(27)

610 81 13
                                    

Dengan kekuatan yang dia punya, akhirnya Sean bisa sampai ke rumah hanya dengan berlari saja. Menuju kamarnya langsung dan menidurkan Sky di sana agar bisa segera dia obati. Iya, Sean tahu akan lebih efektif jika dibawa ke rumah sakit, tapi Sean sedari tadi hanya memikirkan tempat terdekat yang bisa dia tuju.

"Ida! Ida! Bawa kotak obat ke sini ... dan hubungin mama sama papa, cepat ...!" teriak Sean yang tidak tahu di mana posisi orang yang dia teriaki.

"I--iya!" sahut pembantu rumah tangganya dari luar sana yang terkejut dengan teriakan Sean.

Yang bisa Sean lakukan selagi menunggu Ida membawakan obat adalah mengelap semua darah yang sudah mengering di wajah Sky. Sean bergegas memasuki kamar mandinya dan membasahkan handuk di dalam sana untuk dia jadikan sebagai pengelap luka Sky. Bergegas pula Sean kembali ke posisinya dan dia benar-benar lupa akan lukanya. Sean berjongkok di sisi Sky dan mulai mengelap darahnya dengan hati-hati agar lukanya tidak semakin memburuk.

Tangannya sampai bergetar membayangkan bagaimana tadinya darah kering itu mengucur dari dahi Sky dan kembali ditendang sampai darahnya mengucur lebih banyak lagi. Tentu saja dia tidak akan bisa menahan sakitnya sampai-sampai dia hilang kesadaran sampai sekarang ini. Cucuran air mata beserta keringat Sky tadi juga menjadi pemicu akan tangan Sean bergetar cukup hebat. Sampai-sampai Sean harus menggunakan tangan satunya lagi untuk menghentikan getaran tangannya itu.

"W--woi ... Sky, bangun!" ujar Sean pelan. Tidak hanya tangannya saja yang bergetar, tapi juga suaranya yang hampir tidak keluar saat dia bersuara.

"Ya, Allah. Ini ada apa, Den?" panik Ida yang membawakan kotak obat dari lantai bawah.

"Cepat obatin Sky! Tolong!" lirih Sean dengan suaranya yang masih bergetar.

Pembantu itu langsung patuh dan mengambil alih tugas Sean membersihkan luka Sky. Dia mengambil handuk di tangan Sean yang sedari tadi bergetar itu dan melanjutkan pembersihannya. Tentu dia panik, tapi sekarang ini dia tidak berada di waktu yang tepat untuk bertanya.

Sean kemudian meluruhkan tubuhnya dengan bersandar pada meja nakas samping ranjangnya itu. Baru Sean sadari sekarang kalau seluruh tubuhnya benar-benar terasa sakit. Sendi-sendinya tiba-tiba melemas dan sulit untuk digerakkan. Untuk menekuk lututnya saja Sean rasanya tidak sanggup karena terlalu lemah yang dia rasakan. Untuk kali keduanya, Sean kembali menangis dengan hanya sendi-sendi pada jemari dan lehernya saja yang bisa dia gerakkan. Sean menghantuk-hantukkan kepalanya ke meja belakang untuk merutuki kegagalannya dalam menjaga Sky. Kalau saja Sean lebih kuat dari itu, pasti luka Sky tidak akan separah ini.

"Ida, udah hubungin papa, mama?" tanya Sean di sela tangisnya.

"Ah, saya lupa, Den!" jawab Ida dan merasa sedikit bersalah. Karena bergegas ke sini, dia sampai lupa menghubungi majikannya yang Sean perintahkan juga.

Sean menggigit bibir bawahnya dan menggerakkan tangan sebisanya untuk mengambil ponsel di dalam sakunya. Dia berhasil mengambilnya, tapi sayangnya ponsel itu tidak lagi berfungsi dan rusak parah pada bagian layarnya. Mungkin saja itu karena tendangan dari mereka tadi dan juga benturan pahanya pada jalanan. Dengan itu, Sean meremas ponselnya kuat-kuat dan melemparkannya dengan kekuatan yang masih ada. Di saat seperti ini, masih ada saja penghalang untuk segera meminta orang tuanya pulang.

"Ida, abis ngobatin Sky. Hubungi papa sama mama segera!" perintah Sean berusaha menelengkan kepalanya menatap ke arah Sky yang masih setia dengan pejamnya.

Air mata tanpa isakan itu kembali luruh dari kelopak matanya melihat kondisi Sky yang menyedihkan. Sean pun berusaha menggerakkan tubuhnya menghadap ke arah Sky dan menidurkan kepalanya di tepi ranjang itu. Pembantu rumah tangganya semakin panik saja melihat memar-memar di wajah Sean yang terlihat lebih parah jika dilihat dari dekat. Entah apa yang telah diperbuat dua bersaudara itu hingga menciptakan banyak luka memar di wajah mereka.

Tidak lama setelahnya, saat pembantu rumah tangga itu merasa cukup dengan mengobati luka Sky. Dia menoleh kembali kepada Sean yang masih menidurkan kepalanya di tepi ranjang. "Den Sean, sini saya obatin juga!" ujarnya.

"Enggak usah. Cepat hubungin papa sama mama, suruh mereka pulang dan jangan bilang kondisi Sky parah. Jangan sampai mereka cemas karena itu bisa buat mereka kecelakaan!" tolak Sean dan kembali memerintah.

Jawabannya adalah. "Baik, Den!" Karena memaksanya untuk tetap diobatin juga tidak terlalu membantu, justru perintah Sean mungkin akan lebih membantu untuk dilakukan.

Pembantu itu pun pergi ke lantai bawah karena ponselnya dia tinggal di sana. Telepon rumah juga tidak ada di dalam kamar ini mengingat kamarnya ini yang dulunya kosong. Ida tampak bergegas ke lantai bawah agar tuan rumahnya segera pulang ke rumah dan membawa Sky ke rumah sakit.

Sean terdengar menghela napas beratnya dan menggerakkan tangannya yang tiba-tiba terasa kaku. "Bangun, Sky! Gue butuh teman, gue butuh teman buat ngehibur gue." isak Sean lagi-lagi menangis.

Seolah permintaannya itu didengar oleh Sky, Sean mendengar Sky meringis kecil. Sean mengangkat kepalanya yang terasa berat itu dan menatap Sky yang perlahan menggerakkan kelopak matanya. Mulutnya juga tampak terbuka seolah dia ingin berbicara, tapi tertahan oleh rasa sakitnya.

"Sky, lo udah bangun?" lirih Sean menunggu gerakan lain yang mungkin Sky perlihatkan sebagai jawaban kalau dia benar-benar sudah sadar, "Syukurlah! Syukurlah! Syukurlah!" isak Sean tidak henti-hentinya mengucapkan kata syukur.

"Sean, lo di ... mana?" lirih Sky yang belum sepenuhnya bisa menfokuskan pendengarannya untuk mengetahui posisi Sean sekarang ini.

Sean tidak menjawab karena dia masih saja terisak dan kalau dia bersuara lagi, isakannya pasti akan menjadi. Karena itu, Sean memilih cara lain untuk menunjukkan posisinya pada Sky dengan menyentuh hasta Sky menggunakan telapak tangannya. Kepalanya kembali dia tidurkan pada tepi ranjang karena merasa berat untuk ditegakkan. Sakitnya pasti bukan apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang Sky derita.

"Maaf! Karena gue ... lo dapat masalah, maaf juga karena gue lemah, lo harus menanggung ... bebannya," tutur Sky memaksakan suaranya yang tertahan-tahan.

"Enggak ... justru karena lo kuat kita bisa selamat. Karena lo nyemangatin gue buat terus berjuang supaya kita bisa selamat." jawab Sean yang juga memaksakan suaranya agar isakannya tak semakin parah.

"Luka lo gimana? Udah ... diobatin?" tanya Sky masih ingin bertanya meski tubuhnya mengharapkan diam saja dan beristirahat.

"Udah!" jawab Sean berbohong agar Sky tidak mengkhawatirkan hal lain selain dirinya sendiri.

"Bener? Apa itu sakit?" tanya Sky lagi.

Sean menggeleng sebagai jawaban meski dia tahu Sky tidak akan mengetahui itu. "Tunggu aja, bakal gue balas mereka! Bakal gue bikin lebih parah dari apa yang mereka lakuik ke elo! Bakal gue bikin mereka nyesal karena bikin lo kayak gini," ujar Sean menyimpang dari pertanyaan yang Sky ajukan. Jawaban itu tidak tersenggal sedikit pun seolah Sean baru saja mendapat kekuatan untuk mengutarakan niatnya.

"Jangan! Target mereka adalah gue dan lo jangan terlibat lagi ... gue enggak mau orang lain terluka gara-gara gue! Diamin aja ... nanti juga mereka bakal nyerah!" larang Sky agar Sean tidak terlibat jauh ke dalam masalahnya yang sejujurnya Sky sendiri belum tahu di mana mulanya dia menjadi target mereka-mereka.

"Diamlah! Gue sendiri yang mutusin apa yang harus gue lakuin. Terserah lo mau larang gue atau enggak, kalaupun gue bergerak, lo enggak bakal bisa apa-apa selain menyetujuinya."

Ungkapan Sean sedikit menenangkan Sky karena masih ada orang yang akan menjadi pelindung nantinya kalau masalah datang tiba-tiba. Sky pun hanya bisa terdiam dan menyerahkan semuanya pada Sean nantinya. Bukannya Sky ingin membebankan semua masalahnya kepada Sean, tapi karena memang dia tidak akan bisa berbuat apa-apa. Sky sadar kalau itu hanya akan membebani Sean yang selama ini sudah terbebani oleh cacian di sekolah, tapi Sky juga ingin aman dan Sean tempat yang tepat untuknya berlindung.

Mungkin Tuhan memang mempertemukan mereka untuk saling ada satu sama lainnya. Sean yang ada untuk Sky berlindung dari masalahnya yang belum jelas itu atas alasan apa. Juga Sky yang selalu ada untuk Sean yang membutuhkan seorang teman yang bisa diajaknya bercerita, bukan seperti mereka yang selalu memandangnya rendah. Takdir mempertemukan mereka pastinya bukan untuk saling menyakiti, tapi untuk saling melengkapi atas kekurangan keduanya. Suatu saat mereka akan menjadi dua warna yang sama yang menjadi objek senyuman bahagia dari orang-orang yang melihatnya.

Bersambung...

Sea (n) Sky [End✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang