8. Dunia yang Penuh Mimpi Buruk

61 17 3
                                    

Mono jatuh ke belakang. Pendaratannya yang tidak hati-hati membuat batang besi berujung tajam merobek kulit telapak tangannya, tapi Mono tidak merasakan sensasi perih yang datang setelahnya. Dia terduduk di atas tumpukan batu dengan mata membelalak dan napas tercekat.

Ini cuma mimpi, kan? Kan?! Dia cuma ingin membuka pintu yang ia lihat sebelumnya, tapi kenapa kapaknya malah tertancap di–di–Mono menggigit bibir bawahnya keras-keras kemudian memejamkan matanya lagi. Ini cuma mimpi. Ini cuma mimpi, ini cuma mimpi, ini cuma mimpi! Kepalanya sendiri sedang berusaha macam-macam dengannya. Apa yang ada di depannya tidak nyata dan saat ia membuka mata nanti dia akan kembali di pantiasuhan di tempat tidurnya yang hangat bersama anak-anak lain—

Ujung jari kaki Mono menyentuh cairan kental yang hangat, membuat matanya terbuka di luar keinginannya. Dia merasakan jeritan akan segera keluar dari tenggorokannya, tapi suaranya tidak pernah terdengar. Dia justru melompat berdiri, berbalik lalu berlari. Lari menjauh dari mayat si wanita dan darahnya di tanah.

Ini bukan mimpi. Mono sudah terbangun dari mimpinya lama berselang hanya untuk mendapati seluruh dunia di sekitarnya telah berubah jadi suatu tempat di mana mimpi buruk jadi kenyataan.

Kegelapan menelan semua yang ada di sekitar Mono, membuatnya setengah buta jika bukan karena langit biru gelap yang sebentar lagi akan berubah hitam kelam. Kalau dia tidak keluar sebelum matahari tenggelam Mono akan terjebak di dasar jurang entah untuk berapa lama. Dia tidak mau di sana terus. Dia tidak mengerti bagaimana dirinya masih hidup setelah jatuh ke dalam jurang dengan kedalaman puluhan meter. Dia—

Jeritan Mono terpotong saat tubuh kecilnya tergelincir di tanah yang licin dan menghantam puing batu sebelum kembali berguling, tenggelam semakin dalam ke jurang. Serpihan kayu, pecahan batu, kerikil tanah dan lumpur mengenai tubuhnya secara bergantian, tidak memberinya kesempatan untuk menyuarakan kesakitannya walau hanya sejenak.

Dia akan mati. Dia tahu dia pasti akan mati. Tapi Mono tidak ingin mati. Dia tidak ingin hidupnya yang singkat terpotong begitu saja. Dia masih ingin tumbuh dewasa, punya keluarga—

Mono berhenti berguling. Dia mendarat di tanah yang rasanya empuk. Meskipun demikian, tubuhnya sekarang sakit semua dari ujung kepala sampai ujung kaki. Titik-titik gelap bermunculan di pinggir penglihatannya ketika ia membuka mata beberapa saat kemudian.

Udara lembap dengan aroma debu, tanah yang basah, lumpur serta air kotor bercampur menjadi satu yang membuat perut Mono menuntut agar dirinya mengeluarkan semua yang ada di dalam. Tapi itu tidak mungkin. Dia tidak makan atau minum apa pun sejak kemarin sore.

Aroma karat serta sesuatu yang busuk melebihi sampah berkumpul di sekitarnya seperti gas beracun. Mono tidak tahan lagi. Dia bertumpu pada kedua tangan dan kakinya dan setelah terbatuk cukup lama yang membuat dadanya nyeri, Mono memuntahkan apa yang tersisa di perutnya.

Setelah yakin kalau tidak ada lagi yang tersisa di dalam sana yang bisa ia muntahkan, Mono terbatuk satu kali lagi, mengelap mulutnya dengan lengan mantel kemudian mengangkat kepala sambil mengatur napas serta detak jantungnya.

Dasar jurang tempatnya berada jadi tempat yang menyerupai pemakaman massal bagi korban wabah. Tubuh-tubuh bergelimpangan, saling tindih antara satu dengan yang lainnya. Pakaian mereka yang penuh dengan noda menempel ke tubuh dengan kulit seputih kertas. Tubuh mati berbau busuk yang akan mengundang ribuan lalat dan binatang-binatang lainnya untuk segera berpesta.

Mono ingin merenggut matanya dari pemandangan itu, tapi ia tidak melihat ke mana pun. Pikirannya kosong, mulutnya kering dan tenggorokannya disumbat kengerian. Di sana-sini dia melihat mayat anak-anak sepertinya, kecil dan patah seperti boneka rusak. Tangan-tangan mereka selamanya membeku dalam posisi terangkat ke udara seolah mereka ingin berteriak, "Kumohon, tolong kami!" pada mereka yang ada di atas.

Fall ApartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang