Mono bangun dengan perasaan seolah Isi perutnya baru saja diaduk-aduk serta organnya dikeluarkan satu per satu dan diletakkan dalam posisi yang salah. Dia duduk sambil mengerang, kepalanya yang berdenyut-denyut dicengkeram erat. Pakaian Mono belum sepenuhnya kering karena terpapar air hujan hampir semalaman. Semua kain itu masih menempel ke tubuhnya seperti kulit kedua, membuatnya tak nyaman. Lalu ketika berdiri, air menetes-netes dari ujung mantelnya ke lantai kayu.
Dia berputar perlahan. Mono tidak lagi di dasar jurang, melainkan di dalam ruang duduk dari sebuah rumah sederhana. Satu set televisi dengan layar pecah berdiri di atas meja, serpihan-serpihan kacanya tersebar di sekitar Mono. Di salah satu dinding terpajang beberapa bingkai foto yang gambarnya tidak bisa dilihat dengan jelas karena tebalnya debu pada bingkainya, tapi Mono bisa melihat kilasan wajah anak-anak di dalamnya yang tengah tersenyum.
Mengalihkan perhatiannya dari foto-foto tersebut, Mono melangkah dengan hati-hati agar tidak menginjak serpihan kaca di lantai. Dia tidak bisa mendeteksi adanya tanda-tanda penghuni rumah. Tempat ini terlalu sepi, dan lantainya yang dilapisi debu cuma memperjelas kecurigaan Mono bahwa rumah ini telah ditinggalkan. Namun jika dilihat dari kelengkapan barang-barang di rumah ini, sepertinya sang pemilik tidak membawa apa pun.
Mono tiba di ruang depan yang bermandikan cahaya matahari pagi. Partikel-partikel debu beterbangan di depan matanya. Di sudut ruangan dia melihat satu lagi televisi. Yang ini tergeletak miring di lantai. Kacanya yang berlubang di tengah seolah menunjukkan bahwa pemiliknya menendang televisi itu karena kesal. Kesal pada apa Mono tidak bisa menebak.
Jendela-jendelanya terkunci, tapi tidak dengan pintunya. Setelah melompat dari bangku kecil sebagai tumpuan, Mono berhasil menarik gagang pintu dan membukanya, membiarkan udara segar masuk ke dalam rumah yang sudah lama ditinggalkan itu. Terangnya sinar matahari membuat Mono harus menaungi mata.
Ini bukan Pale City, pikirnya setelah penglihatan Mono bisa menyesuaikan dengan intensitas cahaya yang ada. Pale City penuh dengan gedung-gedung tinggi berwarna muram dari tepi kota sampai ke pusat. Tempat ini hanya punya beberapa rumah kayu sederhana, jalanan dari tanah yang tidak diaspal, dan satu kincir angin di tempat yang kelihatannya seperti sebuah peternakan tanpa hewan ternak.
Mono keluar dari teras. Kakinya yang telanjang menginjak jalanan tanah yang agak berpasir. Rasanya hangat setelah semalaman menginjak tanah basah dan beton sedingin es sampai rasanya Mono ingin berbaring di sana, tapi tentu saja dia tidak bisa melakukannya, sebab dia punya tugas penting yang harus dilakukan. Dan hal pertama yang harus dilakukannya adalah mencari tahu lokasi tempatnya berada saat ini. Jadi ia pun kembali masuk ke dalam rumah tadi untuk mencari peta di salah satu rak buku yang ia lewati dalam perjalanannya ke ruang depan.
Rak bukunya lebih banyak diisi oleh dekorasi buatan rumah daripada buku, tapi apa yang Mono cari tidak ada di dalam buku-buku yang sedikit itu, jadi ia pun mencari dalam lemari yang setiap lacinya ia buka dan isinya ia aduk-aduk. Setelah mengeluarkan setumpuk kertas dari laci paling atas dan menyortirnya satu per satu, Mono mendapatkan apa yang dicarinya. Dia meratakan kertas yang dilipat jadi bentuk persegi kecil lalu merentangkanya di lantai di atas barang-barang lain.
Kertas itu berisi peta yang menggambarkan dua daratan yang dipisah oleh laut sempit. Nama Pale City tertera pada daratan satunya, dan Mono bisa memastikan bahwa ia berada di daratan yang lain berdasarkan alamat yang tercantum pada surat-surat yang telah ia periksa dari dalam laci yang sama. Mono mengerutkan dahi. Targetnya ada di Pale City, dan untuk kembali ke sana dia harus menempuh perjalanan yang cukup panjang melalui hutan lebat dan menyeberangi laut.
Suka tidak suka, dia harus kembali ke sana.
Mono mengecek dapur di rumah itu. Dia membuka setiap laci dan lemari yang ada, mencari setidaknya sedikit makanan untuk dibawanya dalam perjalanan kembali ke kota. Setelah semua yang dibutuhkannya siap dan dia tahu harus pergi ke mana, Mono pun meninggalkan rumah itu dengan sedikit barang bawaan tersimpan dalam saku mantelnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall Apart
FanfictionMono hanya punya dua penyesalan dalam hidupnya: Satu, seharusnya dia tidak pernah menghiraukan bisikan anak-anak itu agar pergi ke Menara Sinyal. Dua, seharusnya dia tidak pernah berteman dengan Six. Atau lebih tepatnya, dia seharusnya tidak pernah...