"Yeonji? Yeonji.. tolong sadarlah." Untuk pertama kalinya setelah mereka berpisah, tangan Jungkook kembali menggenggam erat tangan Yeonji, mengelusnya lembut berharap sang puan segera tersadar.
"Yeonji, kumohon bangunlah. Aku harus segera pulang.." benar, pikiran Jungkook masih melayang jauh ke rumahnya. Sudah berkali-kali dia mencoba menghubungi Jimin namun hasilnya nihil.
"Aku harus pulang, Jimin sedang menunggu. Kumohon sadarlah."
Tepat ketika dia memohon untuk ke sekian kalinya, kedua mata Yeonji terbuka, menatap lurus ke arahnya.
"Yeonji?!"
"Jungkook? Ibu belum makan, biar kuambilkan makan dulu untuk ibu."
Sial. Jungkook tidak mengira Yeonji akan terguncang sehebat ini.
"Yeonji, beristirahatlah. Biar aku yang mengurus ibumu, jangan khawatir. Istirahatlah dulu, nanti aku ingin menceritakan sesuatu, okay?"
Kepala gadis itu mengangguk pelan, kemudian merebahkan kembali tubuhnya. Sepertinya Jungkook tidak mendapatkan izin untuk segera menemui Jimin malam ini. Entah kenapa amarahnya mulai tumbuh. Untuk pertama kalinya, dia benci fakta bahwa dia harus menjaga Yeonji. Namun di sisi lain, dia tidak ingin meninggalkan Yeonji seorang diri.
"Jungkook?"
"Hm?"
"Kapan kamu akan mengambilkan makan untuk ibu?"
"Hhhh.. Yeonji, dengarkan aku baik-baik dan pegang tanganku erat-erat." Tangannya meraih tangan Yeonji yang sudah lama sedikit kaku dan dingin.
"Hm.. kenapa?"
"Dengar. Yeonji, ibumu harus beristirahat karena dia sudah terlalu lama menderita. Kamu harus merelakannya, okay? Ibumu selalu melihatmu, jadi jangan jadi gadis lemah seperti ini. Kamu ingin ibumu bangga padamu, 'kan?"
Tidak ada respon dari Yeonji yang dia dapatkan.
"Yeonji?"
Alih-alih sebuah suara, Jungkook mendapatkan remasan kuat di tangannya sebagai jawaban.
"Kamu boleh menangis, tapi saat selesai, kamu harus kuat. Janji padaku, ya?"
Di detik itu juga tangis Yeonji pecah dan tubuhnya membaur ke tubuh tegap Jungkook. Jungkook selalu menjadi sandaran paling sempurna baginya. Belum lama dia kehilangan Jungkook sebagai sandarannya, dia harus kehilangan ibunya sebagai satu-satunya sumber kehidupannya.
***
"Jimin???"
Kepalanya akhirnya mendongak setelah satu jam berjalan menunduk melihat bagaimana keki telanjangnya bertemu aspal yang dingin.
"T- Taehyung..?"
"Jimin kenapa kamu ada di sini? Ini jauh dari rumahmu.. astaga kakimu???"
"Tae tenanglah."
"Tidak, aku tidak bisa tenang. Bagaimana bisa kamu membiarkan kaki halusmu menyentuh aspal yang kasar ini tanpa alas?" protes Taehyung lalu mengangkat tubuh Jimin dengan sangat mudah seperti biasanya.
"Tae turunkan aku, aku hanya ingin menikmati angin malam."
"Tidak, kamu sudah tertangkap mataku dan aku tidak akan melepaskanmu dari pandanganku walau sedetik."
"Kita pergi kemana???"
"Ke mobilku. Aku sedang mengajak Yeontan ke taman dan aku melihatmu di sini. Mobilku ada di seberang sana."
"Taehyung, tolong.. aku tidak ingin pulang."
"Kenapa?"
"Aku hanya bosan di rumah."
Bohong. Jimin tidak ingin kedua orang tuanya melihat dirinya yang menyedihkan seperti ini. Bukan karena Jimin ingin melindungi Jungkook, hanya saja dia tidak ingin membuat orang tuanya sedih karena ulahnya sendiri. Jimin bisa saja tidur di kamar Jungkook yang luas dan nyaman selagi menunggu Jungkook pulang. Namun Jimin lebih memilih untuk meninggalkan rumah mewah itu dan menelusuri jalanan di malam hari dengan kaki telanjang.
"Kalau begitu kita ke rumahku, bagaimana?"
"A-apa?"
"Kalau kamu tidak ingin tidur di rumahmu karena bosan, kamu juga bisa menginap hehe." Tawa itu sungguh membuat Jimin merindukan hari-hari bahagia mereka. Taehyung yang malang. Sampai di detik ini pun dia masih terus dibodohi oleh Jimin yang pura-pura mereka sedang baik-baik saja. Taehyung sama sekali tidak tahu bahwa mereka akan hancur di ujung jalan nanti.
"Mmm.. okay!! Ayo kita ke rumahmu!"
Mungkin ini yang Jimin butuhkan. Mungkin dia sedang membutuhkan Taehyung. Mungkin Tuhan tahu itu dan sengaja mendorong Jungkook agar Taehyung dapat datang padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumble Like A Stone ㅡ Jikook/Kookmin
Fiksi Penggemar[On-Going] Menceritakan bagaimana sebuah batu di ujung tebing yang goyah karena guncangan dunia berusaha untuk tetap bertahan di tempat dan tidak terjatuh ke dasar tebing. Tentang bagaimana sebuah rasa tetap berusaha untuk tetap merasa ketika hambar...