Sebagai murid kelas dua belas sudah dirasakannya seminggu lamanya. Dia adalah Sean Alaster, remaja berkulit kuning langsat dengan tingginya yang mencapai 175 cm. Remaja berusia 18 tahun itu bukanlah remaja berprestasi ataupun idola kaum hawa. Sean memiliki sikap sedikit kurang ajar, tak banyak guru yang mengenalinya karena dia jarang masuk sekolah. Naik kelas pun dia hanya dibantu dengan uang ibunya dan tak jarang pula dia mendapatkan omelan karena perbuatannya.
Sekarang adalah waktu istirahat dan hanya itu satu-satunya harapan yang Sean inginkan saat pergi sekolah. Jangan tanya soal kecerdasaan, pelajaran kemaren sore saja dia tidak akan mengingat apa-apa. Bukan karena dia bodoh, tapi karena memang dia tidak pernah menyimak pelajaran sedikit pun. Sean tercatat sebagai murid nakal, hanya saja merokok dan minuman keras untunglah tak pernah dicobanya. Tidak seperti teman-temannya, yang menghalalkan apa saja untuk mereka nikmati di masa remaja.
Sean dan dua orang teman sekelasnya mulai memasuki kantin dan menatap sekeliling mencari meja kosong. Selalu saja begitu, setiap mereka ke kantin, mejanya selalu penuh. Untuk itu, akan ada penindasan terlebih dahulu agar orang-orang mau berbagi meja dengan mereka, di mana pun yang mereka mau. Sean, Fadil, dan Diki --teman-teman Sean-- memang bukan siswa teladan, namun hampir semua orang mengenalinya. Bukan mengenal mereka sebagai kenalan yang baik, tapi mengenal mereka sebagai pengganggu yang semua orang lihat untuk dibenci. Setiap orang, banyak yang memilih mengalah jika sudah bermasalah dengan mereka. Terutama dengan Sean yang dengan teganya menindas mereka yang lemah.
"An, di sana!" tunjuk Diki ke arah meja yang hanya ditempati seorang saja.
"Anak kelas sepuluh?" tanya Fadil menyelidik. Karena seragam yang dikenakan orang itu terlihat masih baru.
"Ayo!" ajak Sean langsung setuju dan menuju segera ke arah telunjuk Diki.
Berbeda dari harapannya, remaja dari kelas sepuluh yang memakai kacamata hitam itu tidak pergi dari posisinya dan malah terus melanjutkan makannya. Orang yang berjenis kelamin laki-laki itu merabah mejanya saat mendengar langkah orang-orang yang mendekatinya. Dia tersenyum ke sembarang arah dan membungkuk sebagai salam sapa. Ada yang salah dengannya, sepertinya dia pura-pura tidak takut dengan tiga orang dihadapannya.
"Minggir, mingggir! Kita mau makan di sini!" usir Diki padanya dengan kasar.
Pemuda itu terdiam yang membuat Sean menatapnya berkerut. "Lo buta?" tanya Sean dengan melambai di depan wajah anak kelas sepuluh itu. Karena tatapannya sedari tadi terlihat tak terarah.
"Iya!" jawabnya dengan menunjukkan white cane-nya kepada Sean yang terlipat di atas meja.
Sean, Diki, dan Fadil sama-sama terkejutnya, terbukti dengan mata mereka yang saling bertemu. Sepertinya mereka bingung dengan adanya anak itu di sini. Karena mereka bersekolah bukan di Sekolah Luar Biasa, yang mengharuskan mereka bertemu dengan orang tunanetra.
"Woi, kenapa ada orang buta di sekolah kita?" tanya Fadil kepada siapa saja yang bisa mendengar suaranya.
"Makanya ke sekolah tuh, jangan nyari makan aja. Jelas-jelas sekolah kita udah buka kelas buat orang yang tunanetra," sahut salah satu di antara banyaknya murid di kantin sana.
"Eh, Buta. Beneran ada kelas buat orang buta kayak lo?" tanya Diki kepada anak kelas sepuluh itu karena hanya dia seorang yang terlihat berbeda di kantin ini dan selebihnya normal-normal saja.
Tanpa Diki sadari, pertanyaannya itu terdengar kasar dan mengejek oleh anak kelas sepuluh tersebut. Diki dengan mudahnya menanyai keterbatasan yang dia miliki tanpa mengharginya. Pertanyaanya memang tak salah, tapi seharusnya mereka lebih menghargai dengan cara menghaluskan pertanyaannya itu. Tanpa harus merendahkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sea (n) Sky [End✅]
Ficção AdolescenteGenre : Brothership Follow sebelum baca! Ini adalah kisah dua orang berbeda antara Sean dan Sky. Mereka adalah permisalan laut yang tak bisa bertemu langit. Mereka sama-sama biru, namun tak bisa saling menyatu. Mereka sama-sama nyata, namun tak bisa...