Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kia! Minta air, Ki!" seru Rio sambil duduk di sampingku.
Sedang haus-hausnya, belum juga moncong botol minumku menempel ke bibirku, sudah ada yang teriak-teriak minta air.
"Iya! Tunggu dulu sebentar! Sabar!" hardikku dengan judes.
"Buset, santai dong!"
"Kiara kalau sedang haus atau lapar, galaknya seperti beruang," sahut Erina yang berdiri di depanku dan Rio, sambil tertawa keras seraya mengeluarkan botol minumannya sendiri dari dalam tasnya. Sementara itu, aku mengangkat botol minumku tinggi-tinggi diatas wajahku, sehingga air di dalamnya mengalir dengan deras ke dalam tenggorokanku.
"Nih!" kataku, masih dengan judes, sambil menyodorkan botol minumku kepada Rio.
"Asyik! Terimakasih, Kia," jawab Rio sambil cengar-cengir.
"Nggak usah sok imut! Cepat minum sana!" seruku lagi, yang disambut tawa Erina terbahak-bahak sampai air minumnya menyembur dari mulutnya. Sambil menyeka sebagian air minum yang tersisa di bibirku, kupandangi sekelilingku. Aku dan teman-temanku tengah duduk di sebuah pos jaga di sebuah lokasi pendakian. Pohon-pohon yang tinggi dengan daun-daun yang lebat, tertiup angin yang cukup kencang. Segar sekali rasanya hembusan angin itu menerpa wajahku.
Jam tanganku menunjukkan pukul setengah tiga sore. Kami dalam perjalanan kembali dari pendakian. Kami berenam memang tidak berencana sama sekali untuk berkemah, hanya naik ke puncak saja, menikmati pemandangan dari atas sana sambil makan siang dan bercengkrama.
Dalam perjalanan menuruni jalur pendakian, salah satu temanku, Erfan dan pacarnya, Ayu, berkata bahwa mereka ingin mampir untuk melihat lagi air terjun yang sempat kami lewati ketika berangkat. Karenanya, aku, Rio, Erina, dan Yoga berjalan lebih dahulu menuju ke pos jaga dan berencana menunggu mereka berdua disana. Kami memang berkata pada mereka untuk tidak berlama-lama. Setengah jam lah, paling lama, kami meminta mereka sudah menyusul kami ke pos jaga.
Saat itu sudah lewat empat puluh lima menit semenjak kami berempat tiba di pos jaga, dan sepasang kekasih itu masih saja belum nampak. Jalur pendakian itu masih tidak terlalu jauh dari area pemukiman, dan berjarak dua atau tiga kiloan dari sana banyak sekali lokasi wisata yang lain. Karenanya, jaringan telepon dan koneksi internet masih baik-baik saja disana. Di beberapa titik, memang kadang sinyalnya timbul dan tenggelam, tapi secara keseluruhan terhitung aman-aman saja.
Baru saja Yoga hendak menelepon mereka, tiba-tiba ponsel Erina berdering.
"Hei. Ayu sudah dimana? Kami sudah menunggu empat puluh lima menit di pos jaga nih," kata Erina dengan lembut seraya menempelkan ponselnya ke telinganya. Temanku yang satu itu memang yang paling anggun dan sabar. Meskipun Erfan dan Ayu sudah terlambat, ia masih merespon telepon itu dengan sabar dan perlahan. Untung saja dia tidak meneleponku, kalau tidak, sudah kusemprot gadis tengil itu seperti yang kulakukan pada Rio.