23. Mencari Cara

953 85 1
                                    

Bab 23. Mencari Cara

Sementara itu di kediaman kakak Fatih terutama di kamar yang ditempati Tania, tengah berlangsung adu argumen yang tidak seimbang. Yang satu superior mendominasi, sedangkan yang satu lagi masihlah lugu. Cekcok antara adik dan kakak yang sudah berlangsung beberapa saat. 

"Kamu itu gimana sih, Tania. Bukannya kamu pernah bilang kalau kamu juga suka sama Fatih? Seharusnya berusahalah bersikap lebih luwes supaya menarik perhatian, berupayalah mengambil hati Fatih juga, bukan cuma Kakak yang terus berusaha! Masa kamu mau-maunya kalah pamor sama si gadis kota urakan yang sangat jauh level keanggunannya dari kamu? Masa kamu mau kecantikanmu tersisih sama si tomboy yang hobi pakai jeans bekel ke mana-mana?" Nisa berseloroh berapi-api sambil berkacak pinggang di kamar sang adik. 

Nisa juga menunjuk-nunjuk berang wajah adiknya, lantaran ambisinya mendekatkan Tania pada Fatih masih tak menunjukkan kemajuan signifikan. Belum membuahkan hasil. Padahal, setiap pagi dia selalu berusaha agar adiknya itu bisa semakin dekat Fatih, menggunakan modus berangkat bekerja bersama sebab yakin Fatih pasti lambat laun akan terpikat kecantikan dan imutnya Tania jika durasi berdekatan lebih intens. 

"I-iya sih, Kak. Aku memang suka sama Bang Fatih. Tapi tebakanku bakalan susah banget bikin dia berpaling dari si tomboy. Aku sudah berusaha sebisaku, Kak. Tapi kayaknya enggak ada harapan." Tania menjawab frustrasi karena memang begitulah kenyataannya, sesekali melirik Nisa sambil menelan ludah karena takut. 

"Pokoknya berusahalah lebih giat lagi. Buang keluhan putus asamu. Mulailah berpikir lebih keras mencari cara merebut Fatih dari si tukang balapan itu," ketus Nisa memaksa, menekankan setiap kata-katanya, tak peduli andai Tania stress sebab terlalu sering didesak. 

"Tapi aku beneran enggak tahu harus cari cara kayak gimana, Kak," sahut Tania bingung. 

"Ya mikir dong. Kamu kan punya otak juga. Masa demi kebahagiaanmu sendiri semuanya harus Kakak yang mencari cara?" ketus Nisa tajam. 

"Justru aku tanya Kakak, karena otakku enggak bisa diajak mikir ke arah sana. Kakak tahu sendiri, aku ini enggak punya pengalaman soal menjalin hubungan cinta. Bahkan aku malah bikin kacau komunikasiku dengan Bang Fatih tadi siang. Pasti sekarang ini dia masih kesal sama aku," keluh Tania lesu. 

"Ck, benar juga!" dengus Nisa sembari menjambak kesal rambutnya sendiri. Dia lupa kalau Tania ini masihlah hijau dalam urusan percintaan. "Begini, Tania. Dengarkan Kakak baik-baik. Pernikahan Fatih dan Freya tinggal dua minggu lagi. Kamu harus ingat, biaya kuliahmu juga biaya keluarga kita agar bisa tetap hidup makmur dan nyaman seperti sekarang itu semuanya berkat Kakak yang menikah dengan Mas Fahri. Untuk itulah, sebisa mungkin kamu harus bisa menjadi istrinya Fatih. Agar kelangsungan hidup enak kita tetap berkesinambungan. Bayangkan, kekayaan keluarga Wisesa semuanya akan jadi milik kita kalau Fatih jadi suamimu juga. Kecuali kalau kamu siap hidup kesusahan."

Tania mengusap wajahnya kalut. "Jadi aku harus gimana?"

"Ikuti saran Kakak. Sekarang, pergilah ke rumah Fatih dan minta maaf. Bilang kalau kamu menyesal dan enggak akan mengulangi lagi. Kakak sudah siapkan salad buah kesukaan Fatih sebagai buah tangan. Dandan yang cantik, bila perlu pakai baju berbelahan dada rendah supaya menggoda. Kalau dia tergoda ingin makan kamu bukan saladnya malah itu lebih bagus." Nisa keluar dari kamar Tania setelah memberikan serentetan perintah yang pasti tak menerima bantahan. Tidak peduli Tania suka atau tidak. 

