BAB 17

2.1K 99 37
                                    

Perempuan itu duduk di depan meja riasnya. Mematut wajah perempuan yang berada di pantulan cermin. Ia melihat sosok wanita cantik disana. Mana mungkin ia diselingkuhi oleh suaminya. Wajahnya hampir sempurna dengan alis yang melengkung bak bulan separuh, bulu mata yang lentik, hidung mancung dan kulit seputih kapas. Ia menjepit poninya ke belakang rambut. Lalu mulai mengoleskan beberapa krim ke wajahnya. Matanya sesekali memandang ke arah jendela dan memasang telinganya dengan awas. Ia sedang menunggu suaminya pulang. Sudah larut malam tetapi, Azka belum juga pulang. Banyak yang ingin ia tanyakan pada Azka mengenai foto yang dikirimkan temannya tadi.

Bianca mendengar suara mobil masuk ke pekarangan rumah mereka. Ia yakin bahwa itu adalah Azka. Azka membuka pintu kamar dan mulai melepaskan bajunya dan menggantinya dengan baju tidur.

"Bi, aku beli bakso. Mau nemenin aku makan bakso?" tanya Azka pada Bianca.

Bianca mengangguk patuh. Matanya berkaca-kaca. Mana mungkin suaminya ini selingkuh pikirnya dalam hati. Azka begitu perhatian padanya. Walaupun pulang larut malam, ia masih sempat membelikan Bianca makanan. Azka sangat suka makanan di pinggir jalan. Kadang ketika pulang ia membawa nasi goreng, sate, dan bakso seperti saat ini. Ia merutuki dirinya yang sempat berpikiran buruk pada Azka. Mungkin saja itu sahabat Azka atau saudara sepupu Azka. Lagian itu hanya sebuah pelukan. Bianca membuang pikiran buruknya tentang Azka dan mengikuti Azka ke meja makan untuk makan bersama.

"Aku sayang kamu," kata Bianca tiba-tiba. Azka sedikit tertegun mendengar ungkapan perasaan Bianca. Ia bahkan tidak membalas. Hanya tersenyum memamerkan lesung pipinya. Ia sudah tidak bisa lagi membohongi perasaannya.

"Aku cinta kamu ka," kata Bianca lagi. Azka masih bergeming. Ia kembali tersenyum kepada Bianca lalu kembali menunduk melahap bakso yang ada di hadapannya. Ia mungkin menyayangi Bianca tetapi, ia sama sekali tidak mencintai Bianca. Walaupun di setiap pidatonya ia selalu mengaku bahwa ia sangat mencintai istrinya.

Azka dengan segala kepura-puraannya. Ia bangsat yang berkedok malaikat. Dengan wajahnya yang menawan. Suaranya yang menenangkan hati serta bentuk perhatiannya. Bagaimana mungkin Bianca tidak jatuh cinta pada sosok Azka. Dia suami yang sempurna di mata Bianca.

Bianca berencana untuk menemui teman-temannya untuk meluruskan masalah ini. Ia tidak mau teman-temannya berpikiran buruk tentang Azka. Selalu saja ada celah untuk menjatuhkan nama baik suaminya. Ia tidak terima suaminya dituduh selingkuh oleh teman-temannya.

"Bi, aku harus keluar kota besok. Nggak apa-apa kan kalau harus tidur sendirian besok malam?" tanya Azka lembut. Bianca mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. Ia tidak suka jika harus ditinggal Azka.

Azka mengusap pelan rambut Bianca. "Sebentar aja, Bi. Cuma tiga hari kok. Nanti aku belikan oleh-oleh dan ini kamu bisa pakai sepuasnya buat traktir teman-teman biar nggak kesepian," kata Azka sambil menyodorkan kartu kredit tak terbatas miliknya. Bianca yang tadinya murung kembali tersenyum.

****

Shanin POV

Bisakah aku menjadi satu-satunya di hatinya. Aku mencintai pria yang sudah beristri. Istrinya ternyata sahabatku. Aku sadar akan hal itu. Pria yang sedang tertidur di pelukanku. Aku tidak bisa menolak pesonanya. Egois kah aku jika sekali saja aku ingin hubungan ini berhasil. Aku tidak ingin gagal lagi. Tetapi, bila akhirnya aku harus gagal lagi bagaimana aku bisa bertahan dengan hati hancur yang mulai pulih ini tetapi, harus kembali hancur.

Aku mungkin butuh waktu lama untuk menyusunnya kembali. Walaupun aku sudah bersiap-siap untuk rasa sakitnya. Aku sudah bisa membayangkan ujung kisah cinta ini. Bukan happy ending yang pastinya.

Aku memandangi wajahnya sekali lagi. Tanpa sadar air mataku menetes. Dosa apa yang aku lakukan hingga jatuh cinta pada lelaki ini. Rasanya ia membuat aku hidup kembali. Membuka hati yang sudah lama terkunci. Aku telah jatuh sedalam dalamnya pada pesonanya.

Aku hampir gila setiap memikirkan kenyataan yang sebenarnya. Aku hanya menghitung hari untuk berpisah. Waktuku mungkin sebentar lagi. Tidak ada yang bertahan lama dari seseorang yang sedang memainkan dua hati.

Aku melihat handphonenya berdering. Ada nama istrinya disana. Ia perlahan membuka matanya. Mengeryitkan dahi saat melihat ponselnya. Meskipun ia tidak mencintai istrinya tetapi, aku yakin dia pasti menyayangi istrinya.

"Kita pulang nanti malam ya? Bianca tiba-tiba sakit," katanya sambil mengusap kepalaku.

Aku tetap menampilkan senyuman terbaikku. Agar ia tidak berpikiran aku sedih atau kecewa. "Ya, nggak apa-apa."

Dia mencium puncak kepalaku. Lalu memelukku erat. Aku sekuat tenaga menahan tangisku. Aku tidak ingin air mata ini jatuh. Baru sebentar bertemu aku sudah harus berpisah dengannya. Aku tidak bisa menggandeng tangannya di depan umum. Bahkan aku tidak bisa mengatakan pada siapa pun bahwa dia adalah kekasihku.

Aku membuka tasku pelan lalu mengeluarkan sebotol pil tidur. Belakangan ini aku kesulitan untuk tidur. Aku menenggak 3 pil tersebut. Hitungan menit obatnya mulai bekerja. Aku mulai mengantuk dan membaringkan badanku di sebelah Azka.

****

Aku terbangun dari tidurku. Melihat seisi ruangan yang berwarna putih. Andrea sedang duduk di sofa tepat di seberang ranjangnya. Matanya fokus menatap tablet yang sedang ada di genggamannya. Aku berdehem kecil. Memberitahu bahwa aku sudah terbangun.

Matanya langsung menatapku. Ekspersinya berubah marah. "Dua kali masuk rumah sakit dalam setahun ini. Kupikir kamu sudah bosan hidup, Sha." Andrea berkata ketus padaku.

"72 jam tidak sadarkan diri. Azka menelfonku karena dia tidak bisa menungguimu di rumah sakit. Dia harus pulang pada istrinya yang juga sedang sakit. Kamu tahu dimana posisimu sekarang kan?" tanya Andrea menusuk.

Aku hanya tersenyum miring. Hatiku terasa sakit sekali. Rasanya ingin menyerah pada hubungan ini. Aku tidak ingin melanjutkan hubungan yang mustahil ini. Rasanya aku ingin menyerah pada hidupku. Aku tidak pernah seputus asa ini.

Bahkan Azka tidak bisa menemaniku sekarang. Di saat aku sakit Azka tidak pernah ada di sampingku. Aku selalu menjadi nomor dua. Aku tidak akan pernah menang melawan Bianca.

Andrea memberikan telfonnya kepadaku, terdengar suara Gian dari ujung telepon. "Aku pikir kamu sudah cukup bermain-main, Sha. Pergilah ke London. Lanjutkan studi mastermu dan tinggal lah disana. Aku tidak bisa membiarkanmu menghancurkan masa depanmu disini. Kamu tahu aku menyayangimu kan?" ujar Gian dari ujung telepon. Aku hanya bisa menangis. Aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi. Mungkin Gian benar. Aku harus meninggalkan semuanya disini. Sebelum aku terlalu hancur.

An AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang