Mono tak henti-hentinya menggosok matanya yang lelah di saat anak-anak lain duduk diam bagai patung sambil menulis semua catatan yang ada di papan tulis ke buku. Dia tahu seharusnya dalam pelajaran Sains dia tidak boleh berbuat macam-macam di hadapan sang guru, tapi kalau dia tidak menggosok matanya dari waktu ke waktu, Mono yakin dia akan langsung tertidur. Mungkin ada baiknya dia meminta izin untuk ke kamar mandi dan membasuh wajah, tapi tatapan tajam si guru dan penggaris kayu di tangannya selalu membuat nyali Mono hilang entah ke mana.
Semalam setelah kembali dari ruang duduk, Mono langsung ke kamar dan berbaring di tempat tidur. Dia tidak ingat apakah dia langsung tidur atau memikirkan ujian Matematika yang sudah selesai dilaksanakan sebelum jam pelajaran Sains dimulai. Yang ia ingat adalah beberapa saat sebelumnya ia menutup mata ketika kantuk kembali mendatanginya, tapi saat berikutnya yang ia tahu, kelopak matanya kembali terbuka lebar.
Tempat tidur Mono terletak paling dekat dengan jendela. Meskipun gorden yang menutupinya terbuat dari kain yang cukup tebal juga berwarna seperti laut dalam, cahaya yang tiba-tiba bersinar dari luar tetap tembus ke dalam kamar tersebut, membuat Mono bangun sambil terkesiap kaget. Dia kira akan ada petir yang menggelegar, tetapi setelah beberapa saat menunggu di bawah selimut, tidak ada bunyi gemuruh yang terdengar. Mono menurunkan selimutnya dari kepala dan menoleh ke samping. Tak ada anak-anak lain yang bangun selain dirinya, mereka semua masih tidur nyenyak.
Tak ingin membangunkan yang lain, Mono pun turun dari tempat tidur dengan amat berhati-hati dan berjalan singkat menuju jendela sambil berhati-hati agar tidak menginjak balok-balok mainan yang berserakan di lantai. Setibanya di sana, Mono harus menarik bangku kecil untuk bisa melihat keluar jendela (itu pun dia masih harus berjinjit).
Mono menyingkap gorden dari jendela, hanya cukup baginya untuk mengintip keluar. Apa yang dilihatnya membuat mulutnya terbuka.
Puncak menara di pusat kota yang Mono tahu dikenal sebagai Menara Sinyal tengah menyala terang-benderang. Cahayanya putih-kebiruan, membuatnya tampak seperti bulan kedua yang muncul terlambat di langit. Tapi sebetulnya cahaya itu lebih mengingatkan Mono pada salah satu bintang di luar angkasa yang ukurannya jauh lebih besar dari matahari. Dia pernah melihat bintang itu di buku astronomi yang ada di sekolah. Ia menyukainya karena warnanya yang berbeda dari bintang-bintang lain–biru dan bukannya putih maupun merah.
Dia menghabiskan waktu seperti itu, berdiri diam dengan tangan terlipat pada bingkai jendela, tak bisa mengalihkan pandangannya dari puncak menara yang terus bercahaya. Rasanya hampir seperti terhipnotis. Mono bahkan sempat berkata dalam hati kalau dia bisa memandangi menara itu seharian.
Namun tangan seseorang yang meraih bahunya dengan kasar menghentikan Mono dari lamunannya. Dia ditarik turun dari bangku sampai nyaris jatuh. Begitu berhasil mengatur kembali keseimbangan tubuhnya, dia mendongak. Wajahnya langsung memucat.
Suster yang tadi Mono temui di bawah tengah sibuk menutup jendela rapat-rapat dengan gorden. Seandainya saja saat itu dia membawa paku dan palu, dia pasti sudah memaku gorden itu ke jendela. Mono menelan ludah.
"Suster—"
"Tidur," wanita itu berkata tegas tanpa menunduk pada Mono. "Jangan lihat keluar jendela." Setelah itu ia keluar tanpa berkata apa pun lagi.
Pintu tertutup. Meskipun kamar itu sunyi-senyap, Mono masih bisa merasakan ada beberapa anak yang terbangun, tapi masih berpura-pura tidur agar tidak mendapat masalah. Tidak mempedulikan mereka, Mono kembali naik ke tempat tidurnya dan sekali lagi bersembunyi di bawah selimut.
Saat itu jam menunjukkan pukul empat pagi, menandakan bahwa Mono telah terjaga selama kurang-lebih tiga jam hanya untuk memandangi menara.
Penggaris kayu menghantam mejanya, begitu keras sampai Mono terlonjak dan menjatuhkan pensilnya. Mono membelalak ngeri. Jangan bilang dia sempat tertidur di kelas. Sebab kalau memang begitu, ini bisa jadi hari terakhirnya menghirup udara segar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fall Apart
FanfictionMono hanya punya dua penyesalan dalam hidupnya: Satu, seharusnya dia tidak pernah menghiraukan bisikan anak-anak itu agar pergi ke Menara Sinyal. Dua, seharusnya dia tidak pernah berteman dengan Six. Atau lebih tepatnya, dia seharusnya tidak pernah...