Prolog

1.8K 169 19
                                    

_



_





_

Hidup bagiku hanya sebatas ilusi yang tidak akan pernah selesai

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Hidup bagiku hanya sebatas ilusi yang tidak akan pernah selesai. Hanya tinggal menjalani hingga mati. Sesimpel itu.

Namaku Aiza Elmeira Astarina, yang berarti putri mulia yang kuat dan bersinar seperti bintang. Orang-orang memanggilku Aiza. Aku mahasiswi jurusan seni tingkat akhir di sebuah universitas ternama dikota. Aku terlahir dari keluarga yang bisa dibilang cukup berantakan— ayah dan ibuku pisah. Cerai. Hebat bukan?

Aku diasuh oleh nenekku sejak usia dua tahun. Kedua orang tuaku menjalani kehidupan masing-masing dan mengabaikanku. Aku tidak peduli, mungkin takdir hidupku memang sudah begitu. Kembali lagi, hidup itu hanya sebuah ilusi— tinggal menjalani hingga mati.

Setiap orang mempunyai kisah hidup masing-masing, aku tidak butuh belas kasihan— sungguh. Nenekku sudah meninggal saat usiaku tiga belas tahun dan sejak saat itu aku harus hidup sendiri. Membiayai seluruh kehidupanku sendiri. Aku tekankan sekali lagi, sendiri.

Tidak perlu merasa kasihan. Aku tidak membutuhkannya. Buktinya aku masih hidup sampai sekarang, bukan?

"Maaf nona, apa sudah menunggu lama?"

Sial. Siapa yang mengganggu ceritaku.

Aku menoleh ke asal suara dan menemukan pemuda menyebalkan yang dari tadi sudah kutunggu hingga mengakibatkan curahanku lolos begitu saja pada kalian. Dia tersenyum kotak, merasa tidak bersalah bahkan telah membuat seorang perempuan menunggu dua jam lamanya. Ya ampun... ingin ku makan hidup-hidup.

"Tidak tuan Asta Alexander Rajendra! Hanya dua jam. Lebih pendek dari sebelumnya." Aku memaksa senyum walau gemeletuk gigiku sudah terdengar.

Asta mengacak rambutku hingga berantakan, "manis sekali, sih... gadisnya siapa nih..."

Aku menarik tangannya dari rambutku. "Aku jomblo. Sendiri. Tidak memiliki kekasih. Puas?!"
Asta tertawa kuat. Kuat sekali hingga rasanya aku ingin memasukkan kaus kaki kedalam mulutnya.

"Jangan begitu, Za. Kau lucu jika cemberut." Dia mengusap air yang ada pada sudut matanya akibat tawanya yang mengudara, "jadi pacarku saja. Kan aku udah bilang, jodoh kamu itu aku. Bukan yang lain."

Aku memutar bola mata, "Asta. Dengar... teman itu tidak boleh jadi pacar. Rasanya hambar. Asal kau tahu." Aku menyentil jidatnya, "tidak usah pake aku-kamu. Aneh dengernya kalau itu dari mulut busukmu."

Apa aku sudah memperkenalkannya. Jika belum, maka aku akan lakukan.

Asta Alexander Rajendra. Mahasiswa jurusan seni (sama denganku) tingkat akhir. Kapten basket universitas. Tinggi 178 cm, berat 62 kg, golongan darah AB, Capricorn. Salah satu incaran mahasiswi Univeritas.

Asta adalah sahabat yang aku temukan saat pertama kali pindah ke ibu kota. Anak dari pemilik kontrakan yang aku tempati. Seingatku, dulu tubuhnya tidak setinggi ini, aku masih bisa memukul kepalanya tanpa berjinjit jika dia nakal dan mengganggu. Rahangnya juga tidak setegas sekarang, aku masih bisa menikmati pipi gembulnya yang mengunyah saat makan. Tubuhnya juga tidak seatletis saat ini, dulu aku masih bisa melihat perut buncitnya jika sedang duduk. Asta berubah seratus delapan puluh derajat. Kesimpulannya— sekarang ketampanannya tidak manusiawi.

'MY ENEMY'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang