17. Motor Model Baru

847 81 1
                                    

Bab 17. Motor Model Baru

"Freya, Fatih. Kalian pulang ke Jakarta sore saja. Tunggu dulu para pekerja perkebunan selesai memetik buah Durian sama Rambutan. Terus di dapur juga lagi pada bikin gula aren. Bapak mau nitip beberapa buat Pak Anwar dan kerabat Freya di Jakarta. Sebagai oleh-oleh hasil bumi dari kebun kita."

Wisesa membuka pembicaraan di sela-sela menyesap kopi paginya. Mereka berempat baru selesai sarapan di hari Minggu pagi ini, masih duduk bersantai selepas bersantap di ruang makan. Ditemani cangkir keramik indah di hadapan masing-masing. 

Teh hijau disajikan untuk Sarah dan Freya. Tehnya dipetik dari perkebunan sendiri dan diolah secara tradisional. Sedangkan Wisesa dan Fatih memilih menikmati kopi hitam yang diracik dengan campuran gula semut produksi sendiri.

"Iya, kalian jangan pulang dulu. Tunggu semua oleh-oleh selesai disiapkan dan dikemas. Barulah kembali ke Jakarta. Fatih, ajak Freya berkeliling desa. Pasti di ibukota jarang ada pemandangan hijau membentang luas dan segar kayak di sini. Biar Freya refreshing. Iya kan, Frey?" tutur sarah penuh kasih sayang pada si tomboy yang duduk bersebelahan dengannya

"Wah, sepertinya berkeliling desa menyenangkan," sahutnya gembira. Freya tampak senang. Menikmati udara segar dengan pepohonan hijau membentang sejauh mata memandang sangat jarang dicicipi warga ibukota.

"Nah, Fatih. Pakai motor saja berkelilingnya kalau tidak mau berjalan kaki. Ibu mau menemani Bapak mengontrol pekerja yang akan membajak sawah."

"Iya, Bu." Fatih menganggukkan kepala, seraya menaruh cangkir di tangan.

"Bapak tinggal dulu ya, Frey, Fatih."

Wisesa dan Sarah beranjak dari duduknya. Langsung berangkat ke sawah bersama para pekerja yang sudah menunggu di depan rumah, meninggalkan dua sejoli yang juga bergegas bersiap untuk berjalan-jalan.

Fatih mengeluarkan motor Suzuki tua zaman dahulu dari garasi. Motor yang biasa dipakai bapaknya pergi ke kebun di hari libur bekerja sedari dulu. Jenis barunya sudah tidak ada di pasaran. Bahkan secondnya pun sudah sangat jarang yang memiliki dan menggunakannya. 

"Wow, motornya antik," cicit Freya kagum saat melihat motor tua yang dikeluarkan Fatih dari garasi belakang.

"Bukan antik. Lebih tepatnya motor butut. Atau kamu mau pakai motor bebek? Cuma kalau pengen ke kebun lebih enak pakai motor ini, soalnya jalannya jelek. Tapi walaupun sudah tua mesinnya tetap tangguh." Mengambil kanebo basah, Fatih mengelap debu yang menempel di body si motor tua. 

"Udah aja yang ini. Aku suka. Sini kuncinya? Biar aku yang bawa." Freya menyodorkan telapak tangannya dengan mata berbinar, lantas mengelus stang motor tua berwarna hitam merah itu.

Fatih menggoyangkan telunjuknya ke kanan dan ke kiri. Pertanda permintaan Freya mendapat penolakan. 

"Eits. Nggak boleh, aku yang akan bonceng kamu. Ayo naik." Fatih menghidupkan mesin motor dan menepuk-nepuk jok di belakangnya.

"Ayang. Boleh ya, aku yang bawa motornya, please. Udah lama nggak mengendarai motor kayak gini. Trailku masih disita jadi aku kangen banget. Untuk saat ini, babeh cuma ngijinin aku pakai motor bebek gendut yang namanya si skupi itu." Freya merajuk, melancarkan rayuannya agar Fatih luluh dan mengijinkan dirinya yang membawa motor.

"Bersabarlah dulu, Frey. Kamu harus dengerin pesan-pesan babeh, jangan jadi pembangkang. Nanti kalau kita udah nikah kamu bisa punya dan mengendarai motor yang lebih keren dari trail. Aku jamin kamu pasti suka," bujuk Fatih meyakinkan. 

"Iyakah? Yang benar? Motor apa? Apa kamu mau beliin aku Ducati?" cerocosnya mencecar. Freya tampak antusias mendengar kalimat Fatih tentang motor yang lebih keren dari trail.

"Bukan. Ini motor jenis berbeda dan tiada duanya. Cuma bisa dikendarai di sirkuit empuk dengan bantal guling terlibat di dalamnya," ujar Fatih iseng. 

"Hah? Sirkuit macam apa itu?" Freya memicingkan sudut mata penuh tanya. Otaknya berpikir keras. 

Fatih kemudian mendekatkan mulut ke telinga Freya. "Nama brand motornya Fatih Arfa Wisesa, khusus dikendarai di dalam kamar saja hanya untuk Freya seorang," bisiknya menggoda.

"Ish, dasar Dokter mesum!" Freya memelotot galak pada Fatih. kekasihnya ini suka sekali berkata-kata menjurus walaupun Freya tahu Fatih hanya menggodanya, tetapi tetap saja hal itu selalu membuatnya merona setiap kali Fatih melontarkan kalimat mengandung modus di dalamnya.

"Ayo naik dan pegangan." Freya akhirnya menyerah. Pasrah naik dan melingkarkan kedua lengannya ke tubuh berotot sang kekasih. Berpegangan erat sekaligus memeluk raga Fatih yang ternyata begitu menyenangkan saat merapat dengannya. 

Pagi itu mereka berjalan-jalan menyusuri jalanan desa. Banyak yang menyapa ramah penuh hormat. Pengaruh juragan Wisesa di desa itu sangatlah besar, para warga menaruh hormat juga segan pada semua anggota keluarganya.

Hamparan pohon-pohon hijau memanjakan mata di sisi kanan dan kiri. Burung-burung bercicit ramai bernyanyi. Bersahutan dengan serangga yang ikut melantunkan lagu menyambut pagi. 

Dua sejoli itu bercanda tawa sepanjang jalan sambil menikmati udara pagi bermandikan cahaya mentari yang begitu hangat menyenangkan menerpa kulit.

Mereka juga mampir ke sawah milik Wisesa yang akan dibajak. Fatih dan Freya turun dari motor untuk melihat lebih dekat. Sudah ada empat kerbau dengan dua alat pembajak tradisional. Di desa ini mereka masih menggunakan tenaga kerbau untuk membajak sawah, tradisi nenek moyang di sini masih lestari dan terpelihara dengan baik.

Freya begitu tertarik. Baru kali ini ia melihat secara langsung sawah yang dibajak menggunakan kerbau bukan traktor. Ia meminta pada Fatih agar diizinkan untuk ikut membajak dan turun langsung ke sawah. Awalnya Fatih menolak karena khawatir pacar limited editionnya yang cantik ini terkena lumpur. Freya tak menyerah, memohon melancarkan bermacam jurus andalan hingga Fatih pun luluh dan mengizinkan.

Orang-orang di sawah sempat canggung. Bagaimanapun juga Freya adalah calon menantu keluarga Wisesa yang mereka hormati. Juga baru kali ini ada gadis kota yang ingin terjun ke sawah tanpa takut terkena lumpur. Biasanya justru takut dan phobia kotor. 

"Nanti kakinya kena lumpur dan bajunya kotor lho, Neng. Belum kerbau itu suka mendadak buang kotoran. Nanti kena baunya," ucap salah satu pekerja berkumis yang memakai topi. Menjelaskan pada Freya akan konsekuensi atas keinginan tak terbendungnya. 

"Nggak masalah. Santai saja. Nggak tiap hari saya bisa mencicipi momen langka kayak gini. Ayo, lebih baik dimulai bajak sawahnya." 

Freya benar-benar menikmati momen ini. Ia tertawa bahagia, berinteraksi dan bercakap-cakap seru dengan para pekerja juga ibu-ibu yang menyiapkan makanan untuk para bapak-bapak pembajak sawah.

Fatih tak kalah bersukacita, duduk di pematang sawah menyaksikan Freya memadu kasih dengan alam. Berinteraksi langsung begitu hangat dengan para warga. 

Namun, tanpa mereka sadari, sedari tadi seseorang mengarahkan kamera ponsel mengambil foto Freya yang tengah membajak sawah dari kejauhan. Mengambil beberapa gambar teramat niat. Menjepret sebanyak-banyaknya. 

Bersambung


Double F (END) New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang