21. Direcoki

831 78 3
                                    

Bab 21. Direcoki

Sudah sepuluh hari Tania bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Satya Medika. Dia begitu bersemangat setiap harinya, bukan hanya karena tempat bekerja impiannya yang membawa antusias, tetapi juga karena adanya Fatih di sana. 

Tania kerap kali menempeli Fatih ke sana kemari dengan dalih masih belum mengenali seluk beluk tempat kerja barunya. Seringkali Fatih dipusingkan dengan keberadaan gadis berponi itu di sekitarnya. Yang ternyata sangat rewel di luar dugaan. Semakin hari, Tania tak kunjung mengubah sikap, terus saja membawa kebiasaan manjanya hingga ke tempat kerja. 

Setiap jeda senggang Fatih kini direcoki oleh Tania. Seperti di waktu makan siang ini, Tania yang baru saja datang ke kantin, memaksa duduk di dekat Fatih yang sudah lebih dulu berada di sana, padahal di kursi tersebut sudah ada orang yang menempati.

"Tania, duduklah di tempat lain, masih banyak kursi kosong. Jangan seenaknya mengusir orang yang sudah lebih dulu duduk, itu tidak sopan." Fatih yang tengah membuka tutup kemasan air mineral menghentikan kegiatannya dan menegur. Menginterupsi Tania yang sejak tadi adu mulut dengan pemilik kursi yang ingin ditempatinya, ribut dengan perawat laki-laki hanya karena tempat duduk.

"Bang, harusnya dimana-mana juga ladies first kan? Lagian dia kok gak mau banget ngalah dikit sama perempuan, nggak gentleman!" selorohnya tak terima, menyelipkan analogi ejekan. 

"Bukankah sekarang ini sudah zamannya emansipasi wanita? Yang katanya pria dan wanita itu setara? Kalau sikapmu malah kukuh memanfaatkan analogi ladies first, lantas, apakah emansipasi itu hanya sekadar yel-yel yang terpampang di spanduk? Ini lebih pada adab dan tata krama, Tania. Duduklah di kursi yang masih kosong," tegas Fatih yang kali ini benar-benar dibuat pusing oleh sikap Tania. Belum lagi pekerjaannya hari ini sangat sibuk dan menggila. 

"Tapi Bang. Aku kepingin duduk di dekat Abang juga karena ada hal penting yang ingin ditanyakan. Makanya aku nggak mau duduk dan makan dengan orang lain. Mumpung waktu kita santai." Tania beralasan, tetap kukuh dan ngotot. 

"Jangan dibiasakan mengusir orang hanya demi kepentingan pribadimu. Bertanya tentang seluk beluk rumah sakit tidak selalu harus padaku. Buang sifat kenakak-kanakanmu. Lagi pula di sini kita makan sama siapa saja, seluruh karyawan di rumah sakit ini adalah saudara seperti semboyan Satya Medika. Jangan ribut lagi, semua orang lapar dan lelah, butuh asupan energi!" seru Fatih meninggi tak seperti biasanya. 

Kepalanya yang sedang penat karena pekerjaan, bertambah mendidih disulut sikap Tania yang menjengkelkan. Orang-orang yang duduk lumayan dekat dengan meja Fatih, melirik sekilas dan buru-buru fokus kembali pada makanan di meja masing-masing. Tak ingin mencampuri maupun menyulut amarah Fatih yang jelas terlihat tengah emosi

Tania tampak menciut, sepanjang saling mengenal baru kali ini Fatih berkata dengan nada tinggi padanya. Wajahnya merah padam, menahan amarah, malu, juga kesal.

"Ya sudah, kalau aku nggak boleh duduk di sini, aku gak mau makan!" kesal Tania merajuk marah. 

Tania menaruh nampan makannya kencang ke atas meja hingga menimbulkan bunyi nyaring, menarik lagi perhatian orang-orang yang sedang berada di kantin. Tania berderap pergi dengan marah. Meninggalkan makan siangnya begitu saja. Tania sangat berharap Fatih membujuk dan menghentikan. Akan tetapi harapan Tania harus meletus di udara karena Fatih malah bergeming dengan rahang mengetat. 

Fatih memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri dan nafsu makannya kini berhamburan hilang entah kemana. Fatih tak menyangka, Tania yang kini bekerja dalam satu naungan yang sama dengannya ternyata amat menjengkelkan dan merepotkan. Terlebih lagi setiap pagi jika hendak pergi bekerja, Nisa selalu meminta tumpangan untuk Tania supaya berangkat bersama-sama ke rumah sakit. Katanya supaya lebih aman, membuat Fatih tak kuasa menolak. 

Semula Fatih begitu gembira karena bisa sama-sama mengais rezeki di ibukota dengan kakaknya. Namun, kini ia mulai merasa ranah pribadinya terusik semenjak kepindahan Fahri sekeluarga.

"Kamu bilang dia itu sudah seperti adikmu, tapi kenapa aku merasa sikapnya lebih mirip seakan dia itu istrimu? Tania terus mengitarimu seolah kamu porosnya. Jangan-jangan sebenarnya dia itu naksir kamu, Pak Dokter?" celetuk Aditya yang duduk di depan Fatih, tengah menyendok kuah soto lalu disiramkan ke atas sepiring nasi putih hangat.

"Nggak lah, mana mungkin dia naksir. Kami sudah seperti saudara sendiri," sanggah Fatih, karena memang begitulah anggapannya.

"Benarkah? Atau mungkin hanya perasaanku saja?" Aditya tampak berpikir sebelum menyendok nasi di piringnya. 

"Hei, jangan ngaco! Habiskan makananmu, aku mau ke taman." Fatih merapikan jas putih yang dipakainya. Bangkit dari tempat duduknya. 

"Kok malah ke taman, ngapain? Mau makan dedaunan kayak kambing? Bukannya tadi ngoceh laper berat sampai-sampai kapas mayat pun kau bilang tampak lezat mirip gula-gula kapas." Aditya membenarkan posisi kacamatanya, menatap lurus penuh tanya  pada Fatih.

Ya, beberapa saat lalu Fatih memang sangat lapar. Lambungnya bergemuruh menuntut diisi. Namun, sikap memusingkan Tania telah sukses membuatnya kenyang dan kehilangan nafsu makan seketika. "Sudah nggak berselera. Aku tinggal dulu."

Fatih memilih meninggalkan kantin menuju taman samping rumah sakit yang ditumbuhi pepohonan rindang setelah sebelumnya membeli es kopi terlebih dahulu. 

Taman dipilih sebab Fatih butuh menghirup udara bebas lagi segar guna merilekskan saraf-saraf di otaknya yang akhir-akhir ini sering menegang akibat jengkel oleh Tania. Jika dibiarkan berlarut-larut, bisa-bisa dia mengidap hipertensi di usia muda lantaran marah terpendam yang terus-menerus terakumulasi.

Fatih sangat ingin membahas perihal Tania yang terus saja mengusiknya pada Fahri. Hanya saja lantaran kakaknya itu amatlah menyayangi Tania, Fatih dirundung dilema. Bahkan terkadang Fatih merasa Fahri lebih menyayangi Tania dibandingkan dirinya. Bagaimana kalau urusannya malah jadi runyam saat dia membahas hal ini dengan kakaknya? pikirnya. 

Fatih duduk pada salah satu kursi-kursi besi yang berjejer di bawah pohon beringin yang rindang dan sejuk. Angin sepoi-sepoi membelai menyejukkan. Menerpa wajah tampannya yang terlihat lelah. Semilir angin mampu mengurangi sedikit ketegangan di tengkuknya, diiringi menarik dan membuang napas teratur guna menenangkan amarah yang ingin meledak. 

Fatih berusaha menjernihkan pikiran keruhnya yang jujur saja membuatnya lelah jiwa raga. Seraya bersemoga tegurannya barusan pada Tania membuat gadis itu berpikir dan mengubah sikap kekanakannya ke depannya.

Dering ponsel di sakunya menghentikan pikirannya yang berkecamuk. Tertera pesan dari nama my angel di layar. Senyum Fatih terbit merekah lebar, pesan yang dikirimkan Freya laksana penghiburan pengurai penat yang seharian ini mengikatnya kuat tanpa ampun. 

"Ayang, nanti sore aku mau ke rumah. Aku mau belanja makanan dan mencoba masak di rumah kamu. Simulasi jadi istri Pak Dokter, see you." 

Bersambung.

Double F (END) New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang