.

"Alasannya apa? Mau bikin gue cemas? Mau bikin gue khawatir kayak orang bodoh?" cecar Sky memainkan peran dramanya dengan baik.

"Enggak ada alasan apa-apa, gue cuma ... ngerasa kurang aja gitu enggak ada lo di rumah. Enggak ada orang yang bisa gue marahin, gue bosan!" jawab Sean tidak mau ngaku kalau dirinya merasa kurang tanpa Sky bukan karena tidak ada orang yang bisa dia marahi, tapi karena memang Sean merindukan saudaranya itu.

"Jawab yang jujur!" tekan Sky dengan suara dingin.

Tidak biasanya dia berkata begitu dan itu sedikit membuat Sean benar-benar merasa bersalah karena sudah membohongi Sky. Sean pikir Sky segitu marahnya karena Sean yang menjadi penghalang temu antara Sky dan Izani adik kandungnya. Untuk itu, Sean diam tidak ingin menjawab apa-apa. Lagi-lagi dia merasa dipersalahkan oleh semua orang. Sean kesal dengan suara dingin Sky yang seakan menudingnya berbuat jahat. Ternyata di rumah tidak ada bedanya dengan di sekolah, semua orang menudingnya sebagai pembawa masalah.

Sea (n) Sky [End✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang