Potongan-potongan kayu serta debu berjatuhan dari langit-langit gubuk selagi si pemburu menggedor-gedor pintu. Mono mencoba untuk memblokir suara-suara itu agar bisa fokus dengan apa yang dilakukannya. Dia melompat, berhasil meraih senapan shotgun yang diletakkan pada penyangga di dinding. Tapi cengkeramannya tidak terlalu kuat sehingga ia jatuh berguling ke lantai dengan senapan tersebut mendarat di dekatnya. Si anak berambut hitam menoleh dan dengan cekatan segera meraih larasnya yang panjang, mengangkat nya ke arah pintu yang kayunya mulai jebol sehingga kepala si pemburu yang ditutupi kantong kain terlihat jelas oleh mereka berdua. Mono bangkit, meraih bagian belakang senapan dan dengan buta mencari-cari pelatuknya. Lebih banyak serpihan kayu berserakan di lantai. Pintunya hampir rubuh—
Mono menemukan pelatuknya yang kemudian ia tarik sekuat tenaga tanpa ragu.
Letusan tembakan yang datang sesudahnya terdengar seeprti ledakan bom di telinga Mono. Dia dan si anak berambut hitam terpental ke belakang hingga menabrak peti kayu akibat kuatnya dorongan yang dihasilkan senapan itu setelah peluru dilepaskan. Mono berbaring tak bergerak di lantai, pusing karena kepalanya terbentur, telinganya yang berdering nyaring serta adrenalin yang membuat jantungnya berpacu cukup cepat.
Apa tadi berhasil? Mono bertanya-tanya dalam hati. Apa peluru tadi berhasil mengenai sasarannya?
Dia bangun. Kepalanya terasa sepuluh kali lebih berat dari sebelumnya hingga Mono nyaris kehilangan keseimbangan. Di sampingnya si anak berambut pendek juga melakukan hal yang sama. Dia terlihat seperti bayi rusa yang baru dilahirkan ke dunia dengan kakinya yang gemetar seperti itu. Mono ingin tersenyum, tapi mengingat kalau dia sedang dalam kondisi yang serupa membuat ia harus menahan diri.
Si anak berambut pendek maju selangkah, kepalanya ditelengkan sedikit. Sepertinya dia ingin memastikan kalau si pemburu sudah berhasil dilumpuhkan atau belum, tapi Mono yakin dengan jarak tembak sedekat itu pasti dia tidak akan kembali bangkit dalam waktu dekat. Selamanya juga tidak apa-apa.
"Ayo pergi," kata Mono pelan. "Sebelum dia bangun lagi."
Si anak berambut pendek tampak ragu kalau si pemburu akan bangun lagi, tapi dia mengangkat bahunya dengan enteng dan memilih untuk mengikuti Mono keluar lewat jendela.
Suara ombak yang menyapu pantai menyambut mereka berdua. Apa yang ada di seberang perairan terhalang dari pandangan Mono oleh lapisan tebal kabut yang melayang-layang. Udara terasa lembap, angin yang bertiup cuma membuat Mono makin kedinginan, dan kumpulan awan yang menggantung di langit tidak bisa membuat suasana hatinya jadi lebih baik. Mono menghela napas. Angin, kabut, hujan. Cuaca sedang sangat tidak memihaknya.
Sejauh mata memandang Mono tidak bisa menemukan satu pun perahu yang ditambatkan di sepanjang garis pantai. Dia sudah mulai bertanya-tanya bagaimana caranya ia bisa kembali ke Pale City tanpa perahu sampai si anak berambut pendek memandanginya dari balik poninya yang panjang. Mono berkedip, tak yakin apakah anak itu bisa menangkap tatapan matanya dari balik lubang kecil di kantong kertas yang ia pakai untuk menutupi kepalanya. Namun sepertinya anak itu tidak begitu peduli, sebab ia menunjuk ke suatu tempat di belakangnya. Mono mengikuti arah yang ditunjuk. Dia berkedip sekali lagi.
"Oke ...," Mono bergumam pelan.
Keragu-raguan Mono tampaknya membuat si anak berambut pendek bimbang, namun setelah mengawasinya sedetik lebih lama dia pun berputar dan berlari di sepanjang tanah berpasir ke arah tumpukan batu tempat si pintu dilabuhkan. Keduanya sama-sama meraih tepi pintu, mendorongnya sekuat tenaga ke air lalu cepat-cepat naik ke atasnya sebelum pintu itu benar-benar hanyut terbawa ombak.
Pantai di belakang mereka semakin menjauh. Suara ombak yang menyapu pasirnya sudah tidak terdengar lagi, digantikan oleh keheningan yang terlalu tebal sehingga tidak bisa dirobek oleh apa pun. Mono duduk dengan memeluk kedua kakinya, menonton air dingin yang gelap menjilat tepi pintu, percikannya membasahi kaki Mono yang telanjang sehingga jari-jari kakinya bersuhu jauh lebih dingin daripada anggota tubuhnya yang lain. Dia melirik anak di sampingnya yang menengadah menatap langit. Percuma saja dia mencari bintang. Kabut yang perlahan menyelimuti mereka memblokir pemandangan bintang-bintang tersebut dari matanya. Dia mengembuskan napas lelah, menarik lututnya ke dada lalu menyembunyikan wajahnya di lutut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall Apart
FanficMono hanya punya dua penyesalan dalam hidupnya: Satu, seharusnya dia tidak pernah menghiraukan bisikan anak-anak itu agar pergi ke Menara Sinyal. Dua, seharusnya dia tidak pernah berteman dengan Six. Atau lebih tepatnya, dia seharusnya tidak pernah...