3. Bau Menyan

2.8K 215 2
                                    

Wajah Freya dibersihkan dari hasil lukisan estetiknya sebelum dirias ulang. Dara mulai membaurkan kuas dengan lincah merias si tomboi. Membaurkan foundation, concealer dan kawan-kawannya. Memastikan warnanya sesuai dengan kulit Freya.

Di tengah-tengah reparasi make-up yang baru setengah jalan, Anggi pun datang dengan napas ngos-ngosan. Anggi merupakan sahabat Freya juga Dara.

"Maaf banget aku terlambat, bibit tunas di perutku tak henti mengamuk." Wanita berpostur gitar spanyol yang akrab disapa Anggi itu duduk di tepian tempat tidur Freya sembari membaui kayu putih di tangannya.

"Sebelum menikah kamu bilang nggak cinta sama suamimu karena menikah melalui jalan perjodohan, tapi ternyata bisa tekdung juga," ledek Freya, terkekeh jail pada temannya yang satu itu.

"Punya suami hot kan mubazir kalau cuma dianggurin. Dibelai-belai lebih baik. Lagian dia juga kan pria normal. Mana tahan dengan bodyku yang setiap malam sengaja nggak pakai dalaman," sahutnya asal tak merasa risih sedikit pun. Walaupun wajahnya kini merona.

"Bilang aja sama-sama mau! Gengsi amat. Makan tuh gengsi! Jadi orok di perutmu tuh si gengsi sekarang." Freya bersungut-sungut sebal yang ditanggapi Anggi dengan juluran lidah.

"Anggi, tolong kamu tata rambut Freya, aku harus fokus rias wajahnya," pinta Dara pada Anggi yang masih cekikikan setelah mendengar umpatan Freya.

"Oke, oke. Siap laksanakan."

Anggi bangkit dari kasur dan berdiri di belakang Freya. Mulai menyisir, merapikan rambut si tomboi yang kini lumayan panjang. Akan tetapi, aroma dari shampo yang dipakai sahabatnya itu malah membuatnya merasa mual, padahal sebetulnya wanginya begitu segar, mungkin efek hamil muda membuat hidungnya bekerja tak semestinya.

"Frey, kamu keramas pakai apa sih?" Anggi menutup hidung menggunakan punggung tangan.

"Shampo biasa yang kupakai sejak kuliah dulu. Emang kenapa?" tanya Freya dengan kening terlipat samar.

"Masa sih? Tapi seingatku, shampomu nggak aneh kayak gini deh aromanya?" Anggi menajamkan penciuman.

"Aneh gimana?"

"Ini, rambutmu bau menyan!" Anggi melempar sisir sembarang, membekap mulutnya sendiri dan berlari ke kamar mandi seperti orang gila.

*****

"Nah, sudah. Coba lihat di cermin, gimana? Suka nggak?"

Freya memutar tubuh menghadap cermin. Kebaya baby blue yang dikenakannya begitu anggun juga pas melekat di tubuhnya. Ia beralih memperhatikan wajah juga rambutnya yang disanggul sederhana, tetapi begitu manis. Senyumnya terbit merasa takjub akan pantulannya sendiri.

"Ini ... aku," gumam Freya tak percaya dengan mata terus memaku ke arah cermin.

"Iya, kamu cantik. Pasti Fatih bakal makin cinta," jawab para sahabatnya yang juga tersenyum puas akan hasil sapuan kuas mereka di wajah Freya.

"Hei ... aku suka banget. Dandanannya bagus." Freya hendak berjingkrak kegirangan, dengan cepat dua wanita hamil itu segera menahannya lantaran takut kebaya juga kain batik yang dipakai Freya melorot berantakan.

"Ya ampun Frey! Yang anggun, oke. Untuk hari ini, cobalah bersikap anggun supaya sesuai dengan baju yang kamu pake, jangan jingkrak-jingkrak seenaknya!" Anggi memperingatkan. Seperti biasa, tidak mudah mengatur Freya agar tak bersikap serampangan.

"Baik, Master. Aku akan bersikap anggun," sahutnya penuh tekad.

Suara ledakan petasan beruntun mulai terdengar, meletup bersahut-sahutan cukup memekakkan telinga. Menyambut begitu ribut disertai kepulan asap di luar sana pertanda keluarga Fatih sudah tiba.

"Ayo, cepat keluar, Frey. Sambut calon tunanganmu." Runi si kakak sepupu yang baru selesai menata kue, menerobos masuk ke kamarnya begitu bunyi petasan terdengar nyaring.

Si tomboi digiring ke ruang tamu. Freya hendak mengangkat kain batiknya tinggi-tinggi supaya memudahkan langkahnya yang terasa seperti diborgol.

"Freya, kainnya jangan diangkat! Jalan pelan-pelan aja!" Teriakan Runi juga teman-temannya membuatnya mengurungkan niat. Para wanita di belakangnya ibarat satuan polisi pamong paja yang sedang melaksanakan razia dadakan.

"Hei ... suara kalian semua udah kayak satpol PP yang lagi razia! Jantungku terkejut tau!" sambar Freya sambil melangkah kaku laksana robot.

"Tahanlah untuk beberapa jam ke depan, nona tomboi. Kamu juga nggak setiap hari pakai baju begini kan?" bisik Runi geram, menekankan kalimatnya.

Freya duduk di tempat yang sudah tersedia, rombongan mobil sudah terparkir di halaman depan.

Keluarga besar Fatih mulai memasuki ruangan. Freya yang biasanya cuek kini tampak gugup, ia terus menarik dan membuang napas dengan kencang seumpama ibu hamil yang tengah merasakan kontraksi melahirkan.

"Hei, tenangkan dirimu," bisik Runi yang duduk di belakang Freya.

"Ini juga udah tenang, Mbak," sahutnya dengan kaki gemetaran.

Tibalah saatnya si dokter kekasih hati Freya masuk diapit kedua orang tuanya. Freya tersipu kala Fatih menatapnya tanpa berkedip. Kakak Fatih dan juga istrinya ikut serta, pun beberapa sanak saudara keluarga juragan Wisesa turut datang menghadiri.

Acara dimulai dengan do'a pembuka, kemudian dilanjutkan dengan sepatah dua patah kata dari kedua belah pihak. Fatih dan Freya saling mencuri pandang. Tersipu-sipu seperti anak remaja. Hanya saja sesekali Freya bergerak tak nyaman, terkadang tangannya menarik-narik baju kebayanya dan menggaruk-garuk tengkuknya.

"Frey, kamu kenapa geliat-geliat kayak cacing kepanasan?" Runi yang mulai frustrasi mengatur si tomboi berbisik kembali, keheranan melihat Freya tak mau diam di momen khidmat ini.

"Duh, i-ini aku baru tahu, Mbak. Kalau baju yang kelihatannya cantik ternyata terasa gatal saat dipakai, aku ingin segera membukanya!" gerutunya pelan sambil terus bergerak tak nyaman.

"Pokoknya apapun yang terjadi, kamu kudu tahan sampai acaranya selesai!" tegas Runi di belakang punggungnya.

"Aku heran dengan para wanita yang gemar memakai baju serupa penyiksaan ini. Kain batiknya sempit bikin susah jalan dan bajunya bikin gatal!" desis Freya kesal dan Runi yang dibuat pening menepuk-nepuk jidatnya sendiri.

Tibalah acara tukar cincin. Pembawa acara mempersilakan kedua calon untuk maju ke depan. Fatih dan Freya maju kompak berbarengan, si tomboi itu melangkah ke depan sambil sedikit menggeliat dan menggaruk kecil area tengkuk yang bersentuhan langsung dengan kain berukat, sementara Fatih yang gagah dalam setelan warna biru dongker tampak gemetaran serupa dilanda gempa saat maju ke depan.

"Silakan pasangkan cincinnya." Pembawa acara memberi arahan.

Mereka bergantian memasangkan cincin. Fatih mengambil cincin dari kotak beludru berwarna merah dan menyematkannya ke jari manis Freya, kemudian Freya pun melakukan hal sebaliknya.

Riuh sorak sorai menggema, teman-teman sejawat Fatih juga Freya ikut menghadiri. Namun, tiba-tiba terjadi hal yang tak terduga. Entah karena khilaf atau apa, dengan penuh semangat Fatih mengecup pipi Freya begitu saja di hadapan semua orang saking senangnya. Tersihir juga terpesona akan cantiknya Freya hari ini.

Pak Wisesa yang berdiri tak jauh dari Fatih, sontak membulatkan mata dan secara refleks memukul pundak putra bungsunya.

"Fatih tahan dirimu! Belum sah juga maen sosor-sosoran aja kayak bebek!"

Bersambung

Double F (END) New VersionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang