Bab 14

2.3K 68 0
                                    

Azka POV

Matahari bersinar cukup terik hari ini. Membuatku tidak berselera makan. Aku masih harus pergi meresmikan salah satu cabang baru pusat perbelanjaan kami. Aku sedang berada di luar kota. Jauh dari Shanin. Aku merindukannya. Tiba - tiba ponselku berdering. Bukan nama Shanin yang tertera di layar, tetapi Bianca. Aku mengangkat telepon dan langsung mendengar suaranya dari ujung telepon.

"Aku mau ke Paris sama teman - temanku besok."

"Apa kamu lupa? Lusa kamu harus menghadiri acara amal yang diadakan mami di yayasannya," kataku mencoba mengingatkannya.

"Aku malas ikut."

Kalimat penolakan yang singkat, tetapi berhasil membuat emosiku mendidih. Bulan lalu ia juga tidak hadir dengan alasan yang sama. Mami telah salah memilih seorang menantu. Ia sama sekali tidak berguna. Dengan kesal aku menutup telepon darinya dan membanting ponselku ke atas meja kerjaku. 

Seseorang mengetuk pintu dan aku membukakan pintu dan mempersilahkan masuk. Seorang pria tinggi berambut keriting masuk ke ruanganku. Marchel, dengan senyum lembutnya menyapaku. Senyumnya perlahan pudar ketika sadar pada raut wajahku yang tidak bersahabat. 

"Berantem sama Shanin?" ia mencoba menebak.

"Nope."

"Bianca?" tanya dia lagi.

Aku diam tidak menjawab. Ia mengangguk seolah paham siapa penyebab kesalnya hatiku. Marchel mengambil minuman dingin dari dalam kulkas dan menempelkan kaleng minuman dingin tersebut ke dahiku. Seolah hal ini bisa meredakan panas di dadaku.

"Kami bahkan sudah membuat taruhan tentang berapa lama lagi lu akan menceraikan Bianca. Gue bertaruh setahun lagi dan sepertinya gue bakal kalah sama Farel yang bertaruh 6 bulan lagi," kata Marchel sambil tertawa.

Aku hanya diam tidak menanggapinya. Aku hanya fokus pada layar yang ada di hadapanku. Mencoba untuk menyelesaikan beberapa pekerjaanku yang masih belum selesai. Kebetulan Marchel ada pameran di kota ini. Jadi, ia juga menginap di hotel yang sama denganku. Ia tampak santai seperti tidak ada beban. Akhir - akhir ini sepertinya ia sangat bahagia dengan pacar barunya. Anak magang yang berada di studionya.

"Besok gue pulang. Lu gimana?" aku bertanya tentang kepulangannya.

"Mikaila nyusul kesini. Mungkin kami pulang lusa," jawabnya tanpa menoleh kepadaku. Ia sibuk dengan layar ponselnya. Sepertinya ia sibuk berbalas pesan dengan pacar yang baru ia kencani 6 bulan yang lalu.

"Gue rindu Shanin," kataku lirih. Kalimat itu tiba - tiba meloncat keluar dari bibirku. 

Marchel tersenyum mendengarku. "Welcome to the club. Selamat datang di club 'Pria Bucin' Azka Waldermar."

"Lu tau kan gue nggak pernah sesayang ini sama cewe? Gue cinta banget sama dia. Rasanya mau setiap hari ketemu dia. Bahkan setelah bertemu seharian rasanya masih tetap rindu."

"Dia orangnya bro! Dia yang seharusnya elo nikahin. Elo kurang tegas sama pilihan hidup lo. Setidaknya elo bisa tiru Ryo. Kalau bukan dia orangnya dia nggak akan mau menikah. Sekarang elo jadinya cuma menyakiti dua hati."

Aku termenung mendengar ucapan Marchel. Dia benar, tidak ada pembenaran dari sebuah perselingkuhan. Semua ini memang salahku. Aku hanya butuh seseorang yang perlu disalahkan karena kesalahanku. Orang itu adalah mami. Orang yang memintaku untuk menikahi Bianca. Kali ini aku akan tegas pada pilihanku. Aku tidak ingin kehilangan Shanin. 

Marchel pamit pulang ke kamarnya. Meninggalkanku sendiri dengan pikiranku. Pernikahanku dengan Bianca memang hanya sebatas pernikahan bisnis. Aku tidak pernah sekali pun menaruh hati padanya. Dia juga sepertinya tidak mencintaiku. Yang ada di pikirannya hanyalah uang, perhiasan, barang - barang mahal, dan hal - hal lain yang bisa ia banggakan pada teman - temannya. Hampir setiap hari ia pergi dengan teman - temannya. Kadang mereka pergi jalan - jalan ke luar negeri. Bianca kadang lupa tentang tugasnya menjadi istriku. Ia malas pergi ke acara amal, kerja bakti yayasan, dan pertemuan penting yang membutuhkan dia untuk menjadi pendampingku. Ia hanya sibuk dengan dunianya sendiri.

An AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang