[12] One and Only

457 96 20
                                    



_

_


_


Sore ini harusnya Aiza menuruti apa yang Jehaan katakan padanya, 'setelah kelas selasai, langsung pulang ke rumah' begitulah pesan yang Aiza terima dari Jehaan pagi tadi. Seharusnya Aiza mendengarkan Jehaan, bukan malah memilih menghabiskan waktu di perpustakaan hingga malam seperti ini.

Menurut Aiza dirumah juga akan sangat membosankan, terlebih Jehaan sedang pergi bersama sang ayah untuk mengunjungi salah satu pabrik mereka diluar kota. Asta tidak ada kabar sejak kejadian kemarin, dan pemuda itu tidak mengangkat teleponnya sama sekali.

Aiza juga sempat untuk mengunjungi rumah Asta, tapi yang dicari tidak ada disana. Aiza tahu, Asta menghindar darinya.

Udara terasa semakin dingin, angin malam dan langit gelap yang terlihat menyimpan hujan memberikan rasa khawatir pada Aiza. Takut jika hujan turun, dan itu akan membuat dirinya sedikit kesusahan. Aiza buru-buru meninggalkan universitasnya dan memilih untuk mencari halte bus terdekat.

Langkah Aiza terhenti ketika melihat pria paruh baya yang baru saja turun dari sebuah mobil dengan keluarganya. Terlihat begitu bahagia, seorang ayah yang sangat menyayangi putrinya, dan seorang suami yang sangat menyayangi istrinya.

Aiza tersenyum remeh. Beberapa wartawan yang mengambil potret keluarga bahagia itu membuat Aiza mendadak mual. Menyebalkan sekali. Pikirnya. Andai publik tahu bahwa perdana menteri mereka bukanlah pria sebaik itu, bukan sosok ayah yang sehangat yang mereka kira. Nyatanya rumor yang beredar benar adanya, perdana menteri itu telah menelantarkan anak kandungnya sendiri demi wanita lain. Miris sekali hidup Aiza.

Mata mereka bertemu. Ayahnya dan Aiza saling melempar tatapan dalam beberapa detik sebelum sang ayah memutuskan kontak pertama kali. Aiza mendengkus senyum, pada kenyataannya dirinya memang sudah dibuang— lantas, kenapa masih sesakit ini.

Semua wartawan mulai bubar saat ayah Aiza sudah memasuki gedung yang berada disana. Aiza menarik nafas dalam, dan melanjutkan langkahnya. Namun, saat dirinya tiba di halte bus, Jehaan sudah ada disana— berdiri sembari melipat tangan, menatap Aiza datar.

Kening Aiza berkerut, Jehaan. Katanya dalam hati.

"Gue nunggu dirumah cukup lama, dan lo belum balik juga." Kata Jehaan datar saat Aiza sudah tiba didepannya.

Aiza tersenyum, matanya meneliti bagaimana Jehaan malam ini. Rambutnya yang sudah panjang terikat, pakaiannya serba hitam dimana celana jeans ketat dipadukan dengan kaus hitam serta jacket Harley Davidson dan sepatu boots dengan warna senada, jangan lupa knee pad (pelindung lutut) yang Jehaan gunakan. Tampan sekali.

"Lo bawa motor?" Tanya Aiza sembari menunjuk motor besar yang terparkir disana, "mobil lo mana? Tumben bawa motor." Katanya lagi.

Terdengar helaan napas Jehaan, "dimana-mana kalo orang lagi nanya itu dijawab, bukan balik nanya. Gue dari tadi nyariin elo, Za." Alis Jehaan naik satu, "telpon gue gak lo angkat, pesan gue juga gak dibalas, mending lo buang tuh hp dari pada gak guna kayak gitu." Tekan Jehaan.

Bukannya takut, Aiza malah gemas sendiri. Kakinya melangkah mendekat kemudian menarik tangan Jehaan dan menggenggamnya. "Suami aku bawel... ini juga mau pulang, kangen banget ya sama istri sampe nyarinya naik motor."

Suami aku. Kalimat itu mampu menyampaikan hangat luar biasa. Itu dari Aiza, gadis bar-barnya. Pipi Jehaan memerah, jantungnya berdebar begitu cepat, rasanya ada sengatan yang mampu mengirimkan kupu-kupu berterbangan dalam perutnya. Tapi, Jehaan tetap Jehaan, sebisa mungkin mengontrol ekspresinya agar Aiza tidak tahu bahwa dirinya sudah tidak marah lagi.

'MY ENEMY'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang