7. Kota yang Berubah Jadi Pemakaman

78 16 0
                                    

Note:
No editing we die like Mono's future

***

Mono bangun dengan dengung menyakitkan pada kedua telinga serta denyut pada kepalanya yang membuat ia kembali memejamkan mata rapat-rapat. Begitu dengung nyaring di telinganya pergi, Mono baru memberanikan diri untuk membuka mata, dan seketika langsung dibuat bingung.

Hujan tinggal berupa gerimis yang begitu halus sampai-sampai Mono tidak bisa merasakan tiap tetes yang jatuh ke wajahnya. Awan masih bergerak cepat digiring angin di atas sana, tapi cahaya keemasan muncul di sisi jauh langit yang bisa Mono lihat dari celah sempit di antara gedung-gedung. Mono mengembuskan napas lelah. Para suster pasti khawatir karena ia tidak kembali ke panti asuhan dan malah memilih tidur di lantai beton yang becek dengan air hujan sebagai selimutnya.

Mungkin pada akhirnya dia akan diusir kali ini. Entah itu hal baik atau buruk.

Mono memaksa otot-otot tubuhnya yang kaku untuk bergerak, membuatnya berjengit setiap mendengar tulangnya berderak. Astaga, rasanya tubuhnya sakit semua, ditambah lagi udara malam yang dingin serta hujan membuat Mono nyaris tidak bisa merasakan semua jari di tangan dan kakinya. Saat ia menyentuh wajahnya sendiri dengan tangan, ujung jarinya yang sedingin es membuatnya terkejut bukan main.

Mono menggigil, kemudian berjalan pergi setelah pencarian terhadap topinya tak membuahkan hasil. Dia melangkah pelan-pelan menghindari serpihan-serpihan kaca dari televisi yang kemarin pecah di depan matanya. Dia ingat samar-samr kemarin anak yang dibawanya ke sini menjerit, dan sekarang dia tidak ada. Di mana pun anak itu berada sekarang, Mono harap ia baik-baik saja.

Dia berbelok di sudut, menyingkirkan setumpuk kardus–yang untungnya tidak berisi apa pun–dari jalannya dan nyaris berteriak ketika kekosongan di hadapannya nayris menyeret tubuh kecilnya ke dalam sana. Mono melompat mundur, jantungnya berdegup kencang seakan mau meledak. Dia beringsut lebih dekat ke dinding di sebelahnya dan mendlcengerakm tepiannya erat-erat sampai cat tipis di sana terkelupas. Mono menarik napas dalam-dalam beberapa kali, menelan ludah, lalu saat pikirannya sudah kembali tenang, ia membuka matanya lebar-lebar.

Jurang membentang dari sisi terjauh di kanan yang bisa Mono capai dengan matanya sampai ke ujung paling jauh di kiri. Jarak antara tempat Mono berdiri dengan tiang lampu di seberang rasanya jauh sekali, dan yang pasti tidak akan bisa diseberangi dengan melompat. Dia butuh jembatan untuk bisa ke seberang sana.

Apa yang terjadi? pikir Mono, sedikit rasa panik dan takut mulai terbentuk dalam benaknya. Apa semalam terjadi gempa bumi selagi Mono kehilangan kesadarannya? Kalau kerusakannya bisa sampai separah yang ia lihat, bagaimana mungkin gedung-gedung pencakar langit ini masih bisa berdiri tegak pada fondasi mereka? Dengan jurang selebar itu Pale City sama saja seperti dibelah dua!

Dengan rasa takut yang menggelembung semakin besar, Mono mundur kembali ke dalam gang, membuat jarak sejauh mungkin antara dirinya dengan jurang tersebut lalu berlari sekencang-kencangnya. Dia tidak tahu harus pergi ke mana, tapi dia harus mengecek apakah ada orang-orang yang selamat dari bencana alam ini. Dia masih hidup dan bernapas saat ini saja sudah keajaiban yang tidak terduga.

Mono keluar di jalan raya di sisi lain kota. Cahaya matahari yang menembus tebalnya lapisan awan lalu terpantul di jalan beton yang masih basah tampak sedikit terlalu menyilaukan bagi mata Mono yang sudah terbiasa dengan kegelapan. Untuk sepuluh detik berikutnya Mono berdiri diam di sebelah kotak pos dengan tangan menaungi mata. Angin berembus kencang sekali lagi dan saat tiupannya yang sedingin angin Utara telah berlalu, semua awan di langit telah menyingkir, mempersilakan matahari untuk menyiram Pale City sepenuhnya dengan cahayanya.

Mono tidak bisa dibilang senang dengan apa yang dilihatnya.

Gedung-gedung masih berdiri, ya, tapi mereka jelas sekali menunjukkan tanda-tanda seperti baru saja dilanda bencana hebat. Kaca-kaca jendela pecah dan serpihannya berserakan di jalan raya, siap melukai siapa pun yang tidak berjalan dengan berhati-hati. Tiang-tiang listrik berdiri miring, kabel-kabelnya tertarik sampai batas maksimal hingga nyaris putus atau tergeletak di jalan seperti ular mati.

Fall ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang