Give Up

698 96 3
                                    

Jika Jimin diizinkan memilih, dia ingin segera berbaring dan memejamkan kedua matanya. Memasak masakan yang resepnya kurang bersahabat dengannya sungguh melelahkan. Namun dibesarkan di keluarga yang sangat teratur dan tumbuh menjadi anak yang patuh membuatnya tetap bertahan menunggu Jungkook yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu.

"Kapan dia akan pulang? Makanannya mulai dingin lagi.."

Sekeras apapun dia menyangkal, Jimin tetap merasakan rasa tidak menyenangkan itu. Rasa kecewa meski sedikit, rasa sedih meski secuil. Benar, Jimin kecewa. Jika masuk akal, Jimin ingin membuang rasa itu dan melemparkannya pada Jungkook. Jimin berharap setidaknya pria itu akan berpikir dua kali untuk membuat Jimin kecewa jika dia tahu rasanya dikecewakan.

***

"Jungkook.." suara lemah itu kembali terdengar bahkan ketika tangan mereka tengah bertautan.

"Iya, saya di sini. Cepat sembuh, Yeonji sangat mengkhawatirkan Anda."

"Jungkook.." bibirnya masih belum tertutup setelah kembali memanggil nama itu.

"Tolong jaga Yeonji." Lirih suaranya tidak dapat mengusir nada tegas dalam kalimatnya itu. Ibu Yeonji sangat bersungguh-sungguh.

"Tolong jaga dia meskipun kalian memutuskan untuk berpisah."

"Tentu.." jawab Jungkook lirih, entah mengapa ada sedikit keraguan dalam jawabannya. Bukan karena dia tidak ingin menjaga Yeonji, dia ingin. Sangat. Namun keraguan menyapa, dia tidak yakin dia dapat menjaga Yeonji seperti saat-saat sebelumnya. Bahkan pikirannya melayang ke rumahnya ketika dia diminta untuk menjaga Yeonji. Nama lain justru muncul ketika dia diminta untuk menjaga Yeonji.

"Jimin.."

Matanya membulat setelah melirik jam tangannya. Dia terlambat satu setengah jam. Baru saja dia hendak beranjak dari tempat menyedihkan itu, suara nyaring elektrokardiogram memenuhi seisi ruangan, menandakan tidak adanya aktivitas jantung dari ibu Yeonji yang sejak tadi berusaha bertahan. Sekali lagi, Jungkook tertahan di sana. Dia tidak mungkin meninggalkan Yeonji begitu saja setelah dia bersumpah di depan ibunya bahwa dia akan menjaga Yeonji. Setidaknya tidak di hari Yeonji kehilangan ibunya.

"Ibu.."

"Yeonji, ayo kita panggil dokter dulu."

"Tidak.. IBU! IBUUU!!!!"

"Yeonji, hey.. tenang dulu."

"IBUUUU!!!! Tidak.. tolong, ibu tolong maafkan aku.. ibu..." suaranya semakin melemah, selaras dengan lututnya yang menopang berat badannya. Tubuhnya baru akan terjatuh di lantai yang keras dan dingin ketika Jungkook menangkapnya. Sekali lagi, dua tubuh itu bersatu seperti dahulu. Namun kali ini ada air mata di antaranya.

"Yeonji.. tenanglah, dokter akan memeriksanya, kita berdoa saja. Aku yakin ibunya adalah wanita hebat. Kamu pun begitu, kamu hebat. Kamu kuat. Okay?"

Yeonji menggeleng lemah sebagai jawaban. Bagaimana dia bisa kuat ketika sumber kekuatannya baru saja dicabut dari hidupnya? Tepat ketika pintu kamar rawat dengan nomor 102 itu terbuka, kedua mata Yeonji tertutup. Dan dengan masuknya dokter ke ruangan itu, masakan yang sudah mendingin itu keluar dari wadahnya.

Benar, Jimin membuang semua makanan yang susah payah dia masak.

"Tidak ada gunanya. Dasar tidak berguna." Satu bulir bening melewati pipinya yang memanas. Menahan tangisnya berjam-jam bukanlah tugas yang mudah. Pipinya panas, tenggorokannya perih tercekat, dadanya sesak. Jimin menyerah, tangisnya pecah.

"Dasar bodoh. Jimin bodoh. Harusnya kubuang saja sejak tadi. Tidak, harusnya aku tidak mencoba memasak apapun."

Semua peralatan makan dibiarkan begitu saja setelah dia membuang isinya. Rumahnya- maaf, rumah Jungkook terasa sangat menyebalkan hari ini. Jimin butuh kebebasan. Jimin ingin bebas dari rumah yang menyesakkan dadanya. Dan itulah yang dilakukan Jimin, dia berjalan keluar dari rumah Jungkook dengan tangan kosong dan bahkan dengan bertelanjang kaki. Jimin hanya ingin cepat terbebas dari rasa sesaknya. Seiring langkahnya yang berjalan cepat, Jimin berharap sesak itu tidak mengikuti dan menghantuinya.

"Tidak, Jungkook pasti punya alasan sendiri. Pasti ada hal mendesak dan dia tidak sempat mengabariku. Benar, tidak apa. Tidak apa, Jimin. Semua akan baik-baik saja."

Jimin harus meyakinkan dirinya sendiri karena tidak ada satu orang pun yang dia miliki di sampingnya yang dapat menenangkannya. Tidak apa, mungkin setelah dia menikmati angin segar di malam hari, hatinya dapat bernapas lagi.

Tumble Like A Stone ㅡ Jikook/KookminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang