Mono terbangun sambil terkesiap. Sedikit keringat yang membasahi dahinya membuat rambut gelap Mono menempel ke kulitnya. Dia terus memandangi langit-langit kamar tanpa berkedip seolah takut apa yang dilihatnya tidak nyata.
Dia mengelap sedikit keringat di alisnya dengan lengan piyama lalu berguling di tempat tidurnya. Selimut yang menghangatkannya sekarang justru membuatnya merasa seolah sedang berjemur di bawah terik matahari musim panas, jadi ia pun menyingkirkannya sampai jatuh menggunuk ke lantai. Dia berbaring meringkuk seperti bayi selama beberapa saat sambil terus mengatur detak jantungnya agar kembali normal.
Dia baru saja bermimpi buruk, dan bukan mimpi yang asing. Malah sebetulnya ia memimpikan hal yang sama terus-menerus belakangan ini sampai setiap detilnya begitu membekas di otak Mono.
Dalam mimpinya dia selalu berlari dalam kegelapan, menjauhi sesuatu yang bahkan sosoknya tidak ia ketahui. Tapi dia bisa melihat ada orang lain di depannya, seorang anak yang jelas bukan dirinya. Dia lebih pendek beberapa senti dari Mono, tapi hampir sama kurusnya. Mono tak pernah bisa menyusulnya tak peduli seberapa cepat ia berlari. Dia selalu lebih cepat darinya, selalu selangkah lebih maju. Namun tentu saja bukan itu yang ditakutkannya. Dia takut pada sesuatu yang lain, yang biasanya terjadi sesaat sebelum Mono berhasil menyusul anak dalam mimpinya.
Di bawahnya selalu ada lautan kegelapan, dan berulang-kali pula ia jatuh ke sana. Tidak ada yang menolongnya. Tidak ada yang meneriakkan namanya. Satu-satunya hal yang Mono tahu selagi ia jatuh adalah anak di atas sana tidak mempedulikannya, dia membiarkannya jatuh begitu saja.
Kemudian, ia pun sendirian dalam gelap. Mono tidak suka sendirian.
Mono menggosok matanya kuat-kuat sampai kulit di sekitarnya terasa panas lalu menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Aku payah, pikir Mono. Harusnya anak laki-laki tidak menangis hanya karena bermimpi buruk, ya, kan? Dia tahu semua orang pasti setidaknya pernah mengalami mimpi seperti itu dan akan bangun seolah tidak terjadi apa-apa. Lalu kenapa dia merasa begitu ... begitu kacau setelahnya?
Mono berguling lagi, kali ini dia kembali berbaring telentang dengan bantal didekap erat di dada. Kenapa dia terus memimpikan hal yang sama, ya? Ini sudah hampir sepuluh hari sejak ia memimpikannya untuk pertama kali. Sejak saat itu pulalah pola tidur Mono mulai terganggu. Akibatnya, seperti yang sudah ditunjukkan suster tiap pagi saat sarapan bersama, mulai ada lingkaran-lingkaran hitam yang muncul di sekitar mata Mono.
Dia melirik jam dinding di seberang dengan mata berat. Jarumnya menunjukkan pukul lima pagi. Matahari belum akan terbit sampai setidaknya pukul tujuh, tapi kalau sudah terbangun begini tetap saja Mono tidak akan bisa tidur lagi. Lagipula, dia tidak mau menghadapi mimpi buruk yang sama untuk kedua kalinya dalam sehari. Itu akan terlalu melelahkan.
Alasan itulah yang membuat Mono meninggalkan tempat tidurnya, membuka laci di nakas sebelah dan menarik keluar satu-satunya mantel yang ia miliki–mantel cokelat lusuh yang terlalu besar untuk ukuran tubuhnya, tapi dia tidak keberatan. Mono suka mantelnya. Kadang dia juga suka membayangkan mantel itu sebagai jubah para pesulap yang sering ia lihat di TV.
Setelah memakai topi dan mengambil sepatunya dari bawah tempat tidur, Mono berjalan mengendap-endap keluar kamar dengan kaki telanjang (dia akan memakai sepatunya begitu sudah di luar). Para suster belum akan bangun sampai setidaknya pukul enam pagi, jadi pilihan keluar dari pintu depan sangat tidak mungkin terjadi, kecuali kalau Mono ingin berbuat nekat dengan menyelinap ke kamar salah satu suster dan mencuri kunci utama untuk membukanya. Mono kadang memang anak yang nekat dan punya nyali yang cukup besar, tapi dia tidak bodoh, jadi dia tidak melakukannya.
Ada satu jalur yang sering Mono gunakan untuk keluar-masuk panti asuhan saat semua pintu dan jendela terkunci rapat, dan jalur itu berada di dapur, di sudut ruangan yang tersembunyi di bawah tempat cuci piring. Yang membuat keadaan jadi jauh lebih menguntungkan adalah tak adanya anak lain yang mengetahui jalur ini kecuali Mono.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall Apart
FanfictionMono hanya punya dua penyesalan dalam hidupnya: Satu, seharusnya dia tidak pernah menghiraukan bisikan anak-anak itu agar pergi ke Menara Sinyal. Dua, seharusnya dia tidak pernah berteman dengan Six. Atau lebih tepatnya, dia seharusnya tidak pernah...