"Haruskah aku benar-benar pakai baju berleher rendah kayak yang Kak Nisa bilang? Bang Fatih enggak akan mikir aku cewek murahan kan?" cicitnya gamang. 

Si gadis berponi menarik napas lelah di ujung ranjang, menutup wajah dengan kedua tangan. Tania memang menyukai Fatih sejak lama, tetapi tak pernah terobsesi terlalu dalam pada Fatih, tidak ingin hubungan baik mereka yang sudah terjalin seperti keluarga rusak hanya karena memaksakan rasa terpendamnya. 

Saat mendengar Fatih akan bertunangan, Tania memanglah dilanda kesedihan yang teramat sangat. Sempat menangis semalaman, patah hati karena cintanya harus rela terus bertepuk sebelah tangan. Hanya saja kemudian dia berpikir jernih dan menerima bahwa dirinya memang tidak ditakdirkan dengan Fatih. Teringat pada pepatah jodoh di tangan Tuhan. 

Namun, Nisa menggunakan perasaan cinta rapuh adiknya kepada Fatih sebagai senjata agar Tania menghidupkan angannya kembali. Nisa juga kerap kali mengungkit tentang dana kuliah serta biaya hidup Tania dan seluruh keluarga mereka yang selama ini banyak berasal darinya, yang tentu saja semua itu bersumber dari Fahri. 

Profesi utama Fahri memang hanya sebagai guru SMA. Namun, perkebunan kopi milik Wisesa yang luasnya berhektar-hektar dikuasakan penuh pengelolaannya pada Fahri setelah putra sulungnya berumah tangga, dan tentu saja pundi-pundi yang mengalir tak sedikit. 

Sedangkan Wisesa selain menjabat sebagai kepala desa, dia mengelola ladang rupiahnya yang lain. Yakni peternakan sapi, sawah berhektar-hektar serta perkebunan karet warisan orang tuanya terdahulu. Walaupun tanpa menjadi guru pun Fahri bisa hidup enak, dia tak pernah berniat untuk berhenti mengajar. Fahri mengatakan bahwa mengajar bukan hanya profesi semata tapi juga cita-citanya. Seperti passion Pak Wisesa yang mengabdikan diri untuk kepentingan desa. 

"Hhh, ayo semangat, Tania. Kamu pasti bisa," cicitnya meski tak yakin. Menyemangati dirinya sendiri. 

Tania selalu tak mampu berkutik jika Nisa dalam mode mengungkit. Memang begitulah kenyataannya, keluarga mereka yang sempat terlilit hutang berangsur membaik setelah Nisa menikah dengan si sulung putra Juragan Wisesa. 

Hanya anggukan dan kepatuhan yang akhirnya dilakukannya. Menyeret kakinya perlahan, Tania menuju lemari. Mencari pakaian bermodel minim seperti perintah sang kakak.

Tania berjengit kaget ketika pintu kamarnya lagi-lagi didorong tanpa permisi. Siapa kalau bukan Nisa yang berani masuk seenak jidat. 

"Kakak bisa ketuk pintu dulu gak sih? Jangan main terobos? Aku kaget! Selain itu, gimana kalau aku lagi telanjang? Aku ini bukan anak kecil lagi, Kak. Aku malu!" Tania melayangkan protes. Kali ini dia keberatan karena Nisa membuka pintu kamarnya begitu saja di saat dia hendak meloloskan rok yang sedang dipakainya. 

"Mulai banyak aturan! Lancang kamu ya? Ini rumah Kakak. Terserah Kakak mau ngapain! Kamu enggak punya hak memerintah apapun sama Kakak di sini!" sergah Nisa tak terima. Bersedekap dengan tatapan menusuk

Tania membuang napasnya kasar. "Maaf, Kak. Aku salah ngomong."

"Nah, gitu dong sadar diri. Ini, Kakak bawakan peralatan make up lengkap sama beberapa baju yang menonjolkan kesan seksi. Pilih salah satu buah kamu pakai. Jangan lupa rias wajahmu secantik mungkin biar Fatih terpesona. Pakai lipstik juga, jangan cuma lip balm. Cepat bergerak!" 

Sepeninggal kakaknya, Tania gegas mengganti bajunya dengan salah satu gaun yang dibawakan Nisa walaupun Tania tak nyaman memakainya. Dia segera bersiap secepat mungkin daripada Nisa uring-uringan lagi. Kendati sudut hati Tania mulai meringis perih, merasa diperlakukan bagai jalang oleh kakaknya sendiri, bukan selayaknya adik yang seharusnya dijaga dan dilindungi. 

Bersambung







Double F (END) New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang