🥰Dua

157 21 2
                                    

Mobil melaju perlahan. Ali sudah mengatur pendingin ruangan ke posisi medium. Hanya terdengar deru mobil yang membuat suasana menjadi Sejuk dan tenang.

Sembari tetap berusaha fokus mengemudi, Ali melirik pada Ajeng yang terdiam di sampingnya. Mata perempuan yang tampak murung cemas sejak tadi itu, menatap lurus ke depan. Tangannya sibuk memilin-milin kasar tali sling bag di pangkuan. Apa yang menjadi penyebab kecemasannya? Mungkinkah rasa gugup hendak bertemu keluarga di Bangkalan? Atau ... kecemasan yang berkaitan dengan kecelakaan Bapak.

Tak bisa dipungkiri, sebenarnya kecelakaan Bapak mungkin saja sebuah rekayasa. Tapi, tak ada bukti kuat. Semua hanya dari cerita dan dugaan-dugaan almarhumah Mbah Tini. Dan, sangat wajar jika Ajeng mencemaskan hal itu. Dia sangat memercayai semua perkataan Mbah Tini. Satu-satunya keluarga yang pernah menemani.

Berusaha memecah kecemasan, Ali menghidupkan pemutar musik mobil. Lagu pop lawas melantun perlahan. Anggrek Bulan.

"Kenapa tiba-tiba muter lagu ini?" Suara Ajeng terdengar lirih dan sedikit bergetar.

"Kenapa? Kangen aja sama suasana pas kamu nerima lamaran aku. Kamu ingat? Aku pernah bilang kalau kamu itu adalah anggrek bulan. Bunga yang hampir layu, tapi ketika kembali segar, akan tampak sangat cantik." Ali mengulum senyum. Bagaimana pun, suasana perjalanan beberapa jam ini tak boleh diwarnai kecemasan dan segala pikiran buruk.

"Ih, gombalnya kumat." Tepukan halus Ajeng mendarat di pundak, tapi Ali mengaduh cukup keras. "Halah lebay ... udah mau jadi bapak, juga. Masih ... aja lebay dan gombal."

Perlahan, Ali menoleh. Senyum tipis tersungging di bibir Ajeng. Pipinya bersemu merah. Akhirnya ... mimik cemasnya memudar. Sebuah cubitan pelan mendarat di pipi perempuan bermata indah itu. "Gitu, dong, senyum. Kan, cantik. Dari tadi manyun mulu. Aku kan jadi takut."

"Iya, iya. Maaf. Aku cuma gugup aja mau ketemu keluarga kamu." Kedua pipi Ajeng menggembung. Dia mengembuskan napas cukup keras lewat mulut.

"Jangan khawatir. Kita ke Madura hanya berkunjung. Tak akan lama." Ali menurunkan kecepatan. Mobil memasuki gerbang tol Probolinggo Satu.

Keceriaan perlahan kembali hadir pada wajah Ajeng. Ali benar-benar berusaha menjaga suasana hati istrinya. Bagaimana pun juga, Ajeng sedang hamil. Umur kandungannya baru sepuluh minggu.

Beberapa menit melewati gerbang tol, Ali mulai menambah kecepatan. Kemarin, utusan Abah mengabari bahwa sudah cukup lama Abah terbaring sakit. Beliau memang sudah sepuh. Mungkin saja, penyakit gula darah atau hipertensinya kambuh. Beliau sangat keras dengan kemauannya. Semoga saja nanti beliau tak mengungkit perihal perjodohan yang gagal itu. Dan Ummi ... semoga bisa menerima Ajeng dengan tangan terbuka. Memang ini tak akan mudah. Tapi, pasti bisa. Ali dan Ajeng sudah menikah. Pun sikap Ajeng cukup baik dan paham sopan santun.

Jam sepuluh lewat lima belas menit ketika mobil memasuki jembatan Suramadu. Ali melirik penunjuk jam pada dashboard, lalu menoleh kepada Ajeng yang seketika menegakkan punggung dan membuka jendela mobil. Ali pun mematikan pendingin. Angin yang menerobos masuk dari jendela penumpang depan cukup kencang. Ali menurunkan kecepatan mobil.

"Bagus, ya? Rumahku juga dekat dengan pantai. Nanti, kita main-main ke pantai pakai motor." Ali sudah kembali fokus mengemudi.

"Iya, bagus. Meski tinggal di Surabaya, ini kali pertama aku melintasi jembatan ini. Aku sama sekali menghindari Surabaya Utara." Ajeng tak menoleh sama sekali. Sepertinya, pemandangan laut membuatnya terkesima.

"Sekarang, kamu sudah melewatinya. Dan ke depan, kita akan lebih sering melakukannya jika berkunjung lagi ke sini." Ali mengubah pemutar lagu. Kali ini, musik lebih rancak yang mengalun. Mengubah suasana lebih ceria.

Ajeng menutup kembali kaca jendela mobil, lalu menyalakan pendingin. Mobil sudah keluar dari jembatan Suramadu.

"Mas, aku takut ...." Embusan napas berat dan sedikit panjang keluar dari mulut.

"Apa yang membuatmu cemas?" Ali kembali memasukkan gigi dan menambah kecepatan. "Sepuluh menitan lagi, kita akan sampai."

"Entahlah. Untuk saat ini, sepertinya aku sangat cemas dengan keluargamu. Apakah mereka bisa menerimaku? Ini yang menjadi pertimbanganku menolak lamaranmu kala itu." Ajeng bersandar pada sandaran dengan kepala menunduk. Lagi, dia memilin-milin kasar tali sling bag di pangkuan.

"Sayang ... kamu nggak percaya sama aku? Apa pun badai yang mungkin menghantam, asalkan kita terus bergandengan, semua nggak ada artinya." Ali berbelok ke kiri, keluar dari jalan utama.

"Iya, aku percaya, tapi ... aku hanya takut." Kembali, Ajeng mengembuskan napas panjang.

"Jangan terlalu dipikirin, ya, Sayang? Ada buah hati kita yang bisa turut sedih jika kamu tak enak hati." Tangan Ali meraih telapak tangan istrinya, menyelipkan jari-jari di antara jemari pendamping hidup.

Kekhawatiran memang ada. Tapi, sejak awal pertemuan, ketertarikan itu tak mampu dihindari. Ajeng dengan sikap sok kuat dan galaknya, tetap tak mampu menyembunyikan kerapuhan jiwa nan kesepian. Tak mungkin dalam keadaan semacam itu harus sendiri. Terlepas dari ketertarikan fisik. Pastinya. Sebagai lelaki, tentu tak dipungkiri ketertarikan kepada visual indah tak bisa dihindari. Mata tajam, hidung bangir, dan bibir mungilnya. Cantik, satu kata yang bisa menggambarkan keindahan raga Ajeng.

Mobil melaju perlahan. Beberapa saat lalu, Ali kembali menurunkan kecepatan. Aspal halus dan hitam kini berganti dengan yang sedikit lebih kasar dan berwarna abu-abu kecokelatan. Tak sampai lima ratus meter lagi, mereka akan sampai ke Pesantren Darul Mujtahidin.

Kampung halaman, masih sama persis seperti setahun lalu saat Ali meninggalkan tempat ini. Aroma laut yang kental, pemukiman padat dengan jalanan aspal sempit, khas pulau garam. 

"Ini kampungku. Desa Sukolilo Barat. Sebentar lagi kita sampai." Ali menyunggingkan senyum, menoleh pada Ajeng.

Ajeng yang sempat mengedar pandangan ketika melintasi jembatan desa dan sedikit terkesima—mungkin karena melihat sekilas pemandangan pantai dari jembatan. Kini kembali menunduk dan menghela napas cukup dalam. Dia memejam beberapa saat. Tangannya lagi-lagi meremas sling bag di pangkuannya. Hidup perempuan yang baru menyecap kenahagiaan itu sudah begitu berat sejak kanak-kanak. Sebenarnya, pernikahan ini seolah-olah menjadi gerbang baru kehidupan yang lebih nyaman. Tapi ternyata, ada beberapa hal yang masih belum usai.

Ali masih berkutat dengan isi kepalanya. Kalimat-kalimat bijak yang pernah keluar dari mulut para tetua di masa lalu, ada benarnya juga. Hidup itu tak mungkin selamanya bahagia atau selamanya sedih. Akan ada fase yang silih berganti. Tapi, haruskah kebahagiaan Ajeng hanya setahun ini saja? Tidak. Ajeng harus bisa tetap berbahagia meski berbagai hal datang silih berganti. 

Ali berbelok menuju halaman luas yang dikelilingi bangunan-bangunan dengan arsitektur yang sangat khas. Di pintu masuk ada tulisan selamat datang dan papan nama pesantren. Di sini, Ali lahir dan tumbuh, selain ketika nyantri tentunya. Dari dua puluh sembilan tahun kehidupan, enam belas tahun dihabiskan di tempat ini. Sembilan tahun di pesantren dan di tempat tugas mengajar wajib. Dan ... hanya setahun terakhir bersama Ajeng yang merupakan kehidupan baru dan sama sekali berbeda. Hidup sebagai Ali Zainal Abidin si pedagang mobil. Bukan lagi Lora Ali seperti ketika masih di sini.

Tapi sekarang, Ali kembali. Selama di sini, dia harus kembali menjadi Lora Ali. Dan tentu saja, mau tak mau Ajeng juga harus menjadi Neng Ajeng.

Mobil terparkir di depan masjid berbentuk mirip pendopo yang cukup luas dengan atap joglo. Beberapa santri yang tadi tampak santai dan bercengkrama, seketika menoleh ke arah mobil. Tentu saja mereka tak mengenali mobil Ali. Setahun lalu, dia pergi dari rumah dengan mobil long sedan putih. Kini, dia kembali dengan mobil MPV hitam. Begitulah pedagang mobil, selalu bergonta-ganti kendaraan, karena memang kendaraan yang dipakai adalah barang dagangannya.

Ali membenahi peci dan kemeja kremnya. Mengamati pantulan diri dari kaca spion tengah. Berusaha berpenampilan terbaik. Ali pun sengaja memakai Sarung tenun samarinda terbaik yang dia miliki. Pun menyarankan Ajeng memakai abaya arab abu-abu dengan aksen bordir besar-besar yang anggun. Gamis terbaik yang dimiliki. Hidup setahun di kampung orang tentu akan menimbulkan banyak tanya. Menampilkan kesan baik adalah langkah pertama yang harus dilakukan.

(Terbit) Sekuntum Hati dari NgaraiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang