Saat itu Winter baru saja mencabut selang infus dari pergelangan tangannya dan terdiam memandangi Maria. Ia tidak berharap wanita itu mendengarkan omongannya dengan Polo— tidak sekarang mengingat Maria masih emosi dan bisa menghajar siapapun jika tau bahwa Winter adalah klien tersebut. Winter diam-diam melayangkan tatapan penuh ancaman pada Polo hingga membuat pria itu berdeham halus sambil berdiri dari duduknya.
"Kau sudah kembali?" Tanya Polo basa basi.
"Pertanyaan bodoh."
"Kau mungkin mendengarkan sesuatu dan marah padaku tapi aku bisa jelaskan—"
"Tinggalkan aku dan Maria, Polo." Ujar Winter cepat.
"Tapi bagaimanapun kau tetap harus memberitahunya."
"Memberitahu apa?" Maria bertanya.
"Jadi kau tidak mendengarkan omongan kami?"
"Apa? Apa yang kalian bicarakan?"
"Bahwa—"
"Bahwa kita pernah bertemu dulu." Potong Winter dengan tatapan mata yang seolah ingin mencabik-cabik Polo.
Maria menatap dua pria yang mencurigakan itu saling memandangi satu sama lain.
"Benarkah?" Tanya Maria sembari duduk di sebelah Winter untuk memandangi suaminya lebih dekat. Mangkuk berisi bubur udang masih berada di tangannya."Kapan kita pernah bertemu?"
Sebenarnya Winter tidak suka mengoceh soal masa lalu tersebut. Biarlah ia yang tau tentang itu. Jadi pria itu memilih diam saja. Polo masih berdiri di ambang pintu. Keparat memang pria itu.
"Kau harus segera memberitahunya."
Polo pun keluar dari ruangan hingga kini hanya ada Winter dan Maria. Entah kenapa Maria merasakan perasaan lain. Dia dulu sangat berharap melihat Winter tertidur dalam peti mati tapi sekarang kenapa melihat pria itu terbaring di ranjang pesakitan saja dia tak terima?
Perut kotak-kotak kecintaannya kini memiliki perban sebagai aksesoris. Kulit perunggu yang mengkilap dan menggiurkan itu seolah memanggil tangan Maria untuk menyentuhnya— oh bahkan ia sudah melakukannya— membelai halus.
"Aku harus beristirahat." Kata Winter dengan nada dan tatapan dinginnya yang khas.
Mata Maria menyatu di dalam bola mata Winter saat ia bertanya,"Apakah itu sakit?"
"Kau sudah pernah merasakannya."
"Papa bilang ada tulang panggulmu yang retak."
"Hanya retak sedikit."
"Jadi itu tidak apa-apa?"
"Hm."
"Kau yakin?"
"Hm."
"Bagus kalau begitu," Maria mendekatkan wajah sambil menggigit bibir bawahnya dengan ekspresi nakal."Kalau tidak kau dan aku pasti bisa gila karena tidak bisa bergerak dengan liar. Tapi jangan khawatir jika soal itu aku bisa berada di atasmu."
Wajah Maria begitu dekat dengan wajah Winter hingga pria itu dapat merasakan deru napas halus nan menggoda milik sang istri. Winter menyusupkan jemarinya ke dalam sela-sela rambut Maria lalu meremasnya untuk meredam gairah serta amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
INTOXICATE DESIRE
RomanceThe Patlers #4 ( Winter & Maria ) Winter L. Patlers adalah putra kedua dari Maxime Federico Patlers-pemilik dua perusahaan besar, Patlers Group dan Air Italy. Perawakannya yang dingin, tatapannya yang tajam, rahangnya yang tegas serta tubuhnya yang...