Mendengus pelan, Maria pun masuk kembali ke dalam rumah lalu menutup pintu. Di luar benar-benar seperti penjara. Banyak sekali pengawal berbaju hitam yang berjaga— sungguh berlebihan, batinnya.
Maria berdiri di tengah-tengah rumah kosong yang sudah sangat bersih akibat ulahnya. Ia sendirian dan entah kenapa terasa sangat kosong rasanya. Perasaannya bercampur aduk ; bosan, marah, kesal dan segalanya. Wanita itu pun memutuskan untuk memasak cumi-cumi sebelum benar-benar busuk seperti yang dia katakan pada Winter. Memakai apron, ia sempat bingung harus dibuat apa cumi-cumi segar tersebut. Yang makan juga hanya dirinya seorang. Maria memasukkan bahan makanan lain ke dalam kulkas lalu mulai mencincang bawang.
Lagi-lagi pikirannya melalang buana. Tanpa Winter, rumah ini terasa sepi. Belum sampai satu jam suaminya pergi, Maria sudah rindu saja. Pria itu katanya akan ke Madrid— Maria baru sadar dirinya tidak bertanya tentang tujuan Winter ke Madrid. Ia berusaha untuk tidak peduli dan berencana menyerahkan persoalan Ramires Fair pada suaminya saja. Kepalanya bisa pecah jika Ramires pun ikut-ikut harus diurusi. Bahkan seperti yang sudah pernah ia katakan sebelumnya— dia sudah hilang mood mengejar klien.
Persetan. Mendadak ia merasa percaya untuk berlindung di belakang tubuh suaminya.
Perasaan "ketergantungan" itu datang begitu saja namun malah membuat dirinya gelisah. Maria meletakkan pisau lalu menghela napasnya kasar. Semuanya masih abu-abu— ia hanya berusaha untuk tidak mau menaruh harapan apapun walau harapan terkadang datang tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Hidup ini miliknya dan dia yang berhak memutuskan akan seperti apa ke depannya. Dia tidak boleh bergantung pada siapapun.
Entahlah.
Mungkin terbiasa melakukan hal-hal gila membuat Maria lelah dan jenuh— jadi saat menemukan kegiatan menyenangkan seperti menggoda Winter, membuatnya cemburu dan bercinta— semuanya teralihkan.
Suara bel berbunyi, lalu pintu depan pun terbuka. Maria hampir lupa si menyebalkan Fleur akan datang. Dan sialnya, dia benar-benar datang. Wanita itu masuk dengan langkah gontai ke dalam rumah. Gaun biru tua di bawah lutut dan sepatu ankle boots terlihat cocok dengannya.
"Hei bitch." Sapanya.
"Hei whore."
Fleur malah tertawa."Kau masak? Sialan, aku tidak percaya yang kulihat sekarang adalah wanita gila yang gemar buat ulah."
"Kau bawa apa di tanganmu?"
Fleur menenteng paperbag putih."Makanan. Sebab aku tidak punya niat makan masakanmu karena bisa saja kau sudah membubuhi racun mengingat kau membenciku."
"Baguslah jika kau sadar."
"Aku tidak bodoh sepertimu yang tidak sadar-sadar." Maria merasa ada maksud tersirat dari kalimat yang keluar dari mulut Fleur."Kemarilah dan habiskan makanan ini. Jangan buat aku rugi membelinya untukmu."
"Aku pun tidak akan makan makananmu." Balas Maria."Dan oh, aku juga tidak pernah berniat menawarkanmu makan masakanku."
Fleur mengabaikan, ia melenggang duduk di kursi sambil membuka makanannya."Aku lapar sekali, belum makan dari tadi. Rumah itu seperti rumah hantu. Pelayan bergentayangan tapi tidak ada yang mau memasak apapun."
Dia sedang membicarakan rumah tempat dia tinggal selama di New York— rumah keluarga besar suaminya.
"Aku tidak sabar kembali ke Italia." Dia mengoceh lagi."Kuharap urusan sialan ini bisa segera selesai."
KAMU SEDANG MEMBACA
INTOXICATE DESIRE
Roman d'amourThe Patlers #4 ( Winter & Maria ) Winter L. Patlers adalah putra kedua dari Maxime Federico Patlers-pemilik dua perusahaan besar, Patlers Group dan Air Italy. Perawakannya yang dingin, tatapannya yang tajam, rahangnya yang tegas serta tubuhnya yang...