Pagi masih berumur muda, langit masih kemerahan karena matahari yang masih malu-malu mengintip dari Timur. Namun Jimin telah bergegas menuruni tangga, menuju pintu utama kediaman Jungkook. Tentu si pemilik rumah tidak membiarkan siapapun keluar dari rumahnya dengan mudah.
"Ke mana?"
"Mau pulang."
"Pulang? Maksud kamu pulang ke rumah orang tuamu?"
"Ke mana lagi? Rumahku kan di sana."
"Ini akan jadi rumahmu, Jimin."
"Masih akan, belum sudah. Jadi kalau mau pulang, aku pulang ke sana."
"Jimin, tolong kita bicarakan dulu berdua. Jangan bertindak tanpa alasan begini."
"Aku cuma rindu orang tuaku. Apa sekarang aku dilarang bertemu orang tuaku juga?"
"Bukan begitu, Jimin. Tapi orang tua kita mau kita saling mengenal sebelum pernikahan nanti. Sudah dua minggu tersisa sebelum pernikahan dan kita masih belum ada kemajuan."
"Lalu? Salahku?"
"Siapa yang bilang itu salahmu?"
Tangannya meraih pergelangan tangan Jimin yang sudah hendak membuka pintu utama.
"Jimin, tolong. Ayo kita luruskan dulu, aku yakin ada yang salah dan kita harus segera menyelesaikan apapun kesalahan itu."
Jimin terdiam. Jungkook selalu curang. Dia selalu pandai menaklukkan hatinya. Orang asing ini entah bagaimana selalu berhasil membuat Jimin tenang dan luluh. Air mukanya mulai melembut, tubuhnya tidak lagi sekaku sebelumnya. Kini Jungkook berani menuntun Jimin untuk duduk di sofa yang cukup untuk keduanya.
"Coba kita sebut apa saja yang membuat kita emosi kemarin. Mau memulai lebih dulu? Atau kamu mau aku dulu yang sebut?"
"Kamu."
"Okay, satu-satunya yang membuatku emosi kemarin hanya fakta bahwa kamu berusaha setengah mati untuk menghindariku. Bahkan kamu sangat tidak ingin bicara denganku. Dan saat kutanya ada masalah apa, kamu justru menghindari pertanyaanku."
"Kurasa kamu seharusnya tahu jawabanku, Jungkook."
"Baik, kuakui aku punya sedikit gambaran."
"Lalu?"
"Aku minta maaf."
"Sudah? Giliranku?"
"Tentu. Silakan."
"Aku sangat tidak mengerti mengapa hidupku jadi seperti ini.Aku baru saja berbahagia karena aku telah lulus dari sekolah, tidak lagi harus pusing memikirkan tugas yang menumpuk. Aku juga bermimpi dapat hidup bahagia dengan Taehyung karena kita sudah bebas dari kewajiban kita sebagai murid. Tapi orang tuaku tiba-tiba membawaku padamu. Kamu masuk begitu saja tanpa permisi ke kehidupanku, mengusir paksa Taehyung dari hidupku. Apa masuk akal jika dia harus pergi dari hidupku di saat dia yang selalu ada di hatiku? Tapi aku sama sekali tidak protes. Ini hidupku, aku tahu itu. Aku harus menjalaninya. Jadi kuikuti saja kemana takdir ini membawaku. Aku berusaha membuat Taehyung mengerti dan berusaha mengusirnya dari hatiku juga. Membiarkan satu orang yang tinggal sepenuhnya di hidup maupun hatiku. Dan itu kamu. Tapi apa aku pantas menjalani hidup seperti ini, Jungkook? Sekedar memberiku kabar saja kamu lalai. Aku menunggumu seharian kemarin. Sehari penuh, Jungkook. Aku tidak meninggalkan Taehyung untuk diperlakukan seperti ini. Aku rasa aku tidak akan bisa menghadapimu di hidupku. Aku belum pernah diperlakukan seperti ini oleh Taehyung. Maaf."
Jungkook memijat pelipisnya. Segalanya terasa begitu berat. Jimin benar, dia tidak pantas diperlakukan seperti orang bodoh dan harus menunggunya tanpa dia tahu Jungkook pergi kemana.
"Maaf Jimin.. aku hanya berusaha untuk menjaga semuanya agar tidak ada kesalah pahaman."
"Lalu? Aku yang harus jadi orang bodoh di kisah ini?"
"Bukan begitu."
"Lalu? Apa kamu memang sesibuk itu bahkan untuk sekedar mengabariku saja tidak sempat?"
"Maaf, aku minta maaf. Yeonji tiba-tiba datang menemuiku di kantor."
"Yeonji?"
"Iya, ibunya sakit. Aku harus menemaninya ke rumah sakit. Dan tepat saat aku pergi menemui ibunya, ibunya meninggal."
Di titik ini Jimin tidak tahu dia harus marah atau merasa bersalah. Dia sangat marah karena dia dibiarkan menunggu seharian penuh tanpa kabar, namun fakta bahwa Yeonji kehilangan ibunya membuatnya merasa bersalah telah marah.
"Lalu bagaimana keadaan Yeonji sekarang?"
"Itu tidak penting, Jimin. kita sedang membahas tentang kita berdua di sini."
"Itu penting karena Yeonji adalah seseorang yang penting bagimu, seperti bagaimana pentingnya Taehyung bagiku."
Jungkook menggigit bibir bawahnya, merasakan bagaimana amarah mulai merayap ke dalam dirinya. Entah marah karena apa, yang jelas dia tidak begitu senang atas kalimat terakhir Jimin.
"Jadi bagaimana? Kamu masih ingin pergi?"
"Iya."
"Jimin, tolonglah.."
"Sepertinya kamu harus menemani Yeonji dulu, Jungkook. Dia pasti terguncang karena kehilangan ibunya. Aku akan menghabiskan waktu-waktu terakhirku dengan orang tuaku selagi aku masih berstatus sebagai anak mereka dan bukan sebagai suami orang."
"Hhhh baiklah, biar kuantar."
"Terima kasih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumble Like A Stone ㅡ Jikook/Kookmin
Fanfiction[On-Going] Menceritakan bagaimana sebuah batu di ujung tebing yang goyah karena guncangan dunia berusaha untuk tetap bertahan di tempat dan tidak terjatuh ke dasar tebing. Tentang bagaimana sebuah rasa tetap berusaha untuk tetap merasa ketika hambar...