6. Runtuh

68 21 0
                                    

Mono tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari pemandangan di ruang tengah, tangannya gemetar tak terkendali, dan isakan serta tarikan napas kaget dari anak-anak lain di belakangnya tidak membantu.

Rasanya baru kemarin dia bisa berbicara dengan Ben tanpa ada tembok yang menghalangi keduanya. Rasanya baru kemarin malam dia makan bersama dengannya, dengan Kayta dan Scherbina duduk di kanan-kirinya, menertawakan lelucon yang sebetulnya menurut Mono tidak lucu. Rasanya menyenangkan bisa punya teman seperti mereka. Bagi Mono semuanya seperti kesempatan sekali dalam seumur hidup.

Kenyataannya memang begitu.

Salah seorang suster sudah menyuruh agar anak-anak tetap diam di dalam kamar, bahkan sampai membentak saat tak satu pun anak mematuhi perintahnya. Anak-anak yang lebih kecil dan tidak mengerti apa pun langsung kembali ke kamar seperti yang disuruh, tapi bagi anak-anak yang sudah cukup besar dan mengerti dengan apa yang mereka lihat tengah berdiri di puncak tangga, setengah tersembunyi dari gelapnya lorong di belakang. Rasa penasaran anak-anak ini tinggi, dan keingintahuan mereka seliar imajinasinya, tapi seharusnya mereka ingat kalau rasa penasaran juga bisa membahayakan.

Langkah para suster yang memakai sepatu bertumit tinggi terdengar begitu berisik di lantai kayu, dan mereka berjalan dengan terburu-buru dari satu ruangan ke ruangan lain, berbisik pada satu sama lain dengan bisikan keras. Telepon tak henti-hentinya berdering dari salah satu kantor sementara salah seorang suster yang terduduk di sofa di ruang tengah menangis tersedu-sedu dengan ditemani suster lain yang menawarkan sapu tangan padanya sambil mengelus punggungnya. Tapi bukan mereka yang merebut perhatian Mono.

Satu per satu anak yang menonton diam-diam mulai meninggalkan tempat persembunyian, entah sambil menangis atau gemetar ketakutan. Langkah kaki mereka tidak terdengar, tapi Mono bisa mendengar derit dari pintu yang mengayun tertutup di suatu tempat di ujung lorong. Tak lama berselang, Mono pun tinggal sendiri.

Pintu depan diketuk beberapa kali, lalu datang sekelompok laki-laki berseragam polisi dan beberapa lagi yang tampaknya datang dari rumah sakit. Mono berjongkok agar tak ada seorang pun dari mereka melihat tubuhnya yang kecil. Dia diam di sana dengan napas tertahan, mengawasi para polisi memeriksa tubuh Ben yang tergeletak tak bergerak di lantai di depan televisi. Dia terlihat seperti sedang tertidur lelap di mata Mono, tapi dia tahu dari wajahnya yang pucat dan si suster yang terus menangis di sudut kalau jantung anak itu sudah tak lagi berdetak.

Kemudian pada pukul dua dini hari, tubuh Ben dibawa ke rumah sakit, para polisi menyegel ruang tengah dan terus berpatroli di area sekitar panti asuhan. Cahaya dari lampu mobil kepolisian yang berwarna merah dan biru terus menyala hari itu, menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran di blok tersebut. Dan saat Mono memutuskan untuk kembali ke kamar, tak ada seorang pun anak yang bisa tidur lagi sampai matahari terbit.

Esok harinya saat Mono memutuskan untuk meninggalkan kekacauan di panti asuhan, dia melihat dua poster tambahan yang menutupi dinding toko-toko. Mono hanya perlu melirik dua wajah yang menatap balik padanya dalam diam sebelum menarik topinya lebih rendah, menutupi matanya dari penglihatan orang lain. Mono berlari di sepanjang trotoar, satu tangan memegangi tepi topinya sementara yang lain dimasukkan ke saku mantel, meremas bola kertas yang entah kapan ia masukkan ke sana erat-erat.

Berita semalam sudah cukup buruk baginya, tapi hilangnya Katya dan Scherbina di saat yang bersamaan membuat matanya perih.

Dia baru berhenti ketika jalanan aspal berubah jadi butiran-butiran pasir putih di kaki Mono, membuatnya agak tergelincir ketika secara tak sadar ia memutuskan untuk berhenti mendadak. Dia meletakkan topinya ke posisi semula, mengatur napas dan mendongak.

Dia masih dikelilingi gedung-gedung berwarna kelabu muram, dan lamgitnya masih tebal dengan awan yang sama muramnya. Tapi satu hal yang pasti, suasana di pinggir kota jauh lebih sepi daripada pusatnya. Jalanan sepi seolah daerah ini tidak pernah berpenghuni. Toko-toko yang berdiri tampak kosong-melompong dengan jendela-jendelanya yang dilapisi debu, minyak serta entah berapa macam noda lagi yang ada di sana. Etalase yang menawarkan barang-barang tampak lebih banyak memperlihatkan tempat yang kosong daripada terisi, itu pun dengan barang yang tampaknya sudah lama ada di sana tanpa ada satu pun pengunjung yang berminat membelinya.

Fall ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang