__
_
Tidak ada yang pernah berkata padaku bahwa jatuh cinta itu sangat mengerikan. Kau ingin menolak tetapi kenyataan menampar kebenaran. Tidak ada yang mengatakan padaku bahwa nyerinya sesakit ini, bahwa deritanya sepilu ini.
Jauh disana, ada laki-laki yang sosoknya selalu aku tempatkan di tempat tertinggi dalam hatiku, yang sejak dia menjadi suamiku— dia menjadi prioritas utama dalam hidupku, dimana aku yang selalu merasa diperlakukan begitu istimewa, nyatanya itu hanya sebuah tanggung jawab belaka.
Bukan Jehaan yang salah, ini aku. Aku yang terlalu berharap.
"Za,"
Suara Asta menyadarkanku. Aku tidak bisa menatapnya, tidak berani sedetik pun. Aku malu, sakit, dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
"Bisa gak, kalo kamu pura-pura gak tau, Ta? Aku bener-bener bingung harus gimana sekarang."
Aku bisa mendengar helaan napas berat dari Asta. Dia mendecak kemudian berkata, "aku bisa mukul tuh orang kalo kamu mau! Bisa aku hajar habis-habisan!"
Aku tersenyum sendu, anehnya airmataku terjatuh dengan sendirinya. Disana— Jehaan masih memegang sisi belakang kepala perempuan itu, jemari yang saling bertaut, dan pelukan yang belum terlepas.
Ada yang aneh, sakit sekali— terutama saat aku melihat Jehaan tiba-tiba melepas pelukannya, kemudian berjongkok mensejajarkan tinggi dengan gadis kecil yang sejak tadi menggenggam ujung baju perempuan tersebut.
Hatiku pilu. Sangat. Aku takut. Takut sekali. Aku bersumpah.
Jemari Jehaan menyentuh pipi gadis kecil itu, mata Jehaan menghangat, berlinang, dan kemudian Jehaan menangis. Bersama dengan tangis Jehaan, airmataku tidak berhenti mengalir. Gadis kecil itu mirip sekali dengan Jehaan, matanya, hidung, bentuk wajah, duplikat Jehaan sekali.
Bodoh. Apa yang kau pikirkan Aiza?! Jehaan tidak mungkin menyakitimu sedalam itu.
Aku terus merapalkan kalimat itu dalam otakku. Berharap bahwa apa yang aku takutkan tidak terjadi. Namun, baru saja aku berharap— lagi-lagi aku dihancurkan. Jehaan memeluk anak itu. Menangis disana, dan saat aku bisa membaca ucapan Jehaan dari gerakan bibirnya duniaku hancur.
Aku tidak mendengarnya langsung, tetapi anehnya seakan suara Jehaan terdengar tepat ditelingaku. Gerakan bibirnya bisa aku baca, Jehaan menyakitiku melebihi apapun, kalimatnya menusuk hatiku sangat dalam, menghancurkan kepercayaanku.
'Maafin, papa.'
Kalimat yang bisa dengan jelas aku dengarkan. Papa. Jehaan mengatakan kata itu. Tubuhku tiba-tiba lemah tidak berdaya, ketakutan yang sejak tadi aku takutkan terjadi. Semua terasa berhenti, kakiku bahkan tidak bisa menopang bobot tubuhku sendiri, hingga aku terjatuh dan Asta segera menangkap tubuhku.
"Ta, ini gak bener kan? Aku mimpi ya? Aneh, aku gak suka mimpi ini, Asta. Tolong, kamu bisa bangunin aku dulu. Aku—"
Rasanya mulutku tidak sanggup untuk melanjutkan kalimatku. Pahit sekali. Lidahku keluh, dan pikiranku tiba-tiba kosong. Dan saat aku kembali menatap kedalam sebuah kafe dimana Jehaan dan perempuan itu ada disana, mataku bertemu dengan Jehaan.
Jehaan menatapku. Dia terkejut.
Mataku sendu, tangisku tidak berhenti. "Lo jahat, Jehaan." Ucapku sendiri.
Aku tidak tahu apa Jehaan mengerti dengan ucapanku, tapi saat itu aku bisa melihat gelengan kepalanya. Dirinya yang ingin berlari menyusulku, tetapi ditahan oleh perempuan itu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
'MY ENEMY'
FanfictionJehaan Key Alvano. Mahasiswa kedokteran yang bisa membuat gula darahku naik, tengkuk sakit, emosiku meluap. Orang bilang, dia nyaris sempurna. Tapi bagiku, dia tidak lebih dari orang yang nyaris kurang mental. Tatapannya membuatku muak, senyumnya